Writing by LeoNn (devianart) |
Oleh Encep Abdullah*
Sebagai tenaga pendidik, saya merasa sedih perihal nasib sastra,
kususnya pelajaran mengarang, di sekolah. Mungkin sudah banyak kajian
peneliti mengenai kasus tersebut. Beberapa buku di antaranya sudah
pernah saya baca. Saya kira, persoalan tersebut hanya terjadi pada waktu
tertentu saja. Ternyata, setelah saya alami sendiri, faktanya memang
demikian adanya—masih relevan sampai saat ini.
Para guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah
kadang membuat saya sakit hati, juga terhadap diri saya sendiri. Salah
satunya, saya pernah mendengar seorang guru—senior—saat pelatihan
kurikulum 2013 tahun lalu berkata begini, “Pak, saya tidak mengerti
menilai cerpen siswa. Seperti apa ya menilainya?” Pernyataan sekaligus
pertanyaan itu membuat kepala saya bertanya-tanya. Loh, bukannya sudah
lama mengajar ya, Pak. Kok, baru tanya sekarang. Lalu, kalau guru tak
paham apa yang sudah diajarkan, lantas bagaimana ketika ia mengajar di
kelas? Kepala saya waktu itu semrawut mencermati pernyataan si Bapak
itu—saya lupa namanya, ya, bila pun tahu, saya juga tak akan menyebutkan
namanya.
Pelajaran mengarang, kenyataannya, memang bukan pelajaran mudah
karena tidak semua guru bisa mengajarkannya dengan baik—atau orang umum.
Meskipun memang ada beberapa guru yang bertipe berikut (1) guru yang
gemar membaca, tetapi tidak menulis, (2) guru yang gemar menulis, tetapi
ia jarang membaca, (3) guru yang gemar kedua-duanya, dan (4) ada juga
guru yang tidak gemar membaca, juga tidak menulis: ini yang berbahaya.
Menanggapi pernyataan kolega saya di atas, sebenarnya saya lebih
menghargai si Bapak itu ketimbang tipe guru yang saya sebutkan urutan
nomor terakhir (4). Kolega saya itu, setidaknya, ia berusaha bertanya
karena ingin tahu dan mengerti—meski seharusnya pertanyaan itu bisa
terjawab bila memang ia gemar membaca buku (cerpen). Seperti apa yang
pernah di katakan Joseph Addison, penulis kebangsaan Inggris
(1672—1719): “membaca adalah untuk pikiran sebagaimana latihan adalah
untuk badan”. Artinya, membaca adalah kegiatan reseptif yang mampu
mengolah otak untuk berpikir. Dengan banyak membaca, persoalan di atas
setidaknya bisa di atasi meski kurang optimal. Tanpa membaca, penilaian
atas kerja siswa dalam mengarang tersebut tentu akan sia-sia.
Selain mengamati Bapak itu, saya juga sering kali mengamati rekan
saya di luar sana—khususnya yang satu profesi. Meskipun tidak secara
langsung, kami sering berdiskusi via ponsel atau dunia maya. Pernyataan
mereka di dunia maya pun kadang sudah saya curigai bahwa memang di
situlah kelamahan guru Bahasa Indonesia: dilematik kala mengajari siswa
mengarang. “Bagaimana saya bisa mengajarkan mereka menulis, orang saya
sendiri tidak bisa menulis. Kadang saya melarikan diri kalau ada
pelajaran puisi atau mengarang. Saya tidak bisa,” ujarnya. Ada pula
kawan saya yang berujar begini “Saya lebih banyak mengajari siswa
menulis puisi atau menulis cerita saja. Saya hanya bisa itu. Persoalan
selain itu kadang saya kurang paham. Kadang beberapa bab materi Bahasa
Indonesia yang lain tidak saya ajarkan,” ujarnya.
Posisi mata pelajaran Bahasa Indonesia atau yang lain menyebutnya
Bahasa dan Sastra Indonesia memang amat dilematik. Mata pelajaran yang
menuntut kredibilitas para guru untuk mengajari siswa keduanya: bahasa
dan sastra. Padahal, lulusan linguistik, misalnya, mereka belum tentu
bersinggungan dengan sastra di kampusnya, terkecuali mereka membaca
sendiri. Begitu pun lulusan sastra, misalnya, mereka belum tentu
bersinggungan dengan linguistik, terkecuali mereka membaca sendiri pula.
Ada juga yang lulusan dari keduanya, yakni pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia. Ditambah dengan kata pendidikan di sini yang
semakin menguatkan bahwa diperkuliahan sudah dibekali ilmu mengajar.
Dalam kasus tersebut, berarti yang lebih tepat mengajarkan Bahasa
Indonesia adalah yang saya sebut terakhir. Benarkah?
Kenyataannya, sehebat apa pun dunia perkuliahan, para lulusan itu
belum tentu bisa mengajar dan mengaplikasian teori-teori itu dengan
baik, terutama berkaitan dengan dunia mengarang. Menurut saya, persoalan
mengarang tidak hanya didapatkan dari perkuliahan, tetapi juga dicari
dan dipelajari sendiri di luar—malah lebih banyak demikian yang saya
temukan, baik yang di rasakan oleh diri sendiri maupun orang lain.
Karena susahnya minta ampun, mengarang tak bisa diajarkan, tetapi bisa
dipelajari (mengutip Pamusuk Eneste), salah satunya dengan membaca. Oleh
karena itu, persoalan karang-mengarang seharusnya tidak diajarkan
sembarangan kepada siswa.
Setiap guru memang mempunyai jurus masing-masing untuk mengahadapi
dinamika tersebut. Salah satu tipe guru yang baik adalah yang banyak
memberi motivasi kepada siswa. Meskipun ia tak mampu mengarang, ia
selalu memberikan rujukan buku-buku sastra yang memadai, yang bonafide.
Namun, ada juga guru yang pandai mengarang, tetapi ia tidak mampu
memotivasi siswa untuk berkarya: ini yang dikhawatirkan. Karena
keberadaan guru sastra itu langka, seharusnya kemampuan itu dimanfaatkan
dengan dengan sebaik-baiknya bukan malah disia-siakan. Ada pula guru
yang takacuh, padahal siswanya memiliki potensi dan ambisi kuat untuk
berkarya (baca: mengarang). Sayang, gurunya tak memiliki kepekaan dan
keuletan membimbing siswa tersebut. Menurut saya, guru yang seperti ini
lebih gagal ketimbang guru yang saya sebutkan di atas.
Selain itu, saya juga menemukan tipe guru yang lain, yang menurut
saya “spektakuler”. Salah satu rekan saya ini lulusan biologi, tetapi ia
diberikan amanah mengajarkan Bahasa Indonesia. Saya kagum ketika ia
sesekali bertanya pada saya perihal persoalan Bahasa Indonesia.
Pertanyaannya itu kadang membuat saya berkerut kening. Saya cukup
tersinggung atas kerja kerasnya itu, sekaligus saya mengacungkan jempol
kepadanya karena ia lebih banyak membaca ketimbang saya. Saya yang
nonatebe lulusan Bahasa Indonesia, seharunya lebih giat belajar lagi.
Namun, ia lemah ihwal karang-mengarang. Seandainya ia mampu juga
menggeluti dunia itu, saya yakin nasib siswa akan lebih cerah dan
sejahtera.
Guru yang memiliki kemampuan di bidang bahasa dan sastra memang
sangat langka. Kebanyakan hanya menggeluti satu bidang saja: bahasa atau
sastra. Oleh karena itu, pelajaran bahasa dan sastra seharusnya
terpisah bila memang guru yang bersangkutan kurang mampu mengajarkan
salah satunya. Artinya, ada dua guru bidang. Tentu saja guru yang sesuai
dengan bidangnya, juga yang mampu memberikan motivasi kepada siswanya
ihwal berkarya. Dengan begitu, dunia karang-mengarang akan
terselamatkan. Guru mengarang di sini tak harus dari lulusan sastra.
Selagi ia mampu berkontribusi lebih, mengapa tidak? Toh, banyak juga
para sastrawan yang bukan lulusan sastra, tetapi mereka jauh lebih
unggul daripada mereka yang lulusan sastra. Sebut saja, Taufiq Ismail
(kedokteran) dan Sutardji Calzoum Bahri (administrasi negara). Namun,
ada juga yang memang sesuai lulusannya, semisal W.S. Rendra (sastra
Inggris). Selain itu, ada juga mahaguru yang ahli kedua bidang tersebut,
semisal Sutan Takdir Alisjahbana, Remy Sylado, dan Maman S.
Mahayana—menyebut beberapa nama—yang sudah menghasilkan banyak
penelitian dan menerbitkannya dalam bentuk buku.
Sebagai simpulan, dilematika pelajaran mengarang di sekolah memang
harus kita benahi bersama, terutama kesadaran kemampuan guru
masing-masing, juga keselektifan kepala sekolah mencari dan memilih guru
yang tepat. Namun, Anda tak harus pusing, semua itu bisa diatasi dengan
banyak membaca dan berdiskusi. Semoga kita dapat bercermin dari
persoalan ini—juga mata pelajaran lain. Lalu, tinggal satu pertanyaan,
pilih bahasa atau sastra? Hanya pidato Charil Anwar yang mampu
menjawabnya: “keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat”. [*]
Radar Banten, 24 Maret 2015
*Encep Abdullah, Aktivis Kubah Budaya. Tinggal di Pontang.
0 komentar:
Posting Komentar