Tarawengkal

Karya Niduparas Erlang

TARAWENGKAL seukuran pantat gelas belimbing itu telah serupa bara kayu rambutan yang membakarnya. Merah menyala. Seperti cabe matang di pohon. Namun Durahim masih terus membolak-baliknya dengan penjepit dari pelepah kelapa yang dibelah dua, seperti ketika ia membakar terasi untuk membuat sambal. Ah, sambal. Sudah hampir seminggu Durahim tidak makan dengan sambal, meski tetap makan dengan lalapan. Hambar memang, tapi apa boleh buat. Lalapan seperti daun suraung, daun sintrong, daun jatake, jengkol yang sedang dipanennya, atau petai cina, dan sejenisnya masih dengan mudah didapatnya dari kebun sendiri. Tapi cabe? Ahai, ingatannya akan itu semua membuat selangkangan Durahim menjadi semakin perih-nyeri. Apalagi jika membayangkan gerusan setumpuk cabe dibalurkan pada sekitar kelaminnya. Panas dan perih. Barangkali, serupa-serasa dengan penyakit anyeng-anyengan yang tengah dideritanya, yang sedang diobatinya kini.


Belum matang sempurna, pikirnya. Dan tentu saja tarawengkal yang membara itu tak akan meruapkan bau sedap seperti terasi yang dibakar, atau bau gurih ikan asin yang dipanggang—yang juga dijepit dengan pelepah kelapa—yang membuat Durahim akan terburu-buru mengangkatnya, tergopoh mengeluarkannya dari tungku batu bata.

Tetapi kali ini, Durahim tak hendak berlekas-lekas meski sedari tadi semburan asap yang mengepul-bergulung—yang barangkali serupa dengan sepucuk runcing pisau yang ditempelkan di ujung bulu matanya sementara ia dilarang berkedip, atau ditetesi air cabe—telah berkali-kali menggenangkan perih di pelupuk matanya yang kerut-kemerut. Entahlah, asap pembakaran balarak dan kayu rambutan, juga sabut kelapa, selalu dirasainya lebih perih ketimbang permintaan cerai istrinya. Perihnya menyerpih berkali-kali. Terlebih kini, ia didera anyeng-anyengan yang membuatnya tak nyaman terlelap. Ah, biarlah mata memerah, asalkan istriku berhenti marah-marah karena penyakit sialan ini. Penyakit yang datang di saat dan tempat yang tak tepat, pikirnya. Barangkali, mestinya ia memanjakan istrinya di ranjang reot itu ketika anak-anaknya pergi mengaji malam hari.

Ya, sudah dari semalam Durahim merasakan sakit yang teramat pada pinggang dan selangkangannya. Panas. Perih. Nyeri. Berat. Seakan ada setumpukan batu-batu yang menindihnya sedemikian rupa. Ada beribu jarum-jarum halus yang menusuk-tusuk dari dalam di sekitar selangkang. Hingga ia sempat merintih setiap kali kepingin kencing, merasakan perih dan panas pada kelamin ketika cairan itu terpaksa bergulir dan menetes sedikit. Hanya sedikit menetes, namun mengakibatkan ngilu yang panjang di sekujur tubuhnya.
Sejurus, hasrat untuk kencing kembali bertandang yang masih pula dibarengi sakit pada pinggangnya. Maka dijepit dan dikeluarkannya segera tarawengkal yang barangkali telah benar-benar matang sempurna. Ah, panas yang purna, merah yang memesona, seperti telah lama dikulum di kedalaman neraka. Diangkatnya tarawengkal yang mulai memindahkan baranya pada penjepit pelepah kelapa, sejajar dengan matanya yang lamur. Ditiliknya sejenak. Cukup, desisnya sebelum akhirnya ia menggeletakkan tarawengkal begitu saja di atas tanah kering retak-retak, agak ke sisi sebelah kiri dari tungku itu. Dan dengan tergesa Durahim menyingsingkan sarung, mengangkang tepat di atas bara tarawengkal.Tubuhnya meregang. Kepalanya terjenggut ke belakang. Menahan sakit pada pinggang dan selangkang. Dan dari air mukanya yang legam, nampak ia tengah berusaha keras mengeluarkan air kencing sekaligus menahan panas dari dalam, dan panas yang meruap dari bawah yang terasa membakar kulit pahanya.

Seperti perempuan hamil kala melahirkan, Durahim mengejan sekuat maut membetot nyawa, sekuat ruh meronta dari raga. Selang beberapa jenak, terdengar bunyi ceessss dari bawah sarungnya—seperti suara golok usai ditempa dan dicelupkan ke sekolam air. Sementara Durahim bergidik seperti kambing kehujanan. Rasa puas sekaligus senang tersirat di air mukanya yang meriak tenang. Ah, benarkah mengencingi bara tarawengkal akan bisa menyembuhkan anyeng-anyengan? Semoga, harap Durahim sembari mundur beberapa jengkal.

Tetapi tiba-tiba air muka Durahim menjadi keruh seketika. Matanya nanap bergetar melihat darah yang berleakan di atas dan di sekitar tarawengkal. Itu bukan air kencing. Atau mungkin air kencing yang telah bercampur darah segar. Dan di atas tarawengkal yang padam, tidak persis di tengahnya, ada sebutir putih sebesar biji kedelai. Tak sempurna lonjong memang, tapi seperti sesuatu yang lunak atau hendak pecah. Duhai, dapatlah dipastikan kini apa yang menyebabkan Durahim kesakitan. Ia menahan nyeri dan panas di sekitar selangkangan semalaman.

“MANG, Mang Dur. Pinjam kapak,” teriak Juhro—seorang muda yang giat di karang taruna—sembari menggedor-gedor pintu dapur. Dengan letih dan agak malas, tanpa menimpali teriakan itu Durahim menyongsong pintu yang bagian bawahnya telah keropos dimakan rayap. Memutar tulak, dan menarik gagang pintu.

Terdengar pintu berderit mengilukan gigi. “Mau ngampak apa, Juh?”
“Mang Kajali meninggal, Mang. Jatuh dari pohon jengkol.”
Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Durahim terbengong melompong. Kaget dan tidak menyangka, seakan pula tak percaya pada berita kematian Mang Kajali. Memang, siapa nyana maut akan dengan cepat mengusir Kajali dari kampung kelahirannya ini. Betapa kemarin sore Kajali masih dilihatnya sehat-bugar berkeliling berjualan terong dan jengkol sembari berteriak “saenah…nya sae nya ngeunah.” Teriakan khas Kajali ketika berdagang hasil kebun. Tak peduli apa pun yang dijualnya—kacang panjang, terong, jengkol, jagung, atau pete—selalu diteriakkannya kata-kata yang sama. Saenah… nya sae nya ngeunah, berdenging suara Kajali di telinga Durahim. Tentu suara itu datang dari dalam kepalanya sendiri, karena Mang Kajali kini sudah tak mampu berteriak lagi.

Durahim masih terhenyak dalam beberapa jenak, entah menahan sakit pada pinggang atau berduka atas kematian Kajali. Tapi kemudian dapat dikuasainya dirinya sendiri. Sembari masih memegangi pinggangnya seperti seorang jompo yang encok, Durahim mengambil kapak yang tersandar pada bilik bambu di pojok dapur, di dekat gentong air itu. Diserahkannya kapak pada Juhro. “Nanti saya nyusul.”

Demikianlah, di kampung ini, tatkala didapati seorang warganya pergi direnggut maut maka para lelaki muda atau tua akan berbondong berdatangan ke rumah sahibul musibah dengan membawa kapak atau golok. Mereka akan menebang pohon, bambu, dan batang pisang, mengumpulkan reranting kering, memungkasi pelepah-pelepah kelapa yang daunnya telah ranggas, dan membelah kayu. Setumpuk kayu bakar harus disiapkan demi melanggengkan tradisi tahlilan selama satu minggu ke depan. Sementara ibu-ibu, termasuk juga istri Durahim yang selalu tampil dengan muka berpupur tebal dan bibir bergincu merah—entah datang ke tempat kawinan atau melayat orang meninggal—juga bergegas ke rumah si mayit sembari menenteng pisau-pisau yang kadang kelewat berkilau. Beberapa di antaranya juga membawa baskom berisi beras satu atau dua liter. Syahdan, upacara kematian harus disambut dan dirayakan sedemikian rupa. Kadang lebih meriah dari sebuah pesta kawinan anak seorang lurah dengan jaipongan atau dangdutan. Bahkan, sahibul musibah yang tengah dirundung duka berkepanjangan itu mesti pula menyambut kedatangan para tetangga. Menyiapkan kopi dan teh dalam teko-teko besar, gula dalam toples, dan batang-batang rokok kretek dalam gelas untuk para pembelah kayu, penggali makam, dan pembuat keranda bambu. Sekadar suguhan dan ucapan rasa terima kasih, barangkali.

Juhro yang melenggok sembari memanggul kapak di pundak kanan, segera disambut dengan sebonggol kayu mahoni sepanjang kira-kira dua hasta begitu ia sampai di samping rumah Mang Kajali. Di sana, tampak beberapa orang yang juga tengah membelah kayu, membikin keranda, dan menyiapkan bedeng untuk memandikan si mayit.

“Langsung ngampak saja, Juh,” kata Mang Mardi, ketua RT yang sekaligus penggagas karang taruna, yang tengah asyik mengaso sembari merokok.

“Iya, Mang,” teriaknya sembari mengangguk. Juhro melepas baju dan mempertontonkan dadanya yang tidak bidang. Lantas diangkatnya kapaknya tinggi-tinggi, diayun sekuat-sekencang otot lengan. Bunyi prak dari kayu yang terluka, meski belum terbelah sempurna, mengambang di udara siang yang lumayan terik. Sekali dua Juhro mengulangi gerakan yang sama, hingga meruaplah bau busuk dari ketiaknya yang berbulu lebat. Keringatnya mengucur sederas pancuran. Ah, bau keringat, bau tengkuk inilah agaknya yang disukai istrinya Durahim. Tapi siapa yang akan peduli dengan bau tubuhnya di siang segerah ini. Orang-orang yang juga tengah ngampak itu barangkali lebih memikirkan aroma bau ketiak dan bau keringatnya sendiri yang jauh lebih hangru dari busuknya ketiak Juhro.

Pada ayun-hentakan kapak yang kesekian kali, batang kayu mahoni sepelukan orang dewasa itu merekah terbelah. Juhro tampak puas dan senyumnya mengambang, melayang-layang, menabrak pipi istri Durahim yang melintas menjinjing pisau. Mata keduanya bersirobok. Seperti anak baru remaja mereka saling melempar senyum.

MALAM menggigil. Suasana muram durja masih melingkungi rumah almarhum Mang Kajali. Suara-suara riuh rendah yang tadi terdengar bergegas membaca surat Yaa-Siin, telah berganti dengan pembacaan doa-doa yang panjang. Orang-orang yang memenuhi ruang sampai teras rumah, tampak khusyuk berdoa dan mengamininya bersama. Di tepi teras, di bawah cahaya kuning yang jatuh lembut dari bohlam 10 wat, Durahim tampak meringis menahan nyeri pada selangkang dan berat pada pinggang. Tangan kanannya yang memegangi dan memijit-pijit pinggangnya sendiri, menyikut Mang Mardi yang kebetulan duduk di sebelahnya.

“Saya pulang duluan. Anyeng-anyengan saya kumat lagi,” katanya berbisik, sembari tangan yang lainnya mencomot beberapa batang rokok kretek dari dalam gelas dan menyelipkannya di lipatan sarung. Mang Mardi hanya mengangguk pelan.

Durahim beringsut, mencari-cari sandal jepitnya di antara sandal dan terompah yang tumpang-tindih berantakan. Pusing mencari, atau karena tak kuat menahan nyeri, ia pakai sembarang sandal. Dengan sarung terangkat sampai ke lutut, Durahim gegas berlari tanpa ancang-ancang. Padahal ia bisa saja kencing di bawah pohon kelapa, atau pohon pisang, seperti biasa dilakukannya ketika berada di kebun. Tapi malam begini, ketika seorang tetangga baru saja meninggal, betapa pamali kencing di sembarang tempat, pikirnya.
Tiba di depan rumah panggungnya yang nyaris roboh dengan napas tersengal terengah-engah, Durahim mendengar rintih-desah istrinya dan suara yang berbisik lemah dari dalam kamar. Beberapa kali terdengar juga bunyi kriet amben. Ah, anaknya barangkali belum pulang dari surau, atau tengah menonton teve di rumah tetangga. Sementara para istri yang ditinggal suaminya pergi tahlilan tak akan ada yang berani ke luar rumah pada malam-malam setelah hari kematian itu. Duh, bunyi-bunyi itu cukup menggelikan, cukup membuatnya geram. Tubuh Durahim menggigil, dan anyeng-anyengan-nya kian menyayat-nyayat. Hening mengambang ke seluruh malam.

Diambilnya sebongkah batu sebesar dua kali kepalan tangan. Ditimbang-timbang dan dilemparkannya ke atas bubungan. Terdengar bunyi genteng pecah, berkepingan, berjatuhan satu dua, dan berhasil menghentikan rintih desah istrinya yang memilukan-memalukan itu. Tapi kini, Durahim memiliki banyak tarawengkal untuk dijadikannya bara, dan dikencinginya. (*)

Catatan:
Tarawengkal, pecahan genting.
Anyeng-anyengan, sakit sulit-kencing.
Balarak, daun kelapa kering.
Tulak, sepotong kayu pipih yang tengahnya dipaku pada tiang pintu, untuk pengunci.
Nya sae nya ngeunah, bagus dan enak.
Hangru, bau busuk.

sumber: (Koran Tempo, 20 Februari 2011)
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar