Oleh Wulan Widari Endah
Seragam
putih abu-abu menjadi awal babak baru bagi Suci. Ia begitu tidak percaya,
karena kini bisa mengenggam semuanya. Semua yang dulu hanya angan. Semunaya meski
tak seindah nasib Putri Cinderella, Putri Salju atau dongeng-dongeng lainnya.
Suci
percaya hidup mengalir seperti air.
Mulanya
ia takut untuk melangkah. Namun, segalanya menjadi begitu menyengkan. Ketika
suatu pagi yang dingin, di tempat kelahiranya tercinta. Ia mendapati kenyataan
serupa mimpi.
“Suci,
ini bapakmu!”
Suci
hanya mematung dengan kepala menunduk. Meski sejuta gemuruh di dadanya
menyentak ingin menatap, mengetahui, orang dihadapanya. Namun sebelum detik
bergerak lebih lama, tangan lelaki itu sudah memeluknya. Bahkan mendekapnya
dengan segala tangis. Lelaki itu menangis sesegukan seperti bocah yang jatuh
setelah berlari. Menangis sejadi-jadinya. Tak acuh pada waktu yang masih terlampau pagi untuk menampung banjir
tangis. Suci pun larut dalam pecah tangis serupa. Meski tak begitu dapat ia
pahami, kenapa bisa begitu saja, air mata berhamburan ke luar dari bola
matanya.
“Ikut
ke Banten!” hati Suci rusuh, antara iya dan tidak. Ia ngeri membayangkan
memiliki ibu tiri, yang selalu digambarkan kejam di televisi.
“Iya,
Kamu punya seorang teteh perempuan di sana, baru saja lulus SMA”
Akhirnya
jurus pamungkas dan kata-kata yang seolah mantra mengukuhkan langkah Suci untuk
berhijrah. Neneknya lah yang dengan wajah bahagia berkata “Suci, ikutlah dengan
Bapakmu. Nenek akan tenang. Karena sejak dahulu, bapakmulah yang selalu
menyayangimu. Kasihan dia Nak. Anggaplah Ibumu sudah tidak ada. Ia sudah
terlalu lama tak acuh padamu. Ini kesempatamu meraih hidup bahagia. Memiliki
keluarga yang utuh.”
Suci
mengamini kata-kata neneknya. Nenek yang merupakan ibu kandung dari ibunya.
Orang yang telah melahirkan ibunya.
Menurut
isu yang berderar, ibu Suci memang bukanlah sosok wanita yang baik. Bahkan
mencoreng nama baik kakeknya yang merupakan seorang kiyai. Ibu kandungnya
selingkuh dan lari meninggalkan ia yang baru saja lahir beberapa bulan.
Sedangkan bapaknya sosok yang selalu mendapat pujian dari segenap warga
kampung. Sosok lelaki soleh, penyabar, pekerja keras, bahkan alasan kepergian
bapaknya untuk mencari penghidupan yang layak, untuk Suci.
***
Ibu
tiri Suci sangat mirip dengannya. Kulitnya yang putih dan alis matanya tebal.
Suci tersenyum-senyum sendiri begitu sampai di kamar barunya. Ibu tirinya
sangat ramah, itulah kenyataanya. Begitupula teteh barunya, namanya Winda
Widianti. Winda adalah sosok periang yang suka sekali bernyanyi. Dia sudah
mengikuti SMPTN dan sedang menunggu pengumuman, dia ingin kuliah S-1
kedokteran. Rumah baru Lusi cukup luas, ia bahkan tinggal di kamar khusus
lengkap dengan tv dan pendingin ruangan. Ayahnya memilki dua toko di Pasar.
Toko sembako yang lengkap. Pedagang yang sukses.
***
Waktu
terlewati begitu cepat, ketika kita berbahgia. Itulah yang Suci rasakan.
Sesekali ia memang menangis teringat neneknya. Namun, ia lebih sering tertawa.
Di sekolah bersama teman-teman barunya dan di rumah barunya yang selalu hangat.
Semakin
deras kebahagiaan itu, ketika tergenapkan oleh sebuah kisah cinta. Tuhan
seperti menumpahkan segala manis dunia untuknya, mengganti segala kesusahan
yang dulu menimpanya.
“Suci,
mau masuk eskul apa?” tiba-tiba pertanyaan tertuju kepadanya, saat seluruh
siswa tengah berpesta di kantin sekolah. Teman-teman Suci hanya tersenyum nakal
menggoda Suci yang seolah tak siap menerima pertanyaan dari sosok arjuna di
sekolahnya.
“Belum
tahu kak, waktu SMP Pramuka”
“Kalau
gitu, gabung aja dengan teater, cari pengalaman baru”
“Wah
Kak, kami-kami juga masih bingung nih
milih eskul, kok Cuma Suci aja yang diajak gabung” dengan penekanan nama Suci
yang sudah dipastikan sebagai nada usil.
Kak
Suha, berkata dengan raut muka grogi.
“I..ya...tentu.
Gabung ya semua” sambil merasa terselamatkan oleh bunyi bel tanda istirahat
berakhir.
Obrolan
itu tak henti-hentinya menjadi bahan ejekan cie...cie oleh teman-teman Suci. Ia
hanya pasrah dengan senyum, karena
terlalu bahagia.
Nama
lengkap lelaki itu Muhammad Suhaemi, lelaki berkulit hitam manis, jangkung, pempin
upacara yang gagah, bahkan aktor yang membuat Suci menyimpan kekaguman
tersendiri dalam pentas teater pada saat awal Suci mengikuti MOS (masa
orientasi siswa).
Suci
memang pernah mencintai diam-diam semasa SMP. Menjadi kisah kasih tak sampai. Sejak
itu, tak sulit menyimpan cinta diam-diam yang kedua kalinya pada sosok kakak
kelasnya: Kak Suha.
***
Semua
terjadi bagai mimpi, di suatu sore yang cerah seusai latihan teater. Kak Suha
mengajaknya secara khusus untuk berjalan-jalan. Sangat khusus, karena Kak Suha
memilih menginggalkan motornya di sekolah. Mereka berjalan menuju alun-alun
kota yang letaknya memang tidak jauh dari sekolah. Tak begitu banyak kata
terlontar dari mulut mereka berdua. Hanya senyum malu-malu yang sering muncul.
Aneh,
fikir Suci. Mengapa Kak Suha tak seperti dalam latihan teater, aktif, pemberani
dalam memainkan tokoh apa pun, menjadi tokoh gila akting Kak Suha sangat
meyakinkan, menjadi tokoh patih yang bijaksana sangatlah pas.
Jalan-jalan
itu diakhiri sebuah adegan yang tak mungkin dilupakan oleh Suci seumur hidupnya.
“Ci,
rasanya sudah sejak awal pertemuan kita, saya memilih kamu. Saya menyimpan
namamu di hati ini” sambil menunjuk dada dengan ekspresi serius.
Suci
hanya bengong. Dekapan yang kedua menimpanya. Suci gelagapan. Antara malu
karena alun-alun begitu ramai sore itu.Tapi si pemilik tangan terlalu lena
untuk ditepis dan cinta memang sudah nyata di hati Suci. Di hati keduanya.
***
Sebuah
telepone mengakhiri adegan romantis itu. Telepone dari Teh Winda. Hati Suci
gundah, karena takut Teh Winda sedang ada di alun-alun dan melihat
perbuatannya. Tapi ternyala lebih buruk dari itu.
“Ci,
Bapak kecelakaan, sekarang di rumah sakit”
Bagaikan
terbangun dari mimpi. Suci panik. Kak Suha pun tak kalah paniknya. Tanpa ba bi
bu, mereka menaiki angkot dan berlari memburu rumah sakit.
Remuk
jantungnya. Larut dalam duka dan tangis. Suci telah kehilangan kedua lelakinya.
Hari
ketiga di rumah sakit ayahnya meninggal.
Suha
yang bermaksud melayat, memacu motornya terlalu kencang. Menabrak truk pasir
dari arah berlawanan yang juga sedang melaju kencang. Suha terluka parah dan
tewas di tempat kecelakaan.
“Mimpi
buruk kah ini?” Tangis Suci perih.
***
Biodata:
Penulis
(Wulan Endah) adalah mahasiswa semester
VIIE, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Untirta. Lahir di Lebak 20 September 1989. Sekarang tinggal di Cilegon.
Puisinya terangkum dalam antologi “Berjalan ke Utara” (ASAS UPI: 2010). Tulisan
opini sering dimuat di koran lokal. Aktif di Kubah Budaya.
0 komentar:
Posting Komentar