Begal


An armed robber. File photo.
Image by: Thinkstock


Oleh Encep Abdullah

Berita kasus pembegalan masih saya baca di media massa baik cetak maupun daring (on line) terhitung Januari—Februari 2015. Entah apakah sampai akhir Maret ini atau selanjutnya pemberitaan itu masih akan terus kita baca dan/atau dengar, atau malah sebaliknya. Saya benar-benar turut berdukacita atas kejadian yang menimpa para korban yang berjibun itu.
       Saya juga berterima kasih kepada media massa dan orang-orang di sekitar saya. Gara-gara geger kasus ini, kata begal terus membayangi saya untuk menuliskannya. Saya menyoal aspek bahasanya saja. Hal ini setidaknya memberikan sisi lain, juga sekadar rihat dari hiruk pikuk pembegalan (di media massa).
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008), kata begal termasuk nomina atau kata benda. Namun, pada kenyataannya, masih ada yang menggunakannya sebagai verba atau kata kerja, semisal ibu saya berujar begini: “Jangan pulang kerja larut malam, nanti dibegal orang”. Dari segi bentuk, memang kata dibegal tidak menjadi soal, lain dari segi makna. Coba kita ganti kata begal tersebut dengan kata lain yang bermakna setara, perampas misalnya. Maka, kalimat ibu saya menjadi begini: “Jangan pulang kerja larut malam, nanti diperampas orang.” Apakah bisa begitu?
      Dalam kasus lain, saya menemukan pemakaian kata bengal dan turunannya seperti berikut.
(1) “Anggota komplotan begal tewas diamuk massa di Jalan Kebun, Desa Payabakung, Hamparan Perak, Deliserdang, Sumatera Utara.”
(2) “Seorang pemuda tewas dibantai pembegal di proyek Tol Cijago, Sukamajaya, Depok, Jawa Barat.”
(3) “Seorang pelaku pembegalan tewas setelah dibakar hidup-hidup di Jalan Raya Ceger, Pondok Aren, Tangsel.”
(Republika online, 2 Maret, 2015)

Dari ketiga bentuk kata itu (begal, pembegal, dan pembegalan), kata pembegal tidak terdaftar dalam KBBI. Yang termuat di dalamnya sebagai berikut: begal,membegal, pembegalan. Peniadaan kata pembegal memang tepat, karena kata begal sendiri sudah berarti pelaku. Seperti judul berita di Republika, 2 Maret 2015 berikut ini.
(1) “Pesan untuk Begal dan Polisi”
(2) “Begal Remaja Lebih Brutal”
        Kata begal memiliki kesamaan bentuk dan makna (denotasi) dengan kata rampok: sama-sama kata asal dan tidak perlu dibubuhi afiks {peng-}untuk makna pelaku. Lain dengan kata todong, rampas, samun, palak, dan peras. Kelima kata tersebut memiliki makna (denotasi) yang sama dan berada dalam kelas yang sama: verba. Untuk dijadikan sebagai nomina (pelaku), mereka harus dibubuhi afiks (imbuhan) {-peng} menjadi: penodong, perampas, penyamun, pemalak, pemeras.
      Selain kekurangcermatan pemakaian bentuk, kasus begal yang lain adalah persoalan penyempitan makna dan ketaksaan atau ambiguitas. Coba Anda perhatikan cuplikan berita berikut.
(1) “Pelaku pembegalan menusuk korban hingga tewas dan merampas sepeda motor di Jalan Veteran, Makkasar.”
(2) “Pelaku pembegalan menganiaya korban hingga tewas dan merampas sepeda motornya di depan kampus BSI, Margonda, Depok, Jawa Barat.”
(Republika online, 2 Maret 2015)
     Dalam kedua cuplikan berita tersebut, begal dimaknai sebagai aksi kejahatan dalam rangka mendapatkan kendaraan (motor atau mobil) seseorang. Padahal, makna kata begal tidak hanya merujuk pada hal demikian, tetapi juga berkaitan dengan orang yang menyamun (entah di jalan atau pun bukan). Orang yang menjambret dompet atau perhiasan pun, menurut saya, juga termasuk pembegalan (ya, bisa penjambret itu dengan atau tanpa mengendarai sepeda motor). Sayangnya, terkadang media hanya menyebut pembegalan itu pada satu makna saja: perampasan sepeda motor. Ini yang saya sebut sebagai penyempitan makna.
      Nah, masalahnya (selain itu) pemberitaan di media juga kerap mengandung ketaksaan, misalnya dalam potongan berita berikut.
(1) “Dalam upaya menanggulangi kasus begal motor ada latar belakang yang perlu diwaspadai bersama....”
(2) “Polri tidak mampu menangani kasus begal motor ini.”
(antaranews.com, 2 Maret 2015)
      Dua berita tersebut memakai frasa begal motor. Frasa ini (dapat) mengandung tiga makna:
(1) penyamun yang melakukan aksi kejahatan dengan mengendarai sepeda motor;
(2) penyamun yang melakukan aksi kejahatan untuk mendapatkan sepeda motor;
(3) penyamun yang melakukan aksi kejahatan dengan mengendarai sepeda motor untuk mendapatkan sepeda motor yang lain.
        Meskipun ambigu, faktanya, ketiganya juga kerap dipakai. Lantas begal yang mana yang harus kita pilih? Sepertinya, kita harus memilih dan “membegal” salah satu maknanya.
       Dalam kasus ini, persoalan bahasa terkadang diremeh-temehkan. Padahal, setiap hari kita memakai bahasa. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki fungsi lain, seperti yang pernah dikatakan Sudaryanto (Kompas, 23 November 2014): “Orang lupa pada fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama.” Jadi, dengan bahasa kita berpikir, dengan bahasa kita berujar, dengan bahasa kita menulis, dengan bahasa kita saling berinteraksi. Lalu, bagaimana dengan kesalahpahaman bahasa begal yang kita ujarkan dan/atau yang kita baca setiap hari di media massa? Tentu saja hal tersebut harus kita kembalikan pada asal mula maknanya. Mari kita sama-sama “membegal”-nya.[*]


Riau Pos, Minggu, 22 Maret 2015

Sumber: http://www.riaupos.co/2451-spesial-begal.html#.VQ56e9KUc8k
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar