Oleh Wahyu Arya
Barangkali pengucapan menjadi hal yang mendesak bagi seorang penyair. Ciri khas (style)
seringkali dikait-hubungkan dengan perjalanan “keberhasilan” mencari
idenitas kepenyairan. Maka tidak salah kalau periodisasi dalam
kesusastraan, terutama dalam puisi, tiap angkatan memiliki ciri khas
gaya ungkap yang “memutuskan” diri dari tradisi pengucapan puisi
sebelumnya. Dari percik pandang semacam ini kemudian nama-nama besar pun
lahir. Nama-nama tersebut sering juga diembel-embeli dengan pelopor.
Sekadar menyebut nama, Chairil Anwar pelopor Angkatan 45; Sutardji
Calzoum Bachri dengan kredo mantra; Afrizal Malna dengan puisi sebagai
instalasi benda-benda; dan seterusnya. Mereka telah membuktikan kepada
para pembaca bahwa mereka berbeda dari yang lain. Terlepas dari
kontroversi mengenai kedudukan mereka dalam kesusastraan Indonesia,
rasa-rasanya memang di sanalah salah satu pertaruhan bagi seorang
penyair untuk membuktikan kreativitas dan pencapaian estetiknya.
Mengenai
kemampuan menoroka pengucapan baru dan daya kretivitas yang harus
dimiliki seorang penyair, Szymborska dalam pidato nobelnya pernah
mengatakan, bahwa penulis/penyair, pertama-tama adalah orang yang berani
mengatakan bahwa saya tidak tahu. Dari pernyatan tersebut selanjutnya sikap keinginantahu (curiosity)
menjadi semacam tiket untuk memasuki pengamatan yang lebih mendalam
terhadap kehidupan. Seorang penyair akan membuka seluruh panca indranya
untuk teliti menyimak riuh percakapan burung di hutan; bisik angin pada
ranting; hentakkan kaki hujan pada batu; gelora laut yang memukul
lambung kapal, dan seterusnya, dan sebagainya. Kejadian kecil yang
seringkali luput dari pengamatan kadang-kadang jadi hal yang
menggetarkan dalam sebuah puisi. Seperti doa yang tiba-tiba terlontar
begitu saja tanpa rencana.
Intensitas dan daya getar sajak pada
titik ini lahir dari dorongan yang tidak mungkin lagi ditunda-tunda
karena si Penyair kadung sesak oleh kepenuhan pengalaman batin.
Pengalaman itu bukan hal yang dipaksa-jejalkan untuk mampir dalam sukma.
Tetapi pengalaman itu singgah pada diri seorang penyair merembes dari
kehidupan sehari-hari. Suasana semacam itulah yang hadir pada saya
setelah menilik beberapa puisi Syahreza (sapaan akrab untuk Mugya
Syahreza Santosa) dalam antologi Hikayat Pemanen Kentang (2011).
Syahreza rupa-rupanya sedang malakukan ikhtiar meneroka ladang di
Cianjur sana untuk menanam benih-benih puisi. Alih-alih penyair yang
konon akrab dengan dunia ladang ini sepeti melakukan “balik kiri” dari
pengucapan puisi yang telah ditulis pada masa awal kepenyairannya.
Syahreza tampak berusaha menggali pengucapan baru dengan tekun mencatat
segala hal yang sebelumnya terserak dan diabaikan menjadi semacam
isotopi yang saling berpiuh antara pengalaman aku lirik puisi-puisinya
dengan dunia ladang dan tetumbuhan. Pada puisi “Musim Panen Pekebun
Muda”, penyair kita seperti memiuh batin si aku lirik dengan hasil
tanamannya. Maka dalam situasi penuh berkah dan suka cita semacam ini,
kebun bukan lagi tempat penuh lumpur dan tanah. Kebun adalah kiblat tempat menghimpun cuaca,/ udara, air, dan tanah,/ yang senantiasa mulia-setia/ di dalam dada.
Setelah sekian lama menunggu sampai seratus hari yang fana bagi[si Pekebun]. Setelah kentang, kubis dan wortel siap dipanen, suatu pagi si Pekebun muda akan terbangun dari tidur, mencium ruap/ kenduri dari nyala tungku dapurnya./ dan upaca tasyakur yang sederhana pun siap dimulai. Masih dalam perasaan puas atas karunia Tuhan, si Penanam sejenak menitipkan cangkul,/ garu dan mata bajaknya/ pada tuhan yang asih, penyelia dalam keberkahan./
Dalam puisi ini ada hubungan mengikat yang cukup kuat antara posisi
aku lirik dengan lanskap alam yang berupa kebun dan tumbuhan. Gerak
emosi aku lirik pada akhirnya ditentukan oleh apa yang diusahakannya di
perkebunan. Sampai di sini, sering kita dengar adagium yang cukup
didaktis, bahwa: jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan memanen
kebaikan. Sedangkan yang menanam keburukan, akan memetik buah keburukan.
Barangkali adagium semacam ini mengandaikan hari esok semacam ladang
tempat seseorang menerima hasil dari usaha pada hari ini. Jika demikian
hidup seseorang semacam proses berladang yang tak putus-putus untuk
menanam kebaikan, dan sisanya menyerahkan pada keberpihakkan musim. Bisa
jadi si Pekebun dalam puisi ini adalah kita semua yang mencoba
peruntungan dengan bertanam.
Hampir sama dengan tema puisi
sebelumnya, puisi (“Musim Panen Pekebun Muda”) puisi berjudul “Pemanen
Kentang” masih berbicara tentang harapan yang ditanam pada tanah agar
kelak tumbuh berkah dari doa dan usaha manusia. Tanah merupakan media
untuk menanam kebaikan-kebaikan. Adapun hasil dari tanah adalah seperti reward atau pahala dari kesabaran dan usaha keras. Para penanam itu …menggali-gali tanah/ setelah ratusan malam doanya/ terkubur dalam-dalam./ jauh dari ranjang, dijaga dari babi-babi/ pembual, hingga/ menjadi daging-daging kuning/ matang yang dimuliakan/ di pasar-pasar,/ bulat lonjong mematut-matut bulan.
Dalam
pandangan saya, puisi ini semakin mengukuhkan posisi tanah/bumi sebagai
sosok “Ibu” yang memberikan kasih sayang kepada anak-anak (Syahreza
menggunakan istilah pekebun). Hubuungan antara tanah, tumbuhan,
dan pekebun merupakan hubungan yang melumerkan objek. Ketiganya bisa
jadi subjek karena usaha pekebun tidak serta-merta menentukan hasil
panen yang baik; begitu juga dengan hasil panen yang selalu berkait
dengan kesuburan tanah dan usaha keras pekebun untuk menjaga tanamannya
hingga masa panen tiba. Pola hubungan semacam ini merupakan hubungan
setara (dialogis) yang memungkinkan adanya persahutan (bunyi dari dalam)
ketiga aku lirik di dalamnya.
Pada puisi lain berjudul “Rebung”
lagi-lagi penyair mempertemukan dua sebjek yang memiliki “kesamaan
nasib” sebagai yang tak berdaya di hadapan gerak nasib itu sendiri. Aku
lirik yang berbicara dalam puisi ini (orang-orang sabar)
mengidentikkan diri dengan rebung yang bermeditasi di bawah pohon aur.
Personifikasi rebung dalam puisi ini semakin diperkuat dengan laku
konsumsi atau penyatuan dalam prosesi makan. Penyatuan kemudian terjadi
ketika rebung-rebung itu disantap oleh orang-orang sabar yang secara
diam-diam sudah kenal betul apa itu perih, nyeri juga rasa sedih.
“Rebung”
bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu,
hidup kalian memang akan sampai di situ
akan sampai kalian ke dalam mangkuk-mangkuk
yang wajar, juga dilahap kami orang-orang sabar.
jangan lagi hiraukan masa depan,
merasuki langit, terlibat seteru angin yang sengit.
Pengamatan
yang teliti terhadap pohon dan tumbuhan barangkali semacam arsip bagi
Syahraza untuk kemudian menjadi bahan perenungan sebelum akhirnya
diucapkan dalam bentuk puisi. Sekadar contoh, jika suatu hari ada
seorang ibu menggantung diri entah karena apa, di sebuah pohon misalnya,
maka titik yang diambil oleh Syahreza bukan si Ibu yang mati
menggantung diri, tetapi pohon tempat peristiwa itu berlangsung. Pohon
sebagai fokus. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah tidak dapat
terlepas dari kesaksian sebuah pohon yang dalam pandangan umum
hanya berhenti sebagai pelengkap atau latar sebuah peristiwa. Kesaksian
itu kadang-kadang sangat sentimentil dengan menitikberatkan
ketidakbebasan mutlak yang secara kodrati harus diterima oleh sebuah
pohon. Dalam kesaksian pohon “Ketapang” tentang takdir dan peristiwa
yang terjadi di sekitarnya terucaplah: Demi yang menyandarkan
sepeda-sepedanya di bahu pohonku,/Menyerah pada keteduhan. Jangan
membuat iri aku dengan/ berjalan mengitari semenanjung laut. Menghirup
biru dan /menumpahkan ibarat ke dalam mata kekasih./
Yang
menarik dari puisi di atas adalah kecermatan menyisipkan peristiwa dalam
puisi melalui kesaksian sebuah pohon. Peristiwa kecil terkadang punya
daya haru cukup menggetarkan manakala seorang penyair cermat mengangkat
sudut-sudut pengalaman yang mendukung isi puisi. Kejadian yang cukup
ringan dalam puisi “Ketapang” dimana anak-anak menyandarkan sepeda
mereka sebelum menyusuri semenanjung laut, telah membuat iri sebuah
pohon karena hanya mampu menunggu para pemilik sepeda kembali untuk
mengambilnya kembali setelah puas menikmati pemandangan birunya laut dan
sejuknya angin.
Kejadian-kejadian kecil yang cukup berhasil
digarap oleh Syahreza dalam puisinya yang lain yaitu dalam “Pelayaran
Kapuk Randu”. Pada saat buah randu masak dan pecah mengeluarkan kapas,
Syahreza telah jeli memotretnya untuk kemudian membenturkan dengan
pengalaman personal ketika menyaksikan proses tersebut.
semakin lama, semakin fana
mata bjinya.
pada langkahnya yang tak terbaca
di udara,
ketika sungai lengah, ia menjatuhkan diri
ke tirus batu, berharap mekar di situ.
(Puisi “Pelayaran Kapuk Randu”)
Penggunaan
idiom tumbuhan untuk menggelincirkan ide dalam puisi juga terdapat pada
puisi berjudul “Shalawat Pohon Salak”. Dalam puisi ini “salak” hanya
semacam pemantik untuk berbicara banyak hal. Dalam puisi ini pemanfaatan
bentuk fisik salak menjadi refleksi untuk sifat dengki manusia, sisanya
dalam puisi ini doa dan harapan terhadap hari yang akan datang seperti
begitu saja mengalir tanpa terbebani oleh retorika yang digunakan. Dua
hal yang berjauhan menjadi hilang batas tegasnya karena telah lebur
dalam rajutan teks puisi.
yang sedang membakar reranting
juga daun-daun kering, diri mati kami
jadikanlah membumbung api salam diri.
salam yang sebesar biji kami,
yang kesat di daging putih ini
yang perih bila tertusuk hati dengki
………………………………….
juga sampaikanlah doa ini, kepadanya.
kami mencerap meminta safaat
dari pendamping paling akrab, penggenggam erat
penggugah semangat menyebrangi shirat.
peluk-cium kuncup-kuncup kami, yang hina fana
sebatas doa-doa buta di malam gulita.
(2011)
Pada
dasarnya puisi-puisi yang berangkat dari pengamatan terhadap tetumbuhan
kemudian dikembangkan dalam bentuk puisi cukup banyak didapatkan dalam
antologi ini. Puisi berjudul “Singkong”, “Pengembaraan Pegagan”,
“Muslihat Sirih Merah”, “Lambaian Asparaga”, “Paku Sisik Naga”,
“Azalea”, “Jubah Salfia”, “Padma”, “Hikayat Gairah Aur” , “Paras Nanas”,
“Penikmat Jambu Biji Merah”, dan “Penyanjung Mata Rasberi” adalah puisi
yang bermula dari pola pengembangan yang telah disebutkan. Pertanyaan
yang kemudian muncul dalam benak saya ketika membaca Hikayat Pemanen Kentang (2011) ini, di manakah letak intuisi dan kedalaman
bagi seorang penyair? Apakah puisi hanya berhenti pada kemampuan teknis
menyusun keindahan bahasa dengan penggunaan retorika belaka? Atau
barangkali puisi tak ubahnya seperti buku masakan yang menerang jelaskan
bagaimana cara mengolah makanan menjadi lezat di lidah? Pembacaan saya
lebih menangkap kesan demikian setelah bertemu puisi ke 29 berjudul
“Kentang Kari dan Roti” hingga puisi ke 40 yang berjudul “Kolak Lidah
Buaya”. Syahreza tampaknya sedang asyik melakukan demo memasak dibanding
menggali realitas menjadi sajak. Atau barangkali para penyair
belakangan sedang gandrung dengan gaya kuliner yang sedang ngetren di dunia perpuisian, terutama dari puisi-puisi yang tayang di koran Minggu.
Seorang
yang sudah memiliki kemampuan untuk meramu kata tentu tidak akan
kesulitan untuk sekadar menuliskan data yang diperolehnya dari
pengamatan empiris untuk kemudian dituliskan dalam bentuk sajak. Dalam
hal ini kompetensi sastra sebenarnya sudah dimiliki oleh Syahreza, dan
dalam beberapa sajak saya rasa cukup berhasil. Namun membaca keseluruhan
antologi Hikayat Pemanen Kentang (2011) ini, kesan untuk
mencari kesegaran pengucapan atau orisinalitas pada puisi-puisi Syahreza
tampaknya lebih besar daripada menemukan intensitas dan “kebeningan”
puisi itu sendiri. Walau demikian, seandainya Syahreza mampu untuk
konsisten menggunakan pengucapan pada 27 sajak di awal antologi ini
tanpa kehabisan akal untuk menyiasati kejenuhan, rasanya tak berlebihan
kalau orisinalitas dan identitas kepenyairan Syahreza semakin
terkukuhkan. [*]
0 komentar:
Posting Komentar