Perempuan yang Mengutuk Cermin

Mirror Mirror from pixshark.com/woman-mirror-reflection.htm

Oleh Encep Abdullah
Rena masih berada di kamar mandi. Barangkali sudah hampir dua jam ia di sana seusai azan subuh. Seisi rumah—Ayah, Ibu, dan Kakak Laki-lakinya—kalang kabut karena Rena sudah menyita waktu mereka di pagi hari. Mereka juga punya keperluan di tempat kerja masing-masing. Pintu pun digedor berkali-kali. Tapi, tak ada suara sedikit pun dari dalam kamar mandi yang hanya ada satu-satunya di rumah kecil itu.
***
            “Ren, mau ke mana?”
            “Beli cermin.”
            “Bukannya kamu sudah punya seribu cermin, yah?”
            “Masih kurang.”
            “Buat apa?“
            “Membunuh para lelaki bajingan!”
            Begitulah jawaban Rena bila ditanya oleh kawan-kawan kampusnya. Perempuan berambut pirang sebahu yang selalu membawa cermin di saku baju, kadang-kadang di celana jins-nya, dan tentu saja yang paling banyak ada di dalam tasnya. Ia tak pernah malu dan tak mau peduli apa kata orang-orang di sekitarnya. Meski kadang beberapa temannya mengutuknya sebagai perempuan gila.
            “Tak punya otak!”      
Setiap kali ada seseorang yang mengutuk, Rena selalu memberikan salah satu cerminnya itu kepada si pengutuk. Dan esok hari si pengutuk selalu akan berwajah murung dan layu. Tak ada gairah hidup. Dan semenjak itu tak ada lagi perempuan yang mengutuk sembarangan kepada Rena. Teman-temannya menganggap Rena punya ilmu sihir.
            Rena memang cantik. Alisnya tebal. Bibirnya tipis dan seksi. Hidungnya mancung. Dan dagunya bak rumah lebah menggantung di pohon. Kecantikannya itulah yang membuat perempuan lain iri dan cemburu. Pasalnya, setiap kali ada lelaki tampan yang melintas, mata mereka langsung menyorot sosok Rena. Sampai air liur lelaki itu menetes. Melupa pada apa-apa yang keluar dari mulutnya. Padahal Rena tak begitu semok. Tak berpakaian seksi. Tak seperti kawan-kawannya yang ber-rok seatas lutut. Dadanya juga tak begitu kencang. Tak sekencang artis-artis dangdut di panggung hiburan. Tapi entah mengapa, para lelaki begitu terpesona bak melihat perempuan telanjang.
            “Rena, aku jatuh cinta padamu. Aku ingin mencumbumu,” ujar seorang lelaki untuk kesekian kali.
            Rena tak mau pusing menjawab. Selain kepada orang-orang yang mengutuk, cermin-cermin yang ia punya itu tak lupa pula diberikan kepada setiap lelaki yang jatuh hati padanya. Dan entah mengapa keesokan hari, lelaki yang jatuh hati itu pun akan lupa pada Rena. Seperti orang amnesia.
***
            “Dasar muka monyet!”
            Seorang lelaki berparas bak arjuna mengatainya amat lantang di ruang kelas. Rena bermuka masam. Air mata tak henti mengalir membasahi pipinya. Hatinya hancur berkeping-keping. Rena tak menyangka lelaki tampan—duta di SMA-nya itu—sampai tega mengucap demikian di hadapannya langsung. Sepulang sekolah hatinya sekarat dan beku. Setiap hari, ia meratapi wajahnya dihadapan cermin. Sampai sekarang dan sampai saat ini Rena akan selalu mengutuk dirinya di cermin sambil berkata, “Monyet!”
            Padahal Rena tahu, wajahnya tak seburuk itu. Barangkali ia menyadari, lelaki itu mengutuk bukan karena ia seperti monyet, melainkan karena lelaki itu memang tak suka padanya. Tapi, tetap saja monyet adalah binatang, dan baginya hal itu adalah perkataan yang paling kejam dalam hidupnya.
***
            Rena tidak asal bercermin. Ia punya tempat sendiri di mana ia harus lama bercermin. Salah satu tempat favoritnya adalah toilet/ kamar mandi. Karena di tempat itu tak banyak orang tahu. Katanya, malaikat dan Tuhan pun enggan memerhatikannya di tempat itu. Awalnya ia bercermin hanya 10 menit, 20 menit, 30 menit, sampai satu jam. Tapi, ia bercermin bukan untuk dandan laiknya orang-orang yang hendak ke kampus atau bekerja atau pernikahan atau sekadar iseng saja, melainkan ia hanya memandangi wajahnya saja. Mulai mata, hidung, bibir, gigi, rambut. Bagian tubuh lainnya jarang sekali dilihat. Hanya wajah. Ya, hanya wajah.
Rena mempunyai banyak cermin dan itu pun tak sebesar lemari pakaian. Hanya bulat atau kotak yang segenggam bungkus korek api saja. Atau paling besar juga seukuran kertas legal. Itu pun hanya ia simpan di rumah—tepatnya di kamar mandi yang dipenuhi dengan cermin yang lain. Tempat yang bikin keluargnya selalu kesal padanya. Jangankan di rumah, kadang di toilet umum pun orang-orang merasa jengkel lantaran Rena terlalu lama di dalam. Sampai orang-orang mengentre panjang bak mengantre BLT.
“Dasar monyet!” sambil pergi.
“Iya, lama sekali. Ngapain aja, sih, di dalem.”
“Nggak ada suara air atau apa.”
“Sial, monyet!”
Sumpah serapah itu juga sering kali ia dengar dari orang lain yang tak jelas wajah dan juntrungannya. Mangkanya, dengan begitu ia akan semakin lebih lama lagi di dalam. Sebagai bentuk rasa kesalnya kepada orang-orang itu. Memerhatikan lagi dengan saksama apakah wajahnya memang benar-benar mirip monyet. Ah, monyet, baginya adalah kutukan yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia pun masih bercermin. Tak peduli orang berkata apa. Terkadang dengan sendirinya orang-orang itu pun pergi dari toilet ke toilet yang lain, dan tidak lupa, sambil mengutuk sumpah serapah itu sekali atau berkali-kali. Bahkan beberapa orang mengeluarkan sarkasme binatang selain monyet, misal anjing dan babi. Namun, tetap monyet  yang paling dibencinya.
            Pernah suatu kali seorang lelaki dengan sabar menunggu Rena keluar dari toilet—toilet ini memang untuk laki-laki dan perempuan. Lelaki diam saja. Sambil kedua tangannya diangkat ke pinggang, wajahnya gelisah dan berkeringat dingin. Rena pun keluar, dan sontak kaget melihatnya. Begitu pun dengan lelaki itu. Karena wajah yang saling berpapasan itu tampaknya tidaklah begitu asing.
            “Baru kali ini tak ada sumpah serapah yang aku dengar dari orang lain yang menungguku lama di toilet. Lelaki pula,” ujarnya.
            Rena pun menunggu lelaki itu sampai keluar dari toilet. Ia penasaran dengan wajah itu. Putih, bersih, dan tampan. Sekilas mirip lelaki yang mengutuknya pertama kali. Tapi, ia buyarkan pikiran itu. Tak mungkin, katanya.
            Lelaki itu pun keluar sambil menunduk, masih membetulkan sabuk celana yang belum pas benar masuk ke lubangnya. Rena memandangi lelaki itu dengan saksama. Mereka pun berpapasan. Jantung Rena berdetak lebih kencang. Lelaki itu, Gilar. Seseorang yang pertama kali mengutuknya monyet.
            “Gilar?” Tanya Rena keheranan.
            Sayangnya, lelaki itu menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Ia malah lebih heran daripada Rena. Menunjukkan ia tak mengenal Rena. Dan Rena yakin, lelaki itu Gilar. Rena dibuat pusing sendiri. Ia yakin karena ia melihat ada tahi lalat di dagu lelaki itu. Dan bibir itu—dengan giginya yang kelinci—yang pernah melukai hatinya. Rena benar-benar masih ingat. Apa Gilar benar-benar sudah lupa, pikirnya.
            Sepanjang malam, Rena masih memikirkan lelaki itu. Baru kali ini ada lelaki yang dengan sabar menunggunya di toilet. Bahkan ketika berpapasan pun tersenyum. Sosok seperti inilah yang ia cari. Tak bersumpah serapah kala Rena lama di toilet. Sayangnya, lelaki ini adalah lelaki terkutuk yang sedari dulu paling dibencinya. Ia masih trauma oleh peristiwa lalu.
            Rena masih ingat pesan dari seseorang yang entah siapa datang ke dalam mimpinya. Bila bertemu lelaki demikian, maka dekatilah dan bercintalah dengannya. Dan berilah ia sebuah cermin dengan kutukan doa yang paling indah. Karena hanya itulah yang akan mengembalikan kehidupan Rena seperti sedia kala—dan hanya lelaki demikian yang mau  dengan Rena seumur hidup. Rena yakin, mimpi datang dari Tuhan. Ia percaya hal demikian adalah sesuatu yang baik baginya. Namun, apalah hendak di kata. Ia harus bercinta dengan lelaki yang sudah membikinnya menyukai cermin. Batinnya bergejolak. Antara benci dan mimpi.
            Malam itu Rena mencari cermin kesayangannya. Cermin yang sudah ia berikan kutukan paling keji untuk seorang lelaki “semoga kau tak dapat jodoh seumur hidupmu!”. Setengah mati, ia mencari. Dan tak menemukannya. Ia baru ingat. Cermin itu tertinggal di toilet kemarin. Jangan-jangan Gilar...
            “Monyet!”
                                                                                                      Serang, 29 November 2014

Dimuat di Satelit News (koran Tangerang), 5 April 2015
Biodata Penulis
Encep Abdullah. Lahir di Serang, 20 September 1990. Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Lampung Post, Riau Pos, Jurnal Nasional, Bali Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, Republika, dan lain-lain, serta beberapa antologi buku. Bergiat di Kubah Budaya.
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar