Ayu
Utami memulai novel terbarunya lewat
ingatan pertama seorang anak yang baru berusia satu hari (Enrico). Diusia awal
mengenal bumi, Enrico dibawa bergrilya. Keadaan memaksa kedua orangtuanya masuk
ke hutan belantara dan kampung di Sumatra Barat. Sehari setelah kelahiran Enrico
pemberontakan militer pecah (PRRI) tahun 1959. Ayah Enrico yang seorang Letnan
Angkatan Darat memutuskan untuk setia pada sumpah prajurit, menyempal bersama
pasukannya. Oleh pengarang kisah ini disebut sebagai revolusi berkaki kurus. Revolusi
bagi Sumatra, pemberontakan bagi Jawa (Soekarno).
Kisah mengalir dengan manis, bagaikan puzzel.
Enrico menceritakan cinta pertamanya, cinta pertamanya adalah cintanya pada
ibunya. Ibu yang selalu gagah memakai rok dan pantovel, sungguh berbeda dengan
wanita di kala itu yang menggunakan kain dan kebaya. Ibu yang menyelamatkan
perekonomian keluarga, dengan kemahiran memlihara unggas. Sehingga
telur-telurnya bisa dijual untuk memenuhi kehidupan keluarga Enrico yang sulit.
Enrico kecil sangat mencintai ibunya, ia akan sangat bahagia bila setelah
menyemir pantovel, ibu memberinya senyum dan elusan hangat di rambutnya. Enrico
kecil sangat penurut dan mengaggumi ibunya.
Namun, semua ini berbanding terbalik setelah Enrico tumbuh remaja.
Perubahan ini dipicu oleh keadaan dan sikap ibunya yang berubah. Semenjak
kematian kakak Enrico, ibu terlihat tanpa arah. Datanglah penyiar agama yang
membuat sang ibu menjadi sangat fanatik dengan agama. Menjauhi seni dan
kebahagiaan duniawi. Hal ini membuat Enrico patah hati. Enrico menyalahkan
agama untuk kasus yang menimpa ibunya.
Enrico
yang sedang patah hati menemukan tiket untuk melepaskan rasa sakitnya, ketika
ia dan keluarganya menginjak pulai Jawa untuk menemui neneknya. Enrico berharap
segera menjauh dari ibunya. Lepas dari segala perintah ibu, menjadi mausia
bebas. Bahkan untuk mendapat persetujuan dari ibunya ia bersedia di baptis,
walaupun hatinya menolak. Enrico berhasil menjadi mahasiswa ITB. Enrico
benar-benar melakukan hal-hal yang selama ini dilarang oleh ibunya. Kisah Enrico
setelah menjadi sebatang kara berlabuh pada sastrawan yang dikenalnya di Utan
Kayu berinisial A. Enrico merasa menemukan cintanya yang telah lama patah,
Enrico menjalani hubungah yang panjang dengan A. Enrico menemukan kemiripan A
dengan ibunya diwaktu ia masih kecil.
Kekaguman cinta pertamanya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah mengalami hal
ini. A dan Enrico menikah pada tanggal 17 Agustus 2011.
Ada
dua kejutan dalam novel baru Ayu Utami yang saya rasakan. Kisah si aku (Enrico)
dalam novel ini adalah kisah nyata, yang disusun kembali dengan indah oleh Ayu
Utami. Tokoh A yang menikah dengan si aku (Enrico) yang disebutkan inisialnya
A. Dalam penutup cerita novel ini diketahui A adalah Ayu Utami. Kejutan yang
kedua adalah Ayu Utami menikah, menikah dalam novel terbarunya. Hal ini tidak
kita temukan dalam novel-novel Ayu sebelumnya (Saman, Larung, Bilangan Fu,
Manjali dan Cakrabirawa). Namun, pembaca tidak dapat menghakimi Ayu tidak
konsisten dengan novel-novel sebelumnya. Dengan suara-suara feminis yang
mengkritisi sistem partiarki yang menekan perempuan. Hukum pernikahan di
Indonesia yang mengsubordinatkan perempuan.
Novel
terbaru Ayu Utami tetap menyuarakan kritik terhadap sejarah, seks, hubungan
lelaki dan perempuan, sistem pernikahan di Indonesia, dan agama. Tetap indah
dengan gaya bercerita yang mengalir. Membuat pembaca selalu rindu menantikan
cerita-cerita Ayu selanjutnya.
Peresensi/Resensor:
Wulan Endah. Mahasiswa Untirta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Aktif di Kubah Budaya. Tinggal di Cilegon.
0 komentar:
Posting Komentar