Bahasa Nembak, Damai, dan Korupsi


 Oleh Encep Abdullah

            “Eh, kau udah buat SIM belum?”
            “Belum. Ribet ngurusnya.”
            “Nembak aja, Bro!”
            Begitulah yang kerap terdengar dalam sebuah percakapan mengenai seseorang yang akan membuat SIM. Tak pernah rasanya saya mendengar istilah lain selain kata nembak dari orang-orang tersebut. Baik dari kalangan berkelas maupun tak berkelas, dari aparat maupun calo. Kata nembak sudah melekat yang barangkali cukup susah tergantikan padanan katanya.
            Di lain tempat, saya juga kerap mendengar kata tersebut. Namun, lain cerita. Seorang teman terlihat begitu gembira karena katanya ia sudah nembak seorang perempuan yang sudah lama disukainya dan perempuan itu menerimanya. “Mati, dong?” candaku padanya. Ya, nggaklah, emang nembak burung bisa mati,” jawabnya serius.
            Lain tempat lagi, ketika saya dan kawan-kawan menyaksikan laga duel El Clasico, salah seorang kawan berujar, “Ah, Messi, nembak bolanya kurang keras, payah!” wajahnya tampak kecewa sambil menjambak rambutnya sendiri.
            Dari berbagai ujaran nembak di atas, saya sering kali berpikir. Kok, bisa kata nembak bisa berpindah-pindah posisi (makna) seperti itu? Berikut saya ringkas percakapan di atas: (1) nembak SIM; (2) nembak seorang perempuan; (3) nembak burung; (4) nembak bola. Apakah kira-kira keempatnya bermakna sama?
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata nembak (baca: menembak) termasuk homonim. Ada menembak  yang berarti 1 ‘melepaskan peluru dsb dr senjata api’ (senapan, meriam, dsb); ‘membedil’: ~ ke atas sbg peringatan; ~ harimau; 2’ menyepak bola arah ke gawang’: ia berhasil ~ ke sudut gawang. Ada juga menembak berarti 1’ menujukan’; mengarahkan kpd’; ‘memaksudkan’: siapa yg ~ dialah yg punya maksud; 2 ki ‘menyambar’ (tt petir): petir ~ bangunan yg tinggi itu.
      Contoh (3) dan (4) secara leksikal sesuai dengan makna menembak yang dijelaskan pertama, sedangkan (1) dan (2) lebih tepat dengan makna menembak yang dijelaskan bagian kedua lema pertama, yakni ‘menujukan’; ‘mengarahkan kpd’; ‘memaksudkan’. Seturut pandangan saya, kata nembak pada nomor (1) masih memiliki makna lain, yakni (a) menyuap/menyogok, dan (b) mempercepat proses pembuatan (dalam hal ini: SIM).
    Pada dasarnya orang yang tidak mau pusing mengurus SIM itu karena prosesnya yang barangkali memakan waktu yang lama (meski sebagian orang tidak mengatakan demikian). Jadi, dengan nembak, proses tersebut akan lebih cepat selesai meskipun harus morogoh kocek yang lebih mahal. Padahal, hal demikian sama saja berarti dengan ‘menyuap’ karena terjadi melalui jalur yang tidak sesuai dengan hukum. Sayangnya, semua orang sudah menganggapnya hal yang lumrah terjadi. Beberapa orang yang tidak suka dikatakan nembak, mereka mendalih mengatakan hanya memberi “uang rokok” atau “uang suka rela” kepada calo/aparat yang bersangkutan. Bila dikatakan “uang rokok”, saya yakin uang yang dikeluarkan untuk membuat SIM yang diberikan kepada calo/aparat tersebut tidak seharga dengan sebungkus rokok tersebut. Terkecuali mereka memberi berbungkus-bungkus rokok, yang barangkali harganya sebanding atau bisa juga melampaui uang suapan kepada calo/aparat tersebut.
            Selain nembak, kata yang akrab dengan aparat kepolisian adalah kata damai. Biasanya kata ini muncul ketika salah seorang pengendara motor/mobil tertilang polisi. Orang-orang yang tidak mau pusing mengurus proses penilangan tersebut biasanya akan dengan mudahnya berkata “Pak, sudahlah, kita damai saja. Saya tidak punya banyak waktu untuk mengurusnya.” Atau bisa pula kata tersebut keluar dari mulut aparat polisi yang bersangkutan.
    Apakah kira-kira dengan kata damai, proses tersebut akan selesai perkara? Menurut saya, belum tentu. Karena maksud damai kedua belah pihak ini bukan seperti damai dalam arti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni ‘tidak ada perang’; ‘tidak ada kerusuhan’; ‘aman’: 2 a ‘tenteram’; ‘tenang’: 3 n ‘keadaan tidak bermusuhan’; ‘rukun’.
    Menurut saya, hal demikian bukanlah damai yang aman, tenteram, dan tenang. Orang-orang yang ditilang, saya kira, sedamai apa pun mereka berhasil kongkalikong dengan polisi, dalam hati, mereka tetap merasa jengkel bahkan mungkin muak—menurut beberapa tuturan kawan saya. Pasalnya, karena ketertilangan itu, aktivitas mereka menjadi terganggu. Coba Anda lihat saja di salah satu stasiun televisi (acara 86) yang menayangkan aktivitas polisi dalam menangkap pelaku yang melanggar lalu lintas. Beberapa pelaku saya lihat cukup terganggu dengan aktivitas polisi yang menilang mendadak ini—meskipun ini memang sudah keharusan dan kewajiban mereka sebagai aparat penegang hukum. Lalu, masihkah Anda mengotot ingin berdamai?
    Dalam kasus ini, damai yang dimaksud di atas suatu hal yang melanggar hukum. Saya kira, pengertian damai ini tidak jauh berbeda dengan pengertian nembak yang saya uraikan sebelumnya: (a) menyuap/menyogok, dan (b) mempercepat proses hukum.
    Bila disimpulkan, nembak (SIM) dan damai dalam kasus tersebut berbanding lurus dengan makna korupsi. Semakin tinggi tingkat perdamaian (terselubung), akan semakin tinggi pula tingkat korupsi yang terjadi. Barangkali apakah suatu saat kepanjangan KPK bisa berganti menjadi: Komisi Pemberantasan Kedamaian? Ah, alangkah lucunya negeri ini. [*]

Dimuat di Tangsel Pos, 11 Maret 2015
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar