(Mengenang
Moh. Wan Anwar)
Ada banyak tema yang menjadi rahim bagi
lahirnya sebuah puisi. Keberagaman fenomena pada peristiwa sehari-hari,
setidaknya menjadi sumur tanpa dasar (pinjam istilah Arifin C. Noer) yang tidak
pernah kering digali oleh para pencari kata-kata. Tema cinta, kesunyian, kritik
sosial, kecemasan eksistensial hingga kematian—sekadar menyebut beberapa
contoh—telah banyak digumuli hingga melahirkan puisi dengan beragam gaya
pengucapan.
Kematian sebagai salah satu tema yang terus
mengilhami lahirnya puisi pada dasarnya adalah peristiwa keseharian yang sudah
akrab dengan manusia. Pada sebuah puisi, maut menjadi sesuatu yang bervariasi
dan terus dimaknai terutama oleh para penyair. Kematian yang sudah merupakan
hal yang terberi (given) ternyata
tidak selesai pada traktat filsafat, eskatologi kitab suci, dan ilmu
medis. Penyair terus menerobos pada
wilayah pemaknaan ulang mengenai kematian. Apabila yang pertama mencoba menekan
respon subjek diri dengan merumuskan konsep-konsep ajeg dengan pikiran, iman
dan reduksi ilmu pengetahuan, maka yang kedua (sengaja?) membiarkannya tetap
pada posisinya yang berjarak dari subjek. Pada titik ini bahasa puitik bisa
menjadi alternatif yang mungkin dapat mendekatinya dengan alegori dan metafora
karena acuan (referen) pada tingkat
denotasi selalu timbul dan tenggelam dalam ranah konseptual.
Sebagai contoh Chairil pernah menulis sajak
berjudul “Nisan”. Pada sajak tersebut Chairil menumpahkan kesedihannya karena
sosok nenek yang sangat dicintainya meninggal dunia.
Bukan kematian benar
menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima
segala tiba
Tak kutahu setinggi
itu atas debu
dan duka maha
tuanbertahta[1]
Oktober, 1942
Ada suasana hikmat dalam puisi tersebut dan
pedihnya perpisahan si aku lirik dengan kau lirik di dalamnya. Dengan gaya
tutur yang menohok pada pokok persoalan Chairil telah menunjukkan betapa
kematian yang sudah menjadi hal yang niscaya dari kehidupan tetap saja
menggoreskan duka yang mendalam bagi orang yang ditinggalkan. Larik duka yang maha tuan bertahta mungkin
tidak akan ada seandainya hubungannya dengan sang nenek tidak begitu dekat
seperti hubungannya dengan sang ayah misalnya. Hubungan kedekatan Chairil
dengan sang nenek mungkin karena setelah kedua orang tuanya bercerai ia
menemukan kasih sayang tulus luar biasa dari nenek dan terutama ibunya.
Apabila Chairil melihat kematian sebagai
penyerahan yang tinggi atas debu dan keihlasan luar biasa lain halnya dengan
Paul Celan. Penyair berdarah Yahudi yang terkenal dengan sajaknya yang berjudul
“Fuga Maut” (Todesfuge) ini sangat
lekat dengan sajak yang gelap pekat. Kematian dalam puisi Celan tidak hanya
menimpa kedua orang tuanya karena kebiadaban tentara Jerman tetapi sudah
merenggut Kemanusiaan (degan K besar) pada jamannya. Pada kepedihan itulah
Celan menulis maut sebagai susu hitam
dini hari/ kami reguk saat senja/
kami reguk siang dan pagi kami reguk
malam/ kami reguk dan reguk/ kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring
tak berdesakkan//. Kemudian Celan menambahkan /ia menghardik ayo mainkan maut lebih merdu/ maut adalah maestro dari
Jerman/ ia menghardik ayo gesek biola lebih kelam/.[2]
Kematian yang
dirasakan Chairil sungguh berbeda dengan Celan yang terkondisikan oleh
kerasnya kamp konsentrasi, pembunuhan masal, dan tipisnya harapan hidup di
tengah kecamuk kesewenang-wenangan penguasa. Setelah bertahun-tahun dalam
pelarian, kehidupan bagi Celan tak lebih dari sekadar “Fuga” atau dalam bahasa
Latin berarti “pelarian” yang tak ke mana pun selain pada akhirnya menyongsong
kematian itu sendiri. Putus asa yang luar biasa dari pengejaran satu ke
pengejaran lain semakin memperkokoh warna kehidupan yang melulu gelap (susu
hitam).
***
Membaca antologi
puisi Berjalan Ke Utara (Antologi
Puisi Mengenang Moh. Wan Anwar), kematian baik sebagai tema maupun fenomena
menjadi sumber pemaknaan bagi 76 puisi yang terhimpun di dalamnya. Wan Anwar (selanjutnya
MWA) dan karya-karyanya yang tidak sedikit berbicara soal kematian tidak
ubahnya seperti rajutan “teks” yang terus diurai kembali oleh ke 76 penyair ke
dalam bentuk pengucapannya masing-masing. Dalam proses mengurai tersebut
sebagian penyair ada yang mampu menarik benang-benangnya dengan baik untuk
merajut menjadi rajutan baru khas miliknya namun ada juga yang malah membuat
kusut dan jatuh sebagai common sense.
Perbedaan rajutan baru para penyair di dalam
antologi ini mungkin dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing penyair.
Latar belakang tersebut bisa sebagai kondisi sosial yang mempengaruhi cara
memandang dunia yang terepresentasikan ke dalam bentuk pengucapan.[3]
Kematian dalam hal ini telah mengalami perluasan makna sedemikian rupa ke dalam
pencarian bentuk estetik yang unik. Maka wajar kiranya apabila mayoritas
penyair dalam antologi ini berlomba-lomba dalam merengkuh unikum tadi. Sebagian sudah dapat merengkuhnya namun sebagian lagi
malah terjebak pada gaya penuturan biasa.
Ada beberapa puisi
yang menurut saya sudah mengurai dan merajut dirinya sebagai teks baru yang
khas. Puisi Budi Setyawan yang berjudul “Bulan Sabit di Serang” telah
menjadikan puisi sebagai medium silaturahmi kepada puisi yang ditulis penyair
lain. Komunikasi tersebut sangat khas dan personal karena makna tertunda oleh
idiom dan simbol yang dibangun.
kumengeja sajakmu
yang tegar menembus kabut
di tubir musim, di kamar
pengantin
segolak laut yang
mengejar angin
di mana karang, di mana
sarang
Puisi ini sebagai respons aku lirik terhadap puisi lain yang berkisah
tentang laut. Digambarkan bagaimana lautan yang bergolak oleh badai ternyata
tidak lebih dari teduh kamar pengantin. Dalam gejolak yang berkecamuk itu bukan
malah rasa gentar terhadap bahaya yang menunggu tetapi pencarian
(karang—sarang) rupanya lebih menggoda untuk terus bertahan sebelum dapat
menemukan.
dedaun kisah berguguran,
menyusut
malam menjelma selembut
maut
Jika kematian menjadi hal yang tidak bisa dihindari, maka harapan seolah
menjadi jalan bagi hilangnya sesuatu yang berharga pada waktu kini. Harapan
sebagai simplisitas waktu yang akan terjadi (future) setelah waktu kini menjadikannya sebagai titik terakhir
untuk tidak jatuh pada krisis. Harapan menjadi cahaya—walau tidak sepenuh
purnama—tetapi justru pada sisa sabit akan terus berhamburan kidung yang
menderas bagai sungai (gambaran pribadi MWA?) yang tidak pernah letih mencari
jati-diri tidak sebagai orang Cianjur atau orang Serang. Tetapi sebagai diri
yang kokoh dalam kediriannya.
ya di Serang,
bulan sabit masih akan
terus melafalkan barzanji cahaya
buat sungai sungai yang
tekun mencari
Bekasi, 2010
Kematian sudah kadung dianggap sebagai sebuah perjalanan.
Melalui kitab suci kita mengenal alam barzah, negeri akhirat, surga, neraka,
dan sebagainya. Pada sebuah puisi tempat perhentian itu mungkin menjadi hal
yang nisbi karena bisa jadi keberangkatan pada perjalanan pertama menjadi
kedatangan di tempat lain begitu seterusnya. Jika saja salah satu tempat di
atas dipastikan menjadi tujuan dari sebuah perjalanan maka puisi tidak lagi
menghadirkan ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi di dalamnya. Sebaliknya
pemberangkatan dari tempat yang pasti (riil) menuju ke arah entah justru
memungkinkan teks pada pemaknaan selanjutnya. Pembaca akan mencari sesuatu yang
tidak hadir pada teks tapi terasa ada (absen) pada dirinya. Puisi Delvi Yandra
dengan judul “Kereta Terakhir” telah
mencoba memasuki wilayah kemungkinan itu.
dari cianjur, kereta
melaju ke utara jauh, jauh sekali
tetapi kedatanganmu seperti desau angin
melesat dan berkitaran di sepanjang peron
…………………………………………
kini, rindu tak ada batasnya
serupa kasidah yang kau tuliskan
di stasiun yang kau tinggalkan
Padang, 2010
MWA yang dilahirkan di Cianjur pada 5 Maret 1970 menjadi
semacam acuan awal dalam sajak ini. Tetapi acuan awal itu segera dibatalkan
karena perkara ruang menjadi kabur karena kematian memicu ambivalensi yang
nyata dan yang maya. Akibat dari tak terumuskannya ruang tadi rindu pun menjadi
tak terbatas pada seseorang. Rindu justru bergantung pada apa pun yang
ditinggalkan kau lirik pada aku lirik. Idiom kasidah, sebagai medium untuk mengenang kau lirik dalam puisi di
atas, MWA pernah menulis puisi masih dengan tema maut dengan judul ”Kasidah
Banten"
karena aku telah datang
kuterima cintamu di ujung pedang
karena kau telah menjemput
kuterima hatimu semurni maut
...........................................
(Kompas, 2005)
Persentuhan penyair dengan fenomena kematian dalam sebuah
puisi tidak melahirkan definisi mengenai apa dan bagaimana kematian itu
terjadi. Persentuhan itu bersifat spontan dan tanpa pretensi. Maka yang terjadi
dari persentuhan demikian bukan lagi berangkat dari ide tentang kematian tetapi
getar gamang mengenainya. Usaha penangkapan makna yang berulang kali luput
namun terus menggoda penyair untuk meresponsnya.
Pada sajak yang lain, Sulaiman Djaya dengan puisi ”Terbanglah Mautku, Terbangkan Hidupku” menghadirkan kematian
sebagai ”ruang” pada nol referensi. Ruang tersebut pada akhirnya lesap dalam
semesta yang [ke]hilang[an] nama.
”Kehilangan” tentu berbeda dengan ”tidak ber-”.
Proses lebelisasi melalui nama sudah terjadi namun ketika maut memutus diri dengan dunia lebelisasi tersebut gugur karena ruang menjadi tidak terbatas
dan melampaui representasi ”nama” tadi. Negeri pada puisi ini merupakan
representasi maut yang telah mendorong diri pada kondisi liminalitas ruang
liyan secara total.
Terbanglah mautku, terbangkan aku ke negeri terujung,
negeri yang sama-sama
tak kita kenal, negeri resahku
di semesta hilang nama. Negeri kata-kataku yang kau curi
antara larik dan spasi. Negeri putih yang telah sekian
lama
kuraba dengan sepasang mata yang kau cintai ini.
Selain ruang yang mengalami surplus pemaknaan selanjunya adalah waktu. A.
Teeuw pernah melakukan pembacaan pada tiga sajak Sapardi Djoko Damono yang
berjudul: “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan
“Sehabis Mengantar Jenazah”.[4]
Pada esai yang berjudul “Tritunggal Tentang Waktu” tersebut Teeuw menemukan waktu pada ketiga sajak tersebut
merupakan representasi dari maut.
Pada antologi ini terdapat dua puisi yang secara eksplisit bersentuhan dengan
perkara waktu. Keduanya menggunakan waktu dalam bentuk yang lampau dengan
penambahan anaphora: itu. Puisi
pertama berjudul “Kepada Penyair yang Telah Pindah Rumah” karya Dian Hardiana.
Waktu
itu, partere tidak setenang ini
sesedih
ini. Ikan-ikan bersisik merah, bermata biru
menggambar
lingkaran pada kolam dan ingatan.
Waktu pada bait di
atas merupakan penegasan dari dua momen yang berbeda. Lampau dan kini. Ketika waktu itu diujarkan, maka kasadaran pada
yang telah lewat menjadi hadir kembali pada saat ini. Jika pembacaan Teeuw pada
esai “Tritunggal Tentang Waktu” kita amini maka waktu yang eksplisit pada puisi
ini boleh jadi berkelindan dengan perkara maut juga. Hanya saja maut yang absen
pada puisi ini tidak menjadi peristiwa sakral dalam bentuk upacara tetapi hanya
terjadi pada taraf kesadaran aku lirik ketika telah berlalunya peristiwa atau
perginya seseorang dalam kehidupan. Akibatnya perasaan kosong sepi menjadikan
aku lirik gamang dalam kehilangan.
…………………………………………
Lalu
kepada kota dan hujan ini mesti kutitipkan
jantung
berhenti dan cinta begitu mati
sedang
aku selalu takut ditinggalkan di saat-saat seperti ini.siapa
Pada puisi lain yang
berjudul “Ingatan” karya Dian Hartati, penghayatan kepada waktu lebih terasa
kuat. Bentuk pengulangan yang efektif menjadikan penghayatan terhadap waktu
begitu intens. Waktu bukan hanya memungkinkan terjadinya peristiwa dalam ruang
tetapi waktu menjadi berarti justru karena pada ruang itu peristiwa yang hadir
mendorong aku lirik menandai waktu. Dari seluruh usia seseorang tentu tidak
semua peristiwa yang datang menjadi kenangan yang berkesan. Ada saat tertentu
saja ketika kesadaran tersentuh oleh peristiwa kemudian mengendap dalam
kesadaran untuk kemudian hadir kembali di waktu yang akan datang. Maut bisa
saja menjadi salah satu yang dapat membangkitkan kembali ingatan tersebut entah
pada seseorang yang telah tiada atau pada peristiwa yang menyertai
kehadirnya.
waktu itu, aku sedang
jatuh cinta pada laut
kau tahu, kekasihku
berasal dari laut
dan aku pun menandai
waktu
Waktu pada titik tertentu dapat menjadi jalan bagi maut. Keduanya tidak
dapat dipisahkan. Jika maut hanya mungkin karena adanya waktu yang membilang
usia, maka waktu jugalah yang memungkinkan maut menjemput seseorang. Jika hidup
dimulai dari lahirnya seseorang ke dunia maka waktu hadir bagi seseorang saat
hembusan nafas pertama.
setelah waktu dapat
hadir
kau berkata:
waktu terus beringsut
berlayarlah dengan perahu kayu
seperti maut*
lain waktu,
ketika aku mengelilingi
pulaupulau di nusantara
kau hanya memandang
lantang berujar
kau akan tahu darat dan laut
kau akan tahu darat
kau akan tahu laut
darat
dan laut*
SudutBumi, Mei 2010
Pada bait kedua sajak ini, penyair menyisipkan puisi MWA yang bejudul
”Berjalan Ke Utara”. Pada sajak tersebut MWA seperti mengingatkan kembali bahwa
kita tidak mungkin lari dari kematian. Tidak hanya pada sajak ini MWA berbicara
tentang kematian. Antologi puisinya yang berjudul Sebelum Senja Selesai (2002) dan kumpulan cerpennya yang berjudul Sepasang Maut (2004) seperti ingin
berpesan kepada kita bahwa perjalanan hidup kita tidak akan ke mana pun selain
dari dan akan selalu menuju maut. Tetapi kesadaran terhadap datangnya maut
tersebut ternyata tidak malah jatuh pada skap fatalistik. Bahwa sebelum senja
selesai harus ada yang dikerjakan; harus ada yang ditinggalkan. Pada dua kumpulan
karya MWA tersebut maut bergema pada 76 penyair dalam antologi Berjalan Ke Utara ini.
Selain selalu digambarkan sebagai sesuatu yang murung kelam, maut rupanya
tidak bisa lepas dari hal yang paradoks antara pemakluman dan ketakmengetian
akan dunia dibaliknya. Memang benar bahwa hidup
hanya menunda kekalahan, tetapi kekalahan itu ternyata bukanlah final yang
memasung untuk merenungkan bagaimana perjumpaan adalah detik dimana perpisahan
segera dimulai setelahnya. Sampai di sini, kenanangan semacam pemantik
bagaimana renungan itu hadir pada seseorang. Rozi Kembara melalui ”Doa
Pengantar Tidur” seperti menegaskan kembali bahwa: benar kamu tertidur, matamu begitu dalam sedalam duka/ yang meruncing
di sekujur tubuh kami. tubuhmu dingin, sedingin/ perasaan kami yang
mempertanyakan kembali bahasa gaib yang berjalinan/ dalam setiap pertemuan dan
perpisahan.
Demikianlah maut ternyata menjadi semacam titik di mana telah menjadi
tempat silaturahmi para penyair dalam antologi ini. Sebagai ucapan selamat jalan
atas perpisahan kepada almarhum Moh. Wan Anwar, penyair Ahmadun Yosi Herfanda
menghadirkan kematian sebagai jalan panjang tempat pengembaraan baru aku lirik
dengan Sang Kekasih.
Karena cinta, Tuhan mencegat
Langkah lelaki tegar itu
Tuhan ingin langkah sang lelaki
Hanya menuju padaNya
:maka damailah ia
di pangkuanNya
Tangerang, 2010
(”Lelaki Tegar”)[5]
Kini, telah
sempurnalah apa yang ditulis MWA dalam puisi-puisinya. Ia telah menyatu dengan
karyanya menjadi teks yang utuh. Menjadi rajutan maut yang kini diurai kembali
dan dirajut dengan bentuk yang bervariasi oleh penyair dalam antologi Berjalan Ke Utara ini. Tabik!
Sumber tulisan: Nandurin Karang Awak: Cultivate the Land Within (2011)
[2] Paul Celan, Candu dan Ingatan. (Jakarta: Horison,
2005) hal. 47
[3] Lihat Goldmann via Raman
Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa
Kini. (Yogyakarta: UGM Press, 1991), hal. 37
[4] A. Teeuw, Tergantung Pada Kata. (Bandung: Pustaka
Jaya, 1983) hal. 95
[5] Antologi Berjalan
Ke Utara: Mengenang Moh. Wan Anwar (Bandung: ASAS UPI) hal. 16
0 komentar:
Posting Komentar