Coffee Mornin' by Setiawan Chogah |
Oleh Encep Abdullah
Kedua matanya masih menyala. Benda-benda yang ditatapnya dengan penuh amarah akan lenyap terbakar. Seperti foto-foto yang sebelumnya ia genggam, yang kini telah berserakan menjadi abu. Lantai kamarnya kotor. Banyak asap. Engap. Namun, ia masih menatap abu foto-foto itu. Apa yang sudah dilakukan lelaki itu sudah membikin ia trauma pada cinta.
***
Ia tak sadar raganya kini sudah kembali lagi ke tempat persinggahan
awalnya (diskotek)—ia dibawa kembali oleh preman yang pertama kali
menemukannya. Tubuhnya kembali dijajahi oleh para lelaki. Dan lahirlah,
Alamanda.
***
Alamanda—sudah berumur dua puluh tahun—membuka kancing bajunya secara
perlahan. Wajahnya penuh gairah. Lelaki yang ada di depannya amat
ketakutan melihat tingkahnya. Seperti melihat setan, sambil meringkuk
rapat melipat kedua kakinya di atas kasur. Lelaki itu tak bisa berbuat
apa-apa. Ia sudah terkunci di sarang macan. Tak bisa keluar. Satu per
satu pakaian lelaki itu ia tanggalkan. Sampai akhirnya lelaki itu
telanjang bulat. Alamanda siap menyantapnya.Lelaki itu begitu pasrah. Ketakukan lelaki yang berujung kenikmatan. Mimpi apa lelaki yang masih bau kencur itu. Lelaki yang berbadan gemuk. Hidung pesek. Muka bulat. Namun, cukup manis dan tidak bosan dipandang. Lelaki itu sekira berumur dua puluh lima. Ia begitu polos dan dungu.
Semalaman sudah Alamanda dan lelaki itu bertarung di atas ranjang. Tubuh mereka terkulai lemas. Beberapa menit kemudian lelaki itu pun terbangun dan langsung mengenakan pakaiannya dengan mata yang masih sayu. Ia mencari-cari kunci pintu. Ia menemukan kunci itu di saku baju Alamanda yang tergeletak di lantai. Ia lari dengan wajah yang amat kusut. Di setiap sudut kamar terlihat banyak pasangan yang juga tergeletak tanpa busana. Lelah semalaman melampiaskan puncak libido mereka. Begitu pun Alamanda yang mendapatkan lelaki itu di sembarang jalan. Lelaki itu lelaki kelima yang ia perkosa setelah kepergian ibunya ke alam kubur karena aids.
***
Alamanda dilahirkan dari benih setan. Ibunya sendiri tidak tahu siapa
yang menghamilinya. Meskipun ia pelacur, ia begitu berhati-hati supaya
tidak hamil setelah para lelaki puas menyetubuhinya. Ia pasti memeriksa
alat kejantanan setiap lelaki sebelum permainan dimulai. Apakah sudah
memakai alat pengaman atau belum. Bila belum, ia tidak akan memulai
pertarungan. Ia harus yakin, pengaman itu tidak bocor. Ia mengecek
dengan menaruh air di dalamnya, kemudian ia cipak-cipakkan. Selanjutnya,
setelah pertarungan usai, ia harus yakin tak ada sesuatu yang lengket
dan menempel di daerah kewanitaannya.Dan entah mengapa ia bisa hamil. Selama sepuluh tahun ia menjadi pelacur, ini kali kedua ia hamil—setelah dulu mengalami keguguran. Ia pusing tujuh keliling. Sampai akhirnya ia pergi ke dukun untuk mencari tahu siapa ayah dari anak yang ada di dalam rahimnya itu.
“Anak iblis!”
“Maksud Eyang?”
“Ya, ini anak iblis! Hati-hati.”
Semenjak percakapan itu, wajah manis itu kian hari, kian murung. Ia selalu menutup diri di kamar. Sampai akhirnya sembilan bulan tiba. Namun, bayi yang ada di dalam perutnya itu belum juga mau keluar.
“Anak manis, ayo dong cepat keluar… Aku sudah capek bawa-bawa kamu terus.”
Bayi yang ada di dalam perutnya seolah-olah mendengar apa yang dikatakannya. Bayi itu menendang-nendang dengan keras. Perut si ibu merasa kesakitan.
“Dasar anak iblis…”
Crott… bayi itu keluar dari dalam rok ibunya.
***
Nenek Alamanda juga seorang pelacur. Tapi, orang-orang bilang
keturunan monyet. Keturunan binatang. Waktu itu sang Nenek yang masih
perawan tersesat di sebuah hutan. Di pulau monyet. Ia terpisah dengan
kawan-kawannya yang lain. Perjalanan kebudayaan itu membuatnya tak
menemukan jalan pulang. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Sebulan. Setahun.
Sepuluh tahun. Sampai akhirnya ia hidup dengan monyet-monyet itu. Mau
tidak mau persetubuhan pun terjadi. Monyet-monyet yang ada di tempat itu
menjadi santapan nikmat sang Nenek. Meski, awalnya ia jijik. Lama-lama
menjadi biasa.Akhirnya, benih dalam rahimnya itu berbuah hasil. Perutnya membesar. Lahirlah Ibu Alamanda dengan wajah manusia namun berbadan monyet. Nenek kaget setengah mati melihat anaknya berwujud seperti itu. Ia terkena serangan jantung. Ia mati. Ia dikerubungi monyet-monyet yang ada di situ. Mereka memeluknya, sudah seperti keluarga sendiri. Ibu Alamanda yang masih bayi menangis tak henti-hentinya. Akhirnya, ia disusui monyet betina yang sudah berpengalaman. Ibu Alamanda amat senang bisa mendapatkan puting susu. Meski, puting susu monyet.
Beranjak dewasa, sosok Ibu Alamanda berevolusi, sedikit demi sedikit mulai sempurna seutuhnya menjadi manusia. berproses seperti halnya manusia purba. Namun, ia begitu cantik. Buah dadanya yang seksi bisa membikin monyet-monyet jantan terperanga. Ia memang bukanlah sebangsa monyet pada umumnya. Ia anak manusia dari sperma monyet.
Setelah semakin sempurna menjadi manusia, ia di perintahkan oleh sesepuh monyet untuk pergi ke kota. Menjadi manusia yang sebenarnya. Ia sudah layak hidup dengan makhluk sebangsanya. Monyet-monyet yang lain begitu sedih karena akan ditinggal oleh putri hutan yang cantik. Namun apalah daya, Ibu Alamanda pergi seperti apa yang diperintahkan, dengan mengenakan baju Ibunya (sang nenek) yang amat compang-camping karena tak pernah ganti semenjak sang nenek tersesat hingga ia mati.
***
Sampailah Ibu Alamanda dalam hiruk-pikuk kehidupan kota.
Ia seperti orang gila. Luntang-lantung tak jelas arah. Banyak orang yang
heran memandangnya. Orang gila yang memiliki paras selebriti. Terkadang
beberapa preman, jahil mengganggunya. Memegang pantatnya. Menyentuh
payudaranya yang padat. Ia tak paham kehidupan apa yang kini ia hadapi.
Sampai akhirnya ia ditarik oleh preman itu ke tempat diskotek. Dan dari
situlah kehidupan kelamnya bermula.Terkadang banyak orang yang berebut untuk menidurinya dengan bandrol harga yang sangat mahal. Lelaki dari kelas atas selalu memenanginya. Tak jarang ia didandani secantik mungkin. Bahkan kecantikannya melebihi seribu bidadari dari kayangan. Paras yang luar biasa cantiknya. Tapi sayang, ia belum mengerti bahasa manusia seutuhnya. Ia masih gagap dalam berbicara. Namun, sedikit demi sedikit ia mempelajarinya dari setiap lelaki yang menidurinya.
“Kamu mau jadi istriku?” tanya pejabat yang bisa disebut koruptor kelas kakap itu. Ia membelai rambut Ibu Alamanda. Kemudian menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk. Ibu Alamanda menggigit bibir bawahnya. Terlihat semakin menggairahkan untuk dicumbu. Ia tak paham apa yang dikatakan pejabat itu. Namun, ia tetap menikmati setiap belaian pejabat itu.
Ibu Alamanda sudah ketagihan liang peranakannya dijajah pera lelaki. Ia merasakan kenikmatan tiada tara dari setiap belaian lelaki yang menyetubuhinya. Desahnya membikin setiap laki-laki terus bersemangat. Semakin keras desahannya, semakin besar pula bayarannya. Ibu Alamanda kini sudah mengenal uang. Ia bisa membeli apa pun dengan uang itu meskipun selalu dibimbing setiap membeli apa pun dengan lelaki yang saat itu bersamanya. Menurutnya, uang itu unik. Barang yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Uang dapat mengenyangkan perutnya, mempercantik wajahnya, serta memperindah segala lekuk tubuhnya.
Hanya pejabat itu yang kini selalu bersamanya. Ke mana-mana selalu Ibu Alamanda temani. Lelaki itu membayarnya dari preman yang pertama kali menculiknya dengan harga yang mahal. Bagi preman itu, apalah arti perempuan bila diganti dengan uang. Perempuan masih bisa dicari lagi, pikirnya. Kini Ibu Alamanda sudah resmi menjadi kekasih pejabat itu. Berkali-kali pejabat itu mengajak Ibu Alamanda untuk menikah. Akan tetapi, otak Ibu Alamanda yang masih kosong itu masih perlu dibenahi untuk mengerti arti kehidupan.
Pejabat itu setiap hari mengajari apa pun yang berkaitan dengan hidup. Ia mengenalkan segala nama benda yang ada di sekitarnya. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit Ibu Alamanda semakin mengerti arti hidup, serta ia pun mampu berbahasa layaknya manusia pada umumnya. Kini ia pun mau dipersunting oleh pejabat itu.
“Terima kasih, yah, Mas, kamu sudah membuat aku menjadi seperti ini.”
“Iya, sama-sama, sayang…” sambil mengecup kening istrinya.
***
Satu tahun pernikahan Ibu Alamanda berlalu. Beberapa pekan ini ia
merasakan ada sesuatu yang aneh dari suaminya. Ia jarang pulang.
Sedangkan kini ia sedang hamil tiga bulan. Tak ada sosok yang
memperhatikannya setiap hari. Terkadang suaminya pulang larut malam.
Besok pagi berangkat lagi. Waktu libur pun terkadang tak ada di rumah.“Mas, kamu sibuk apa belakangan ini?”
“Banyak kerjaan yang belum selesai di kantor.”
“Apakah segini sibuknya sampai lupa kalau istri Mas sedang hamil.”
“Ah, kamu ini… saya butuh istirahat dulu. Kepalaku mumet!” sambil melemparkan tasnya ke kasur. Ia membuka bajunya, dan langsung merebah di tempat tidur. Ia memasang muka surut. Hari-harinya kian hari, kian suram.
Perutnya semakin membesar. Sebentar lagi mungkin akan melahirkan. Ia sudah bersiap-siap dengan segala kebutuhan menjelang kelahiran bayi pertamanya. Hatinya begitu bahagia karena baru kali ini ia akan merasakan bagaimana rasanya punya anak. Biar ia tidak selalu merasa sendiri kala suaminya tak ada di rumah. Ia mengelus-ngelus perutnya penuh dengan kasih sayang.
***
Tengah malam, tiba-tiba pintu rumah terdengar ada yang
menggedor. Sangat keras. Ibu Alamanda yang sedang nyenyak tidur dengan
suaminya seketika saja terbangun. Ia mambangunkan suaminya. Tapi
suaminya tak mau bangun. Sambil memegang perutnya yang sudah buncit ia
berjalan sendiri menuju arah suara pintu. Gedoran pintu itu semakin
terdengar keras sampai ia menutup telinga.“Bukaaaa…!” Terdengar suara itu dari luar.
Ibu Alamanda tidak langsung membuka pintu. Ia melihat dari gorden jendela. Mengintip satu persatu wajah yang ada di luar. Sontak saja jantungnya berdegup. Mau copot. Sesak. Langsung ia kembali ke kamar, membangunkan suaminya yang masih terlelap tidur.
“Mas… Mas… di luar…. di luar…. ada polisi…” wajahnya begitu panik.
“Apa? Polisi?” langsung saja suaminya terbangun. Gelagapan. Sambil mondar-mandir sekitar kamar, entah mencari apa. Titik akhir ia membuka lemari pakaiannya. Mengambil koper kecil, yang entah itu berisi apa. Ia bingung hendak ditaruh di mana koper itu. Sedangkan suara gedoran pintu semakin kencang. Barangkali sebentar lagi pintu rumahnya akan roboh. Dan benar saja, polisi yang berjumlah lima orang itu masuk dan langsung menuju kamar Ibu Alamanda.
“Angkat tangan!” Polisi itu menodongkan pistol ke wajah suami Ibu Alamanda. Koper yang belum sempat disembunyikan itu terpelanting ke bawah. Ibu Alamanda menjerit histeris.
“Pak, ada apa ini?” Tanya Ibu Alamanda sambil mengusap air matanya.
“Suami Anda menjadi tersangka atas penggelapan dana perusahaan.”
Pejabat itu ditarik keluar rumah dengan borgol di kedua tangannya. Ibu Alamanda tak bisa berkata apa-apa.
“Rumah ini nanti akan kami sita, sebagai barang bukti,” ujar salah satu polisi yang mengamankan suaminya dari belakang. Lantas seketika wajah suaminya hilang di telan belokan gang rumahnya. Tak sadar, darah mengucur dari selangkangannya.
***
Ibu Alamanda memberesi segala pakaiannya dari dalam
lemari. Tak sengaja ia menemukan banyak foto suaminya sedang bersanding
dengan perempuan lain. Ada yang sudah kusam. Ada pula yang masih segar.
Keduanya mengenakan pakaian pengantin. Terlihat mesra dan serasi. Wajah
perempuan itu tak kalah cantik darinya.Tak terasa darah dari sela kedua pahanya semakin mengucur deras ke lantai. Begitu pun dari kedua matanya. Wajahnya semakin pucat. Tubuhnya terlihat sangat lemas. Merah darah dari selangkangannya itu kini beralih ke matanya. Menyala tajam kobaran api. Segala yang ditatapnya mulai terbakar. Terutama foto yang dipegangnya itu. [*]
Serang- Tangerang, 12/13/2012
Dimuat di Radarbanten.com (24 Desember 2014)
0 komentar:
Posting Komentar