Merajut Maut: Membaca Antologi Berjalan Ke Utara


                                                   (Mengenang Moh. Wan Anwar)
Oleh Wahyu Arya


Ada banyak tema yang menjadi rahim bagi lahirnya sebuah puisi. Keberagaman fenomena pada peristiwa sehari-hari, setidaknya menjadi sumur tanpa dasar (pinjam istilah Arifin C. Noer) yang tidak pernah kering digali oleh para pencari kata-kata. Tema cinta, kesunyian, kritik sosial, kecemasan eksistensial hingga kematian—sekadar menyebut beberapa contoh—telah banyak digumuli hingga melahirkan puisi dengan beragam gaya pengucapan.
Kematian sebagai salah satu tema yang terus mengilhami lahirnya puisi pada dasarnya adalah peristiwa keseharian yang sudah akrab dengan manusia. Pada sebuah puisi, maut menjadi sesuatu yang bervariasi dan terus dimaknai terutama oleh para penyair. Kematian yang sudah merupakan hal yang terberi (given) ternyata tidak selesai pada traktat filsafat, eskatologi kitab suci, dan ilmu medis.  Penyair terus menerobos pada wilayah pemaknaan ulang mengenai kematian. Apabila yang pertama mencoba menekan respon subjek diri dengan merumuskan konsep-konsep ajeg dengan pikiran, iman dan reduksi ilmu pengetahuan, maka yang kedua (sengaja?) membiarkannya tetap pada posisinya yang berjarak dari subjek. Pada titik ini bahasa puitik bisa menjadi alternatif yang mungkin dapat mendekatinya dengan alegori dan metafora karena acuan (referen) pada tingkat denotasi selalu timbul dan tenggelam dalam ranah konseptual.
Pada tulisan ini kematian menjadi sesuatu yang ambivelen atara fenomena di satu sisi dan sebagai tema pada sebuah puisi di sisi lain. Sebagai fenomena kematian telah menjadi nature yang telah terberi dari sononya. Kehadirannya telah mengukuhkan dualisme hidup dan mati pada kesadaran manusia. Sedang pada tema, kematian menjadi culture yang dekat dengan pemaknaan terus-menerus dengan pengucapan yang baru (pada puisi). Hal yang kedua dimungkinkan karena karya sastra selalu menghadirkan perspektif dengan cara berbeda. Perbedaan tersebut mungkin sekait dengan seberapa jauh intensitas penyair bergumul di dalamnya. Kematian yang merenggut nyawa pada peristiwa tsunami di Aceh misalnya, memiliki kesan yang berbeda dengan korban kecelakaan lalu lintas di tengah kota. Walaupun  pada keduanya bertemu pada peristiwa kematian, namun keterlibatan subjek(tivitas) di dalamnya membuat peristiwa yang sama menjadi dua “pengalaman” yang berbeda.
Sebagai contoh Chairil pernah menulis sajak berjudul “Nisan”. Pada sajak tersebut Chairil menumpahkan kesedihannya karena sosok nenek yang sangat dicintainya meninggal dunia.

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuanbertahta[1]

Oktober, 1942

Ada suasana hikmat dalam puisi tersebut dan pedihnya perpisahan si aku lirik dengan kau lirik di dalamnya. Dengan gaya tutur yang menohok pada pokok persoalan Chairil telah menunjukkan betapa kematian yang sudah menjadi hal yang niscaya dari kehidupan tetap saja menggoreskan duka yang mendalam bagi orang yang ditinggalkan. Larik duka yang maha tuan bertahta mungkin tidak akan ada seandainya hubungannya dengan sang nenek tidak begitu dekat seperti hubungannya dengan sang ayah misalnya. Hubungan kedekatan Chairil dengan sang nenek mungkin karena setelah kedua orang tuanya bercerai ia menemukan kasih sayang tulus luar biasa dari nenek dan terutama ibunya.
Apabila Chairil melihat kematian sebagai penyerahan yang tinggi atas debu dan keihlasan luar biasa lain halnya dengan Paul Celan. Penyair berdarah Yahudi yang terkenal dengan sajaknya yang berjudul “Fuga Maut” (Todesfuge) ini sangat lekat dengan sajak yang gelap pekat. Kematian dalam puisi Celan tidak hanya menimpa kedua orang tuanya karena kebiadaban tentara Jerman tetapi sudah merenggut Kemanusiaan (degan K besar) pada jamannya. Pada kepedihan itulah Celan menulis maut sebagai susu hitam dini hari/ kami reguk saat senja/ kami reguk siang dan pagi kami reguk malam/ kami reguk dan reguk/ kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring tak berdesakkan//. Kemudian Celan menambahkan /ia menghardik ayo mainkan maut lebih merdu/ maut adalah maestro dari Jerman/ ia menghardik ayo gesek biola lebih kelam/.[2]
Kematian yang  dirasakan Chairil sungguh berbeda dengan Celan yang terkondisikan oleh kerasnya kamp konsentrasi, pembunuhan masal, dan tipisnya harapan hidup di tengah kecamuk kesewenang-wenangan penguasa. Setelah bertahun-tahun dalam pelarian, kehidupan bagi Celan tak lebih dari sekadar “Fuga” atau dalam bahasa Latin berarti “pelarian” yang tak ke mana pun selain pada akhirnya menyongsong kematian itu sendiri. Putus asa yang luar biasa dari pengejaran satu ke pengejaran lain semakin memperkokoh warna kehidupan yang melulu gelap (susu hitam).

***
Membaca antologi puisi Berjalan Ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Moh. Wan Anwar), kematian baik sebagai tema maupun fenomena menjadi sumber pemaknaan bagi 76 puisi yang terhimpun di dalamnya. Wan Anwar (selanjutnya MWA) dan karya-karyanya yang tidak sedikit berbicara soal kematian tidak ubahnya seperti rajutan “teks” yang terus diurai kembali oleh ke 76 penyair ke dalam bentuk pengucapannya masing-masing. Dalam proses mengurai tersebut sebagian penyair ada yang mampu menarik benang-benangnya dengan baik untuk merajut menjadi rajutan baru khas miliknya namun ada juga yang malah membuat kusut dan jatuh sebagai  common sense.
Perbedaan rajutan baru para penyair di dalam antologi ini mungkin dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing penyair. Latar belakang tersebut bisa sebagai kondisi sosial yang mempengaruhi cara memandang dunia yang terepresentasikan ke dalam bentuk pengucapan.[3] Kematian dalam hal ini telah mengalami perluasan makna sedemikian rupa ke dalam pencarian bentuk estetik yang unik. Maka wajar kiranya apabila mayoritas penyair dalam antologi ini berlomba-lomba dalam merengkuh unikum tadi. Sebagian sudah dapat merengkuhnya namun sebagian lagi malah terjebak pada gaya penuturan biasa. 
Ada beberapa puisi yang menurut saya sudah mengurai dan merajut dirinya sebagai teks baru yang khas. Puisi Budi Setyawan yang berjudul “Bulan Sabit di Serang” telah menjadikan puisi sebagai medium silaturahmi kepada puisi yang ditulis penyair lain. Komunikasi tersebut sangat khas dan personal karena makna tertunda oleh idiom dan simbol yang dibangun.
  
 kumengeja sajakmu yang tegar menembus kabut
di tubir musim, di kamar pengantin
segolak laut yang mengejar angin
di mana karang, di mana sarang

Puisi ini sebagai respons aku lirik terhadap puisi lain yang berkisah tentang laut. Digambarkan bagaimana lautan yang bergolak oleh badai ternyata tidak lebih dari teduh kamar pengantin. Dalam gejolak yang berkecamuk itu bukan malah rasa gentar terhadap bahaya yang menunggu tetapi pencarian (karang—sarang) rupanya lebih menggoda untuk terus bertahan sebelum dapat menemukan. 

dedaun kisah berguguran, menyusut
malam menjelma selembut maut

Jika kematian menjadi hal yang tidak bisa dihindari, maka harapan seolah menjadi jalan bagi hilangnya sesuatu yang berharga pada waktu kini. Harapan sebagai simplisitas waktu yang akan terjadi (future) setelah waktu kini menjadikannya sebagai titik terakhir untuk tidak jatuh pada krisis. Harapan menjadi cahaya—walau tidak sepenuh purnama—tetapi justru pada sisa sabit akan terus berhamburan kidung yang menderas bagai sungai (gambaran pribadi MWA?) yang tidak pernah letih mencari jati-diri tidak sebagai orang Cianjur atau orang Serang. Tetapi sebagai diri yang kokoh dalam kediriannya.

  ya di Serang,
bulan sabit masih akan terus melafalkan barzanji cahaya
buat sungai sungai yang tekun mencari

Bekasi, 2010

Kematian sudah kadung dianggap sebagai sebuah perjalanan. Melalui kitab suci kita mengenal alam barzah, negeri akhirat, surga, neraka, dan sebagainya. Pada sebuah puisi tempat perhentian itu mungkin menjadi hal yang nisbi karena bisa jadi keberangkatan pada perjalanan pertama menjadi kedatangan di tempat lain begitu seterusnya. Jika saja salah satu tempat di atas dipastikan menjadi tujuan dari sebuah perjalanan maka puisi tidak lagi menghadirkan ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi di dalamnya. Sebaliknya pemberangkatan dari tempat yang pasti (riil) menuju ke arah entah justru memungkinkan teks pada pemaknaan selanjutnya. Pembaca akan mencari sesuatu yang tidak hadir pada teks tapi terasa ada (absen) pada dirinya. Puisi Delvi Yandra dengan judul “Kereta Terakhir” telah mencoba memasuki wilayah kemungkinan itu.
                                                                    
dari cianjur, kereta melaju ke utara jauh, jauh sekali
tetapi kedatanganmu seperti desau angin
melesat dan berkitaran di sepanjang peron
  …………………………………………
kini, rindu tak ada batasnya
serupa kasidah yang kau tuliskan
di stasiun yang kau tinggalkan

Padang, 2010

MWA yang dilahirkan di Cianjur pada 5 Maret 1970 menjadi semacam acuan awal dalam sajak ini. Tetapi acuan awal itu segera dibatalkan karena perkara ruang menjadi kabur karena kematian memicu ambivalensi yang nyata dan yang maya. Akibat dari tak terumuskannya ruang tadi rindu pun menjadi tak terbatas pada seseorang. Rindu justru bergantung pada apa pun yang ditinggalkan kau lirik pada aku lirik. Idiom kasidah, sebagai medium untuk mengenang kau lirik dalam puisi di atas, MWA pernah menulis puisi masih dengan tema maut dengan judul ”Kasidah Banten"
  

karena aku telah datang

kuterima cintamu di ujung pedang

karena kau telah menjemput

kuterima hatimu semurni maut

...........................................

(Kompas, 2005)

Persentuhan penyair dengan fenomena kematian dalam sebuah puisi tidak melahirkan definisi mengenai apa dan bagaimana kematian itu terjadi. Persentuhan itu bersifat spontan dan tanpa pretensi. Maka yang terjadi dari persentuhan demikian bukan lagi berangkat dari ide tentang kematian tetapi getar gamang mengenainya. Usaha penangkapan makna yang berulang kali luput namun terus menggoda penyair untuk meresponsnya.
Pada sajak yang lain, Sulaiman Djaya dengan puisi ”Terbanglah Mautku, Terbangkan Hidupku” menghadirkan kematian sebagai ”ruang” pada nol referensi. Ruang tersebut pada akhirnya lesap dalam semesta yang  [ke]hilang[an] nama. ”Kehilangan” tentu berbeda dengan ”tidak ber-”.  Proses lebelisasi melalui nama sudah terjadi namun ketika maut memutus diri dengan dunia lebelisasi tersebut gugur karena ruang menjadi tidak terbatas dan melampaui representasi ”nama” tadi. Negeri pada puisi ini merupakan representasi maut yang telah mendorong diri pada kondisi liminalitas ruang liyan secara total.

 Terbanglah mautku, terbangkan aku ke negeri terujung,
negeri yang sama-sama tak kita kenal, negeri resahku
di semesta hilang nama. Negeri kata-kataku yang kau curi
antara larik dan spasi. Negeri putih yang telah sekian lama
kuraba dengan sepasang mata yang kau cintai ini.

Selain ruang yang mengalami surplus pemaknaan selanjunya adalah waktu. A. Teeuw pernah melakukan pembacaan pada tiga sajak Sapardi Djoko Damono yang berjudul: “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan “Sehabis Mengantar Jenazah”.[4] Pada esai yang berjudul “Tritunggal Tentang Waktu” tersebut Teeuw menemukan waktu pada ketiga sajak tersebut merupakan representasi dari maut. Pada antologi ini terdapat dua puisi yang secara eksplisit bersentuhan dengan perkara waktu. Keduanya menggunakan waktu dalam bentuk yang lampau dengan penambahan anaphora: itu. Puisi pertama berjudul “Kepada Penyair yang Telah Pindah Rumah” karya Dian Hardiana.

Waktu itu, partere tidak setenang ini
sesedih ini. Ikan-ikan bersisik merah, bermata biru
menggambar lingkaran pada kolam dan ingatan.

Waktu pada bait di atas merupakan penegasan dari dua momen yang berbeda. Lampau dan kini. Ketika waktu itu diujarkan, maka kasadaran pada yang telah lewat menjadi hadir kembali pada saat ini. Jika pembacaan Teeuw pada esai “Tritunggal Tentang Waktu” kita amini maka waktu yang eksplisit pada puisi ini boleh jadi berkelindan dengan perkara maut juga. Hanya saja maut yang absen pada puisi ini tidak menjadi peristiwa sakral dalam bentuk upacara tetapi hanya terjadi pada taraf kesadaran aku lirik ketika telah berlalunya peristiwa atau perginya seseorang dalam kehidupan. Akibatnya perasaan kosong sepi menjadikan aku lirik gamang dalam kehilangan. 
…………………………………………
Lalu kepada kota dan hujan ini mesti kutitipkan
jantung berhenti dan cinta begitu mati
sedang aku selalu takut ditinggalkan di saat-saat seperti ini.siapa

Pada puisi lain yang berjudul “Ingatan” karya Dian Hartati, penghayatan kepada waktu lebih terasa kuat. Bentuk pengulangan yang efektif menjadikan penghayatan terhadap waktu begitu intens. Waktu bukan hanya memungkinkan terjadinya peristiwa dalam ruang tetapi waktu menjadi berarti justru karena pada ruang itu peristiwa yang hadir mendorong aku lirik menandai waktu. Dari seluruh usia seseorang tentu tidak semua peristiwa yang datang menjadi kenangan yang berkesan. Ada saat tertentu saja ketika kesadaran tersentuh oleh peristiwa kemudian mengendap dalam kesadaran untuk kemudian hadir kembali di waktu yang akan datang. Maut bisa saja menjadi salah satu yang dapat membangkitkan kembali ingatan tersebut entah pada seseorang yang telah tiada atau pada peristiwa yang menyertai kehadirnya. 
 
waktu itu, aku sedang jatuh cinta pada laut
kau tahu, kekasihku berasal dari laut
dan aku pun menandai waktu

Waktu pada titik tertentu dapat menjadi jalan bagi maut. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Jika maut hanya mungkin karena adanya waktu yang membilang usia, maka waktu jugalah yang memungkinkan maut menjemput seseorang. Jika hidup dimulai dari lahirnya seseorang ke dunia maka waktu hadir bagi seseorang saat hembusan nafas pertama.

setelah waktu dapat hadir
kau berkata:
waktu terus beringsut
berlayarlah dengan perahu kayu
seperti maut*
lain waktu,
ketika aku mengelilingi pulaupulau di nusantara
kau hanya memandang
lantang berujar
kau akan tahu darat dan laut
           kau akan tahu darat
                       kau akan tahu laut
                                   darat dan laut*

SudutBumi, Mei 2010

Pada bait kedua sajak ini, penyair menyisipkan puisi MWA yang bejudul ”Berjalan Ke Utara”. Pada sajak tersebut MWA seperti mengingatkan kembali bahwa kita tidak mungkin lari dari kematian. Tidak hanya pada sajak ini MWA berbicara tentang kematian. Antologi puisinya yang berjudul Sebelum Senja Selesai (2002) dan kumpulan cerpennya yang berjudul Sepasang Maut (2004) seperti ingin berpesan kepada kita bahwa perjalanan hidup kita tidak akan ke mana pun selain dari dan akan selalu menuju maut. Tetapi kesadaran terhadap datangnya maut tersebut ternyata tidak malah jatuh pada skap fatalistik. Bahwa sebelum senja selesai harus ada yang dikerjakan; harus ada yang ditinggalkan. Pada dua kumpulan karya MWA tersebut maut bergema pada 76 penyair dalam antologi Berjalan Ke Utara ini.
Selain selalu digambarkan sebagai sesuatu yang murung kelam, maut rupanya tidak bisa lepas dari hal yang paradoks antara pemakluman dan ketakmengetian akan dunia dibaliknya. Memang benar bahwa hidup hanya menunda kekalahan, tetapi kekalahan itu ternyata bukanlah final yang memasung untuk merenungkan bagaimana perjumpaan adalah detik dimana perpisahan segera dimulai setelahnya. Sampai di sini, kenanangan semacam pemantik bagaimana renungan itu hadir pada seseorang. Rozi Kembara melalui ”Doa Pengantar Tidur” seperti menegaskan kembali bahwa: benar kamu tertidur, matamu begitu dalam sedalam duka/ yang meruncing di sekujur tubuh kami. tubuhmu dingin, sedingin/ perasaan kami yang mempertanyakan kembali bahasa gaib yang berjalinan/ dalam setiap pertemuan dan perpisahan.    
Demikianlah maut ternyata menjadi semacam titik di mana telah menjadi tempat silaturahmi para penyair dalam antologi ini. Sebagai ucapan selamat jalan atas perpisahan kepada almarhum Moh. Wan Anwar, penyair Ahmadun Yosi Herfanda menghadirkan kematian sebagai jalan panjang tempat pengembaraan baru aku lirik dengan Sang Kekasih.

Karena cinta, Tuhan mencegat
Langkah lelaki tegar itu
Tuhan ingin langkah sang lelaki
Hanya menuju padaNya
:maka damailah ia
  di pangkuanNya

Tangerang, 2010
 (”Lelaki Tegar”)[5]

Kini, telah sempurnalah apa yang ditulis MWA dalam puisi-puisinya. Ia telah menyatu dengan karyanya menjadi teks yang utuh. Menjadi rajutan maut yang kini diurai kembali dan dirajut dengan bentuk yang bervariasi oleh penyair dalam antologi Berjalan Ke Utara ini. Tabik!

Sumber tulisan: Nandurin Karang Awak: Cultivate the Land Within (2011)

1Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal. 3
[2] Paul Celan, Candu dan Ingatan. (Jakarta: Horison, 2005) hal. 47
[3] Lihat Goldmann via Raman Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. (Yogyakarta: UGM Press, 1991), hal. 37

[4] A. Teeuw, Tergantung Pada Kata. (Bandung: Pustaka Jaya, 1983) hal. 95
[5] Antologi Berjalan Ke Utara: Mengenang Moh. Wan Anwar (Bandung: ASAS UPI) hal. 16
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar