Mimpi Buruk Suci


Oleh Wulan Widari Endah

Seragam putih abu-abu menjadi awal babak baru bagi Suci. Ia begitu tidak percaya, karena kini bisa mengenggam semuanya. Semua yang dulu hanya angan. Semunaya meski tak seindah nasib Putri Cinderella, Putri Salju atau dongeng-dongeng lainnya.

Suci percaya hidup mengalir seperti air.
Mulanya ia takut untuk melangkah. Namun, segalanya menjadi begitu menyengkan. Ketika suatu pagi yang dingin, di tempat kelahiranya tercinta. Ia mendapati kenyataan serupa mimpi.
“Suci, ini bapakmu!”
Suci hanya mematung dengan kepala menunduk. Meski sejuta gemuruh di dadanya menyentak ingin menatap, mengetahui, orang dihadapanya. Namun sebelum detik bergerak lebih lama, tangan lelaki itu sudah memeluknya. Bahkan mendekapnya dengan segala tangis. Lelaki itu menangis sesegukan seperti bocah yang jatuh setelah berlari. Menangis sejadi-jadinya. Tak acuh pada waktu yang  masih terlampau pagi untuk menampung banjir tangis. Suci pun larut dalam pecah tangis serupa. Meski tak begitu dapat ia pahami, kenapa bisa begitu saja, air mata berhamburan ke luar dari bola matanya.
Ternyata benar kata neneknya. Ia adalah bapak yang selama ini hilang bagaikan ditelan bumi. Hilang selama tujuh tahun. Kini ia kembali. Untuk menjemputnya. Menyekolahkanya, menjemput segala impian jelita yang baru saja lulus SMP.
“Ikut ke Banten!” hati Suci rusuh, antara iya dan tidak. Ia ngeri membayangkan memiliki ibu tiri, yang selalu digambarkan kejam di televisi.
“Iya, Kamu punya seorang teteh perempuan di sana, baru saja lulus SMA”
Akhirnya jurus pamungkas dan kata-kata yang seolah mantra mengukuhkan langkah Suci untuk berhijrah. Neneknya lah yang dengan wajah bahagia berkata “Suci, ikutlah dengan Bapakmu. Nenek akan tenang. Karena sejak dahulu, bapakmulah yang selalu menyayangimu. Kasihan dia Nak. Anggaplah Ibumu sudah tidak ada. Ia sudah terlalu lama tak acuh padamu. Ini kesempatamu meraih hidup bahagia. Memiliki keluarga yang utuh.”
Suci mengamini kata-kata neneknya. Nenek yang merupakan ibu kandung dari ibunya. Orang yang telah melahirkan ibunya.
Menurut isu yang berderar, ibu Suci memang bukanlah sosok wanita yang baik. Bahkan mencoreng nama baik kakeknya yang merupakan seorang kiyai. Ibu kandungnya selingkuh dan lari meninggalkan ia yang baru saja lahir beberapa bulan. Sedangkan bapaknya sosok yang selalu mendapat pujian dari segenap warga kampung. Sosok lelaki soleh, penyabar, pekerja keras, bahkan alasan kepergian bapaknya untuk mencari penghidupan yang layak, untuk Suci.
***
Ibu tiri Suci sangat mirip dengannya. Kulitnya yang putih dan alis matanya tebal. Suci tersenyum-senyum sendiri begitu sampai di kamar barunya. Ibu tirinya sangat ramah, itulah kenyataanya. Begitupula teteh barunya, namanya Winda Widianti. Winda adalah sosok periang yang suka sekali bernyanyi. Dia sudah mengikuti SMPTN dan sedang menunggu pengumuman, dia ingin kuliah S-1 kedokteran. Rumah baru Lusi cukup luas, ia bahkan tinggal di kamar khusus lengkap dengan tv dan pendingin ruangan. Ayahnya memilki dua toko di Pasar. Toko sembako yang lengkap. Pedagang yang sukses.
***
Waktu terlewati begitu cepat, ketika kita berbahgia. Itulah yang Suci rasakan. Sesekali ia memang menangis teringat neneknya. Namun, ia lebih sering tertawa. Di sekolah bersama teman-teman barunya dan di rumah barunya yang selalu hangat.
Semakin deras kebahagiaan itu, ketika tergenapkan oleh sebuah kisah cinta. Tuhan seperti menumpahkan segala manis dunia untuknya, mengganti segala kesusahan yang dulu menimpanya.

“Suci, mau masuk eskul apa?” tiba-tiba pertanyaan tertuju kepadanya, saat seluruh siswa tengah berpesta di kantin sekolah. Teman-teman Suci hanya tersenyum nakal menggoda Suci yang seolah tak siap menerima pertanyaan dari sosok arjuna di sekolahnya.
“Belum tahu kak, waktu SMP Pramuka”
“Kalau gitu, gabung aja dengan teater, cari pengalaman baru”
“Wah Kak,  kami-kami juga masih bingung nih milih eskul, kok Cuma Suci aja yang diajak gabung” dengan penekanan nama Suci yang sudah dipastikan  sebagai nada usil.
Kak Suha, berkata dengan raut muka grogi.
“I..ya...tentu. Gabung ya semua” sambil merasa terselamatkan oleh bunyi bel tanda istirahat berakhir.
Obrolan itu tak henti-hentinya menjadi bahan ejekan cie...cie oleh teman-teman Suci. Ia  hanya pasrah dengan senyum, karena terlalu bahagia.
Nama lengkap lelaki itu Muhammad Suhaemi,  lelaki berkulit hitam manis, jangkung, pempin upacara yang gagah, bahkan aktor yang membuat Suci menyimpan kekaguman tersendiri dalam pentas teater pada saat awal Suci mengikuti MOS (masa orientasi siswa).
Suci memang pernah mencintai diam-diam semasa SMP. Menjadi kisah kasih tak sampai. Sejak itu, tak sulit menyimpan cinta diam-diam yang kedua kalinya pada sosok kakak kelasnya: Kak Suha.
***
Semua terjadi bagai mimpi, di suatu sore yang cerah seusai latihan teater. Kak Suha mengajaknya secara khusus untuk berjalan-jalan. Sangat khusus, karena Kak Suha memilih menginggalkan motornya di sekolah. Mereka berjalan menuju alun-alun kota yang letaknya memang tidak jauh dari sekolah. Tak begitu banyak kata terlontar dari mulut mereka berdua. Hanya senyum malu-malu yang sering muncul.
Aneh, fikir Suci. Mengapa Kak Suha tak seperti dalam latihan teater, aktif, pemberani dalam memainkan tokoh apa pun, menjadi tokoh gila akting Kak Suha sangat meyakinkan, menjadi tokoh patih yang bijaksana sangatlah pas.
Jalan-jalan itu diakhiri sebuah adegan yang tak mungkin dilupakan oleh Suci seumur hidupnya.
“Ci, rasanya sudah sejak awal pertemuan kita, saya memilih kamu. Saya menyimpan namamu di hati ini” sambil menunjuk dada dengan ekspresi serius.
Suci hanya bengong. Dekapan yang kedua menimpanya. Suci gelagapan. Antara malu karena alun-alun begitu ramai sore itu.Tapi si pemilik tangan terlalu lena untuk ditepis dan cinta memang sudah nyata di hati Suci. Di hati keduanya.
***
Sebuah telepone mengakhiri adegan romantis itu. Telepone dari Teh Winda. Hati Suci gundah, karena takut Teh Winda sedang ada di alun-alun dan melihat perbuatannya. Tapi ternyala lebih buruk dari itu.
“Ci, Bapak kecelakaan, sekarang di rumah sakit”
Bagaikan terbangun dari mimpi. Suci panik. Kak Suha pun tak kalah paniknya. Tanpa ba bi bu, mereka menaiki angkot dan berlari memburu rumah sakit.
Remuk jantungnya. Larut dalam duka dan tangis. Suci telah kehilangan kedua lelakinya.
Hari ketiga di rumah sakit ayahnya  meninggal.
Suha yang bermaksud melayat, memacu motornya terlalu kencang. Menabrak truk pasir dari arah berlawanan yang juga sedang melaju kencang. Suha terluka parah dan tewas di tempat kecelakaan.
“Mimpi buruk kah ini?” Tangis Suci  perih.
 ***

Biodata:
Penulis  (Wulan Endah) adalah mahasiswa semester VIIE, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Untirta. Lahir di Lebak 20 September 1989. Sekarang tinggal di Cilegon. Puisinya terangkum dalam antologi “Berjalan ke Utara” (ASAS UPI: 2010). Tulisan opini sering dimuat di koran lokal. Aktif di Kubah Budaya.
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar