Ahmad S Rumi
Popularitas
penelitian empirik dalam studi-studi resepsi sejak pertengahan tahun
1970-an dapat dipandang sebagai gejala krisis yang lebih umum dalam
teori resepsi. Dengan mendasarkan diri pada metode eksperimental dalam
ilmu-ilmu alam, pengkajian empiris telah jauh mundur dari titik tolak
hermeneutik dan fenomenologis. Di sisi lain, pengkajian empiris seolah
memahami dirinya sebagai pemasok data dan penghasil model kajian sastra
yang cakupannya lebih luas, walaupun hampir tidak ada yang melanjutkan
teori sastra Constance School. Dalam kaitan ini juga perlu dicatat bahwa
di wilayah teoretis, kebanyakan penganjur metode nonempiris yang
terkenal juga tidak produktif.
Walaupun demikian, stagnasi
kemunculan teori resepsi bukan merupakan indikasi penting kebangkrutan
intelektual. Hal itu juga dapat dilihat sebagai bukti bagi kesuburan
aktivitas spekulatif yang awal, karena para penganjurnya juga menyiapkan
wilayah penelitian yang lebih detil dan terbatasi dengan baik. Dengan
menggunakan terminologi model Kuhn, lima sampai sepuluh tahun lalu
dipahami sebagai sebuah periode “normal science” yang di dalamnya tidak
terjadi “revolusi” yang mengganggu paradigma yang dominan.
Teori
resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian
banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak
terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada
mulanya. Terdapat kesan bahwa teori ini berputar-putar seolah tanpa
tujuan. Hal tersebut menjadi terasa benar tatkala teori resepsi
dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan
strukturalis, pos-strukturalis, atau gerakan avant-garde lain. Dalam
teori-teori itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang
menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan fashion sastra, yang
seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena
itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi,
dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan
ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra
kontemporer menjadi lebih tampak.
1. Stabilitas Teks
Sebelum kebangkitan teori resepsi, teks biasanya dipahami sebagai karya
seni verbal (the verbal work of art) atau sebagai karya seni literer.
Karena pengaruh Kritik Baru dan tradisi stilistik, kajian-kajian banyak
diarahkan pada close reading atau eksplikasi teks. Dalam kaitan ini,
teori resepsi yang dalam praktik penafsiran melihat teks sebagai sebuah
fungsi dari pembaca dan resepsinya, disepelekan. Akan tetapi, konsepsi
karya seni sebagai sesuatu yang abadi dan objektif dengan sebuah
struktur penentu arti yang unik dan tunggal, digantikan oleh model yang
di dalamnya esensi karya seni merupakan suatu bentangan yang tak pernah
lengkap dari sejarah efektifnya dan maknanya dibangun oleh interaksi
antara teks dan pembaca. Misalnya saja estetika resepsinya Jauss, teks
yang kita baca tak pernah terpisah dari sejarah resepsinya. Cakrawala
yang muncul pertama kali berbeda dengan milik kita, tetapi ia merupakan
satu bagian dari milik kita, khususnya yang secara temporal berjarak
dengan elemen konstitutif cakrawala sekarang. Teks sebagai mediator
antar-cakrawala merupakan sesuatu yang tidak stabil. Cakrawala pembaca
berubah dan diganti oleh hakikat peleburan cakrawala. Jadi, pemahaman
teks, yang dimungkinkan oleh peleburan tersebut, menjadi sebuah fungsi
sejarah. Pendeknya, sebuah teks digenggam dalam kemenjadiannya ketimbang
sebagai entitas yang pasti.
Iser mengintroduksikan pandangan yang
berbeda sebagai destabilisasi pandangan tradisional terhadap teks.
Baginya, karya seni dibangun oleh dan dalam tindakan membaca. Esensi dan
makna karya sastra tidak menjadi milik teks, tetapi menjadi milik
proses yang melaluinya struktur tekstual dan ideasi pembaca
berinteraksi. Dalam dan selama interaksi ini pembaca bertugas menyusun
hal yang tak terumuskan hingga kini dan keunikan karya seni, di samping
bertugas menajamkan pola-pola makna yang tumbuh dari
penyusunan-penyusunan tersebut. Fokus perhatian Iser bukanlah pada pesan
inheren yang bersifat dugaan dari teks, tetapi pada aktivitas pembaca
dalam menghasilkan makna. Oleh karena itu, baik Iser maupun Jauss,
membongkar konstruk yang lebih tua mengenai teks, yakni konstruk yang
mempertimbangkan teks sebagai fondasi stabil bagi interpretasi dan
sejarah sastra. Teks dalam teori resepsi hidup hanya melalui pembaca dan
sejarah keterlibatan pembaca dengannya.
Holub (1981) mencatat bahwa
anjuran Jauss dan Iser hanya merupakan perubahan yang tampak dalam
fokus interpretif. Walaupun terdapat retorika “hak-hak pembaca,” teks
sebagai sesuatu yang stabil dan penentu struktur sering ditangani secara
dipaksakan di jantung teori resepsi. Ketergantungan Jauss pada
objektivikasi cakrawala harapan atau upayanya untuk memerikan karya
dalam istilah linguistik tekstual, merupakan dua hal yang mendorong
perlunya determinasi tekstual dideteksi kembali. Untuk menyusun kembali
cakrawala sastra masa lalu, harus diasumsikan stabilitas teks yang
membangun cakrawala-cakrawala tersebut. Serupa dengan hal itu,
tanda-tanda linguistik Jauss yang diperoleh dari dalam teks mengundang
paradigma interpretasi yang mengandaikan seorang pengamat dapat secara
netral mendeskripsikan karya sastra sebagai sebuah struktur konstan.
Pembicaraan Iser tentang determinasi tekstual juga bisa saja dilihat
sebagai sebuah manuver yang memberi stabilitas baru pada suatu teks.
Bahkan jika karya seni diberi indeterminasi, struktur yang mendasar yang
memungkinkan keberagaman pembacaan, secara teoretis tetap konstan.
Pada sejumlah tingkatan, baik Iser maupun Jauss, seperti juga ahli teori
resepsi lain, menyebut adanya teks atau subteks tertentu yang bersifat
subjektif dan arbitrer, yang secara keseluruhan menghalangi respons
pembaca. Tentu saja, dalam kerangka kerja tradisional, tidak ada
salahnya mengusulkan bahwa teks sudah ditentukan. Dengan demikian, dalam
model yang mendasarkan diri pada resepsi atau efek, timbul dua masalah.
Pertama, resepsi mengabaikan kebaruan dan konsistensi pendekatan. Jika
sumber ciri-ciri tekstual diketahui secara langsung, berarti teori
resepsi hanya mengubah vokabuler kritik dan bukannya mengubah cara
menganalisis sastra. Misalnya saja, “semangat zaman” diganti dengan
“cakrawala yang diobjektifkan”; “ambiguitas dan ironi” diganti dengan
“kesenjangan dan indeterminasi.” Bahkan, porsi penentu teks juga tetap
karena yang terjadi hanya perubahan dalam fokus. Persoalannya, jika
esensi sebuah teks berada dalam kemenjadiannya (its becoming), bagaimana
kita mendeskripsikannya dalam hal yang lebih daripada sekedar
penggunaan tanda-tanda yang bersifat sementara? Lagipula, faktor apa
yang membuat variabilitas yang diidealisasikan pembaca dibiarkan,
sementara secara simultan juga terjadi penolakan terhadapnya, yang
semestinya terjadi pada struktur yang dapat diverifikasi secara
intersubjektif?
Dengan melabilkan teks dan diam-diam
mengintroduksikan determinasi tekstual, sudut teoretik lebih merupakan
obat luka bagi ahli teori resepsi. Kenyataannya, jika mereka tetap
“reseptif” atau “efektif,” sarana analisis tekstual memang tidak
tersedia.
2. Teks yang Hilang: Stanley Fish
“Anti-tekstual”
secara konsisten tentu saja dimungkinkan. Akan tetapi, postulat teoretis
ini hanya memberikan posisi yang aman bagi argumen tertentu. Dalam
praktik, kita harus berpura-pura bahwa teks eksis dan bahwa kita dapat
mempertanyakannya. Karya Fish mungkin merupakan ilustrasi terbaik
tentang antitekstualitasme teoretis yang dikombinasikan dengan praktik
perhatian yang cermat pada detil tekstual. Dalam teorinya Fish mengubah
beban-beban interpretasi secara jujur pada pembaca. Baginya tidak
terdapat tanda-tanda tekstual atau struktur intersubjektif di luar
konvensi bahwa suatu komunitas interpretif telah menyepakatinya.
Dalam konteks semacam itu, seseorang dapat mengatakan bahwa teks tak
membantu apapun bagi interpretasi karena setiap hal bergantung pada apa
yang pembaca bawa padanya. Terhadap pertanyaan: apa yang kemudian
pembaca baca, atau apa yang kritikus interpretasikan, Fish tidak
menjawab. Baginya, tidak ada seorang pun dapat menjawab dua pertanyaan
tersebut. Alasannya, setiap upaya menetapkan hakikat objektif
kemerdekaan pembaca akan siap dibuat dari posisi sisi-dalam suatu
komunitas interpretif, bahkan jika yang ada hanya tanda-tanda hitam di
atas lembar halaman putih. Pendeknya, teks tidak tampak pada level
metakritik ini karena Fish mempertimbangkan setiap pernyataan tentangnya
untuk diinformasikan dengan konvensi-konvensi interpretasi terdahulu
(dalam pengertian yang luas tentang dunia).
Walaupun demikian, dalam
penafsirannya terhadap teks atau apapun yang dirasakan dalam pembacaan,
Fish mencurahkan perhatiannya pada detil-detil yang diperhitungkan
secara saksama dari pembangkitan makna dan paradoks. Praktik ini tidak
bertentangan dengan posisi teoretisnya karena Fish menuntut adanya
validitas yang tidak lebih besar untuk pembacanya ketimbang bagi yang
lain. Jika interpretasinya itu disepakati, hal ini karena
konvensi-konvensi miliknya telah kita adopsi. Karyanya tak lebih benar
daripada yang lain, ia hanya lebih “menarik.”
Menerima posisi Fish
berarti menerima seluruh asumsi metakritiknya mengenai konvensi dan
komunitas, walaupun posisi metakritiknya tidak memiliki sarana yang
handal. Mengapa pernyataan-pernyataan Fish tidak juga siap ditentukan
oleh komunitas interpretif dan menjadi subjek bagi validitas yang
sama-sama ditanggungkan seperti yang lain? Posisi Fish dapat diterima
karena ia sedikit lebih menyempurnakan dan bukannya mengubah dari suatu
teks ke konstruk lain, baik yang disebut pembaca, konvensi, maupun
komunitas. Penampakan stabilitas teks atau terhadap fakta bahwa
teks-teks adalah stabil, mungkin menjadi konsekuensi dari keanggotaan
dalam sebuah kalangan interpretif yang kohesif, tetapi di manakah
permulaan stabilitas kelompok, dan bagaimanakah hal itu dapat dibatasi
dan ditentukan? Teks bisa saja semakin hilang dalam model Fish, tetapi
secara sederhana determinasi muncul dalam kesamaan yang lain. Bahkan,
jika disepakati bahwa tak ada apa pun yang menjadi milik teks. Bahwa
teks dapat terperikan secara tidak langsung, kesamaan interpretasi pun
segera dapaat dicatat. Memang ada keterikatan pada sesuatu yang
menentukan yang berperan mengendalikan kesepakatan dalam interpretasi.
3. Munculnya Pembaca
Teoretikus resepsi cenderung menyebut kekuatan yang mengendalikan
pembaca ini dipahami sebagai suatu upaya untuk mendemonstrasikan
bagaimana pembaca merupakan sumber langsung makna dan sejarah sastra.
Walaupun kehilangan kesempatan objektivisme tekstual, rehabilitasi
pembaca harus diatasi secara sungguh-sungguh. Banyak kontroversi yang
lebih difokuskan pada apa yang dibawa oleh penelitian yang berorientasi
pada pembaca. Studi-studi empiris didasarkan pada penglihatan masyarakat
yang secara aktual membaca teks, sementara model-model hermeneutik dan
fenomenologis menangani sejumlah variasi konstruk heuristik. Perubahan
mendasar dan upaya untuk mencapainya itu merupakan pembicaraan yang
menarik.
Akan tetapi, di antara studi empiris dan model hermeneutik
dan fenomenologis tersebut terdapat kesepakatan dan sekaligus
ketidaksepakatan terhadap materi deskripsi. Misalnya saja, Erwin Wolff
sependapat dengan Iser dalam hal perlunya mengembangkan kategori
non-empiris, namun ia juga tidak sependapat dalam hal yang berkenaan
dengan konstitusi yang tepat mengenai pembaca dan sikap yang menentukan
peran pembaca itu. Berkebalikan dengan pembaca terselubung Iser, Wolff
menyarankan intended reader, yakni seseorang yang dipikirkan pengarang
bagi karya pengarang itu. Dalam sejumlah hal konstruk ini tumpang
tindih dengan konstruk Iser, tetapi tidak sepenuhnya identik. Intended
reader Wolff lebih merupakan sebuah creature sejarah sastra daripada
creature pembacaan murni, walaupun perbedaannya tidak dapat digambarkan
secara eksak. “Pembaca yang dikehendaki” dapat ditentukan tidak hanya
oleh klu-klu tekstual dalam karya yang dibaca, tetapi juga oleh
karya-karya yang berdekatan dan oleh tanda-tanda yang dibuat pengarang
bagi publiknya.
Oleh karena itu, apa yang menarik Wolff ialah
gagasan tentang pembaca dalam rentangan historikalnya. Di sisi lain,
Iser hanya memperhatikan pembaca yang kompeten yang berhasil
berinteraksi dengan teks tertentu. Jadi, pembaca selalu tampil dan tidak
dapat dipahami terpisah dari “act of reading,” sementara pembaca Wolff
dapat ditempatkan sebagai tipe ideal yang terbebas dari teks manapun.
Perkembangan semacam ini menunjukkan adanya arus pertumbuhan “untuk
memperhalus” konsep-konsep yang berkenaan dengan pembaca. Misalnya saja
Wolff sendiri menyebutkan dalam esainya: pembaca imajiner, pembaca yang
tepat, pembaca ideal, pembaca yang diidealisasikan, dan pembaca imanen.
Di luar khasanah sastra Jerman, istilah-istilah pembaca super-nya
Riffaterre, informed reader-nya Fish, atau si narratee-nya Prince juga
sudah dikenal. Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan tertentu, terdapat
hal yang menyatukan konstruk-konstruknya, yaitu fungsinya sebagai
semacam “penangkal petir” dalam kaitannya dengan “karya itu sendiri.”
Adresi, konsumen, atau penerima tidak lebih jauh dilihat sebagai elemen
marginal dalam studi-studi literer. Khususnya dalam model-model Jermani,
pembaca telah menjadi “sesuatu yang arbitrer (Instanz) dari sejarah
baru sastra.”
4. Resepsi Hingga Pengalaman Estetik:
1. HANS ROBERT JAUSS (Frankfurt, Jerman)
Berkebalikan
dengan para “perintis” teori resepsi yang terutama melibatkan diri
secara filosofis, psikologis, dan sosiologis, minat Hans Robert Jauss
tertuju pada masalah-masalah resepsi yang bersumber pada keterkaitan
hubungan antara sastra dan sejarah. Dalam karya awal teoretiknya,
seringkali dia mengkhususkan diri pada kekurangan yang melanda sejarah
sastra dan perbaikan-perbaikan yang mungkin dilakukan terhadapnya. Apa
yang ia deteksi di Jerman dan skolarsip internasional di tahun 1960-an
adalah pengabaian sifat historis sastra, karena sarjana-sarjana dan
kritikus-kritikus berpaling pada metode-metode sosiologis,
psiko-analisis, semasiologis, psikologi-gestalt, atau metode-metode yang
berorientasi pada estetika. Tujuan-tujuan yang dikemukakan adalah
membantu memperbaharui sejarah pada pusat studi sastra; dan dalam
konteks inilah dua judul karya “manifesto” teori resepsinya harus
dipahami.
Kuliah yang diberikannya di Constance di bulan April 1967,
berisi sindiran yang jelas terhadap ceramah Friederich Schiller, sebagai
sejarawan di Jena pada tahun 1789. Judul yang dipilih Jauss: “What is
and for what purpose does one the insertion of "literary" for
"universal” (‘Apa dan untuk tujuan apakah seseorang menyelipkan “sastra”
secara “universal”’) dimaksudkan untuk menghimbau para pendahulu,
paling tidak dengan dua cara. Pertama, memantapkan suatu pengertian akan
urgensi dalam bidang yang tampaknya penting dan akhirnya memerlukan
orientasi baru. Sikap Jauss terhadap studi sastra kontemporer
diikhtisarkan dalam esainya “Paradigm” dan dalam karya-karyanya yang
lain pada periode tersebut, menunjukkan kurang adanya penalaran untuk
menangani sastra lebih lanjut, khususnya dalam pandangan terhadap
hilangnya model-model interpretasi yang lebih tua. Yang dibicarakan
Schiller itu disampaikan sebelum pecahnya Revolusi Perancis yang
tentunya telah disadari oleh Jauss pada saat dia memilih judulnya.
Tujuannya untuk menggoncangkan, untuk mengumumkan suatu “revolusi”,
untuk memproklamasikan akhir ‘rejim kuno’ sastra akademis.
Kedua, apa
yang diperlukan untuk menghidupkan kembali studi sastra adalah
memperbaharui lagi beberapa hubungan vital antara artefak masa lampau
dan kepentingan-kepentingan masa kini, seperti sudah dikemukakan
Schiller sebelumnya. Bagi literary scholarship dan pengajaran, hubungan
semacam itu dapat dimantapkan hanya apabila sejarah sastra tidak lagi
diturunkan derajatnya menjadi periphery suatu disiplin, demikian Jauss
mempertahankan. Selanjutnya, judul kuliahnya yang sudah direvisi,
“Literary history as a provocation for literary scholarship,” menekankan
sisi aktif upaya-upayanya. Sekali lagi, untuk membuat studi sastra
relevan, apa yang
disebut paham Schillerian perlu ditanggapi secara mantap.
Walaupun
demikian, adalah penting juga untuk diingat bahwa esai Jauss adalah
provokasi, bukan suatu himbauan untuk revival. Alusi-alusi dan
sindiran-sindirannya terhadap Schiller yang dimaksudkan untuk
memperbaiki integritas dan sentralitas sejarah sastra, seyogyanya tidak
dibaca sebagai suatu manuver konservatif atau kritik balasan. Tambahan
lagi, hal itu merupakan obsolescence ‘proses pengunoan’ paham-paham yang
lebih tua tentang historiografi literer, yang menurut Jauss, hal itulah
yang telah menghasilkan posisi menyulitkan dan membahayakan.
Tokoh-tokoh idealis Jerman di bidang konsep sejarah, paradigma utama
dari jaman Schiller, telah memiliki patokan atau prinsip yang
mengarahkan penyusunan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta.
Sejarah
sastra yang pantas dicatat dalam tradisi ini ialah History of the Poetic
National Literature of the Germans (1835-42) karya G. Gottfried
Gervinus. Sesuai dengan kebanyakan sejarawan abad ke-19, gagasan yang
mengarahkan Gervinus dihubungkan dengan pengertiannya mengenai identitas
nasional dan sebaliknya juga dihubungkan dengan tujuan-tujuan
kebebasan atau kemanusiaan yang lebih kosmopolitan yang diterima oleh
sejarah-sejarah universal sebelumnya.
Problem keanekaragaman
historiografi menjadi bukti adanya model teologis. Sejarawan dihadapkan
pada suatu dilema: memproyeksikan suatu closure ke dalam beberapa saat
mendatang dan membaca peristiwa-peristiwa ke arah belakang (backwards)
dari titik hipotetis ini, atau mempertimbangkan tujuan-tujuan sudah
tercapai, selanjutnya mengimplikasikan bahwa peristiwa-peristiwa
berikutnya itu bukan merupakan akibat atau bagian dari sebuah kemusnahan
yang general. Tatkala Gervinus memaparkan titik kulminasi sejarah
sastra Jerman dalam klasikisme, ia memiliki alternatif kedua, walaupun
tujuannya pastilah mengangkat dan memproyeksikan kesatuan nasional yang
belum dicapai Jerman.
Seperti telah dikemukakan oleh Jauss,
alternatif utama historiografi teologis ini tumbuh bersama dengan
historisisme abad ke-19. Hal yang paling pantas dicatat dari aliran ini,
Leopold von Ranke, mempropagandakan ajaran tentang objektivitas, yang
penuh dan relativitas total dengan ungkapan-ungkapan yang begitu
terkenal seperti berikut ini: “Saya mempertahankan bahwa masing-masing
periode langsung berhadapan dengan Tuhan (immediate vis-a-vis God), dan
bahwa nilainya tidak bergantung sama sekali pada apa yang mengikutinya,
tetapi lebih bergantung pada eksistensi dan pada dirinya sendiri” (p.
7). Akan tetapi, postulasi mengenai dignity dan self-sufficiency dari
setiap era dipertahankan hanya pada nilai tentang penghilangan atau
pengosongan hubungan antara masa lampau dan masa kini yang dipertahankan
oleh Schiller dan Jauss. Dalam semangatnya untuk menghindari spekulasi
tujuan-tujuan final, historisisme mengorbankan relevansi sejarah dalam
hal objektivitas yang idealismenya diragukan.
Berdasarkan pada
presentasi Jauss, hasil studi-studi sastra ada dua lapisan. Pada satu
sisi kita mendapatkan penampakan metodologi literer yang dalam
responnya terhadap krisis historiografi mengadopsi prinsip-prinsip
yang membuat penulisan sejarah sastra bersifat problematis. Di dalam
penerapan metode-metode ilmu pengetahuan alam, positivisme memperlakukan
karya-karya sastra seolah-olah merupakan akibat dari sebab-sebab yang
bisa dibuktikan (verifiable) dan dapat diukur (measureable).
“Aplikasi
prinsip eksplanasi kausal yang murni terhadap sejarah sastra hanya
memperjelas faktor-faktor penentu yang bersifat eksternal saja,
membiarkan studi sumber tumbuh hingga tingkatan ampul (hypertropied
degree), dan melarutkan sifat spesifik atau karakter karya sastra ke
dalam sebuah koleksi "keterlibatan" yang dapat ditingkatkan semaunya.”
(p. 8)
Akan tetapi, reaksi terhadap positivisme literer di German,
Geistesgeschichte (secara harafiah berarti sejarah tentang spirit;
tetapi mirip dengan sejarah tentang gagasan) sama-sama tidak mampu
menyelaraskan sastra dengan sejarah, menentang eksplanasi kausal sejarah
dengan estetika tentang ciptaan irasional, dan mencari koherensi sastra
(Dichtung) dalam suatu pemunculan kembali ide-ide dan motif-motif yang
temporal". (p. 8)
Pada sisi yang lain, sejarah sastra aktual yang
ditulis dengan metodologi semacam itu telah dikritik dengan tajam karena
teorinya yang tidak memadai. Untuk menghindari riwayat biasa tentang
tanggal-tanggal dan karya-karya, sejarawan-sejarawan sastra yang
prospektif dihadapkan pada dua alternatif. Pertama, mengusulkan
pengorganisasian kaidah literer di seputar kecenderungan yang umum,
genre-genre, dan kategori-kategori lain yang semacamnya, yang
memungkinkan subsumsi karya-karya individual secara kronologis di
bawahnyai. Kedua, metode lain yang populer hanya berkaitan dengan
pengarang-pengarang besar dalam kelompok-kelompok; jenis sejarah sastra
ini sering terdiri dari serangkaian esai-esai ringkas
“karya-karya-dan-kehidupan”. Tidak ada pemecahan yang memuaskan: yang
pertama sering disebut sebagai sejarah budaya dengan contoh-contoh
sastra, sementara yang kedua benar-benar merupakan koleksi esai-esai
yang disatukan dengan ikatan-ikatan kronologis yang lepas-lepas dan
ikatan nasionalitas. Selanjutnya, Jauss mencatat kedua variasi sejarah
sastra tradisional tersebut tidak mampu mencapai istilah-istilah yang
mempermasalahkan evaluasi. Berorientasi pada gagasan objektivitas yang
bisa dipertanyakan, yang dipropagandakan oleh metodologi-metodologi
para sejarawan dan kaum positivis, sejarah-sejarah tersebut
mempraktikkan suatu "aesthetic abstinence" (pantangan estetik) (p. 5)
yang tidak memperhatikan judgements kualitas.
Melihat historiografi
sejarah sastra dengan cara lain, misalnya dengan membersamakan sejarah
dan estetika, bersama Jauss kita akan mengajukan pertanyaan dalam dua
istilah metodologi Marxisme dan Formalisme. Marxisme, seperti telah kita
lihat sebelumnya, menyajikan kepada Jauss suatu praktik sastra yang
tidak mode dalam paradigma yang esensial para sejarawan dan kaum
positivis. Dalam “Provocation”, Jauss mengutarakan konsep “refleksi”
(Widerspiegelung) sebagai sesuatu yang khusus bersifat regresif dan
idealis, mengkritik Georg Lukacs dan Lucien Goldmann sesuatu yang
tidak fair karena melihat sastra sebagai cermin pasif dari dunia luar.
Namun, walaupun terdapat penolakan Jauss terhadap teori Marxis, yang
lebih awal, ia mengenali, baik dalam desakan historisitas sastra
maupun beberapa pendapat teoretis yang dikemukakan oleh kritikus yang
tidak begitu kolot, seperti Werner Krauss, Roger Garaudy, dan Karel
Kosik, bahwa Marxisme bukanlah sistem yang monolitik, bukan pula sistem
yang dogmatis. Yang paling penting baginya dalam hal ini adalah
ungkapan-ungkapan yang menunjukan sensitivitas terhadap isu-isu
mengenai efek dan resepsi.
Kaum formalis, di pihak lain, dipercaya
oleh Jauss karena mengenalkan persepsi estetis sebagai sarana teoretik
untuk menelaah karya-karya sastra. Kekurangan metode kaum formalis dalam
pandangan Jauss pertama-tama berkaitan dengan kecenderungan pada
estetika L'art-pour-l'art ‘seni untuk seni.’ Dalam teori formalis:
“proses
persepsi dalam seni tampak sebagai tujuan dalam dirinya sendiri,
‘bentuk yang dapat diraba’ (tangibility form) sebagai karakteristik yang
khusus dan ‘penemuan sarana’ (Verfahren; discovery of the device)
sebagai prinsip teori. Teori ini membuat kritik seni ke dalam suatu
metode rasional dalam proses meninggalkan pengetahuan sejarah secara
sadar, dan selanjutnya menyebabkan keberhasilan-keberhasilan kritikal
terhadap nilai-kesarjanaan yang abadi.” (pp. 16-17)
Takala
tokoh-tokoh formalis seperti Tynjanov atau Eikhenbaum menjelajahi bidang
historigrafi sastra, mereka cenderung membatasi pandangan mereka
terhadap sastra. Walaupun mereka berhasil menerangkan konsep evolusi,
tatkala konsep itu diterapkan pada suatu kronologi literer, mereka tidak
bisa menghubungkan evolusi sastra ini dengan perkembangan-perkembangan
historis yang lebih umum. Oleh karena itu, tugas bagi sejarah sastra
yang baru adalah menggabungkan secara baik kualitas-kualitas terbaik
dari Marxisme dan Formalisme. Hal ini dapat dilaksanakan dengan
memenuhi tuntutan Marxist mengenai perantaraan historis sewaktu
memperbincangkan kemajuan-kemajuan formalist di bidang persepsi estetis.
2. Estetika Resepsi
Upaya
Jauss mengatasi dikhotomi Marxis-Formalis melibatkan pengamatan sastra
dari perspektif pembaca atau konsumen. “Estetika Resepsi,” sebagaimana
Jauss menyebut teorinya pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an,
berpandangan bahwa esensi historis suatu karya seni tidak dapat
diuraikan dengan meneliti penciptanya atau hanya dengan menjelaskannya.
Sastra seharusnya diperlakukan sebagai suatu proses dialektik mengenai
kreasi dan resepsi. “Sastra dan seni hanya mendapat suatu sejarah yang
memiliki karakter sebuah proses tatkala serangkaian karya-karya
dijembatani tidak hanya melalui subjek yang menghasilkan, tetapi juga
melalui subjek yang mengkonsumsi melalui interaksi pengarang dan
publik” (p. 15). Jauss berupaya memenuhi tuntutan Marxist terhadap
mediasi historis dengan menyituasikan sastra dalam proses yang lebih
luas mengenai kejadian-kejadian. Ia tetap memakai pencapaian-pencapaian
formalis dengan menempatkan subjek yang menerima pada pusat
perhatiannya. Jadi sejarah dan estetika disatukan.
“Implikasi estetik
terletak pada kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya oleh pembaca
mencakup pengujian nilai estetiknya dalam perbandingannya dengan
karya-karya yang sudah dibaca. Kejelasan implikasi historis mengenai hal
ini ialah bahwa pemahaman pembaca pertama akan ditopang dan diperkaya
dalam sebuah rantai resepsi dari generasi ke generasi; dalam cara ini
makna historis suatu karya akan diputuskan dan nilai estetiknya
dibuktikan.” (p. 20)
Perubahan perhatian ini memiliki implikasi bagi
tipe sejarah sastra yang baru. Apa yang Jauss harapkan ialah sebuah
historiografi yang akan memainkan suatu kesadaran yang berperan
menjembatani antara peran masa lalu dan masa kini. Walaupun secara
sederhana tradisi diterima sebagai sesuatu yang given, sejarawan resepsi
sastra akan disebut memikirkan kembali secara konstan karya-karya dalam
kanon yang jelas mengenai bagaimana karya-karya itu mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kondisi dan peristiwa mutakhir.
“Langkah dari
sejarah resepsi karya individual hingga sejarah sastra telah mengarahkan
untuk melihat dan merepresentasikan konsekuensi historis karya-karya
karena hal tersebut menentukan dan menjelaskan koherensi sastra, pada
keluasan yang bermakna bagi kita, sebagai prasejarah dari pengalaman
kekiniannya.”(p. 20)
Dengan pilihan praktik ini sastra menjadi
bermakna penuh sebagai sumber mediasi antara masa lalu dan kini,
sementara sejarah sastra, dengan berpegang pada gagasan Jauss yang
berbau Schillerian, menjadi sentral bagi studi-studi lirer karena ia
membuat kita mampu memahami makna masa lalu sebagai bagian praktik masa
kini.
3. Cakrawala Harapan
Integrasi sejarah dan
estetika, Marxisme dan Formalisme, secara luas dicapai dengan pengenalan
paham tentang “cakrawala harapan” (Erwartungshorizont), dengan
memperhitungkan “methodological centerpiece” sebagai esai teoretis Jauss
yang paling penting. Seperti telah kita lihat di atas, istilah
“cakrawala” telah begitu familiar di lingkungan filosofis Jerman.
Gadamer menggunakan istilah itu untuk merujuk pada “rentangan visi yang
melibatkan segala sesuatu yang dapat dilihat dari suatu tempat yang
secara partikular menguntungkan.” Dalam konteks yang sama,
pendahulunya, Husserl dan Heidegger, juga telah memperkenalkan ajaran
ini. Pemakaian yang digabungkan dengan “harapan” itu bukan merupakan hal
yang baru sama sekali. Ahli filsafat ilmu Karl Popper dan ahli
sosiologi Karl Manheim telah mengadopsi istilah itu jauh sebelum Jauss.
Bahkan, istilah itu memiliki asosiasi yang
lebih awal dengan
afair-afair kultural. Dalam Art and Illusion, ahli sejarah seni, E. H.
Gombrich, di bawah pengaruh Karl Popper mendefinisikan istilah
“cakrawala harapan” sebagai “perangkat mental yang mencatat penyimpangan
dan modifikasi dengan sensitivitas yang dibesarkan.” Jadi,
“cakrawala” dan “cakrawala harapan” terjadi dalam rentangan konteks yang
luas, dari teori fenomenologi Jerman hingga sejarah seni.
Kekacauan
Jauss dalam menggunakan istilah “cakrawala” ialah bahwa istilah itu
didefinisikan terlampau samar, ia dapat tecakup atau tak tercakup dalam
pengertian kata tertentu yang telah ada sebelumnya. Tatkala ia
mendiskusikan asal-usulnya dalam esai “Provokasi”-nya, ia mengutip
referensinya yang lebih awal yang ditulisnya pada tahun 1959 dan 1961;
tetapi sesungguhnya tulisan-tulisan tersebut juga menunjukkan
kekurangspesifikan yang sama. Lebih-lebih lagi istilah itu dibangun dan
dipakai dalam berbagai variasi frase: “cakrawala pengalaman,”
“cakrawala pengalaman hidup,” “struktur cakrawala,” “perubahan
kecakrawalaan,” dan “cakrawala material kondisi-kondisi” (materieller
Bedingungshorizont). Hubungan di antara penggunaan-penggunaan tersebut
ditinggalkan dalam keadaan sesamar kategori “cakrawala” itu sendiri.
Jauss tampaknya berkehendak untuk menanamkan pengertian umum di kalangan
pembaca dalam memahami, paling tidak, istilahnya yang utama. “Cakrawala
harapan” mengacu pada sistem intersubjektif atau struktur harapan,
sebuah “sistem rujukan” atau seperangkat-pikiran yang bersifat hipotetis
yang bisa saja pembaca bawa pada teks tertentu.
Walaupun demikian,
tiap definisi provisional tidak mengurangi kesulitan utama dalam
penggunannya. Misalnya saja, satu dari postulat-postulat metodologis
penting Jauss yang berkenaan dengan “objektivikasi cakrawala.” “Kasus
ideal” bagi suatu objektivikasi melibatkan karya-karya yang memparodikan
atau merefleksikan tradisi literer; Don Quixote, Jacques le Fataliste,
dan Chimeres merupakan ilustrasi-ilustrasi yang dapat disebutkan,
walaupun novel “tipikal” Shklovskii, Tristram Sandy dapat juga jika
dimasukkan ke dalam kelompok ini. Karya-karya tersebut ideal karena
mempertinggi cakrawala pembaca, yang dibentuk oleh suatu konvensi genre,
gaya, atau bentuk, hanya untuk mencurahkannya setapak demi setapak."
(p. 24) Di sini cakrawala sastra diobjektifkan karena karya itu sendiri
menjadikan dirinya objek yang dapat diamati pembaca. Untuk karya-karya
yang tidak begitu langsung membangkitkan harapan, Jauss menyarankan tiga
pendekatan umum untuk menyusun cakrawala.
“Pertama, melalui
norma-norma yang familier atau puitika imanen tentang genre; kedua,
melalui hubungan implisit bagi karya-karya yang familiar terhadap
lingkungan sejarah sastra; dan ketiga, melalui oposisi antara fiksi dan
realitas, antara fungsi puitik dan fungsi praktik bahasa, yang selalu
ada bagi pembaca yang biasa merefleksikan selama pembacaan sebagai
kemungkinan perbandingan.” (p. 24)
Masalahnya di sini tidak banyak
terletak pada prosedur yang diusulkan Jauss, yang kurang lebih
dilaksanakan oleh sebagian besar sarjana sewaktu mereka mengaitkan
sebuah karya dengan tradisi sastra dan struktur sosial, tetapi lebih
terletak pada pengertian objektivitas itu sendiri. Walaupun Jauss terus
berupaya memegang teguh hakikat transendental cakrawala, dengan menerima
objektivitasnya, ia menyarankan suatu prosedur empirik. Lagi pula,
metode yang ia tunjukan untuk mengobjektivitaskan kategori memprakirakan
posisi netral, yang melaluinya observasi-observasi tersebut dapat
dibuat. Sebuah “patokan familiar” dari era tertentu dapat
diverifikasikan hanya dengan mengasumsikan bahwa dari perspektif kini,
kita dapat membuat pertimbangan objektif terhadap apa sebenarnya patokan
tersebut. Bertentangan dengan tuntutan Gadamer mengenai historikalitas,
di sini kita diminta untuk mengurung kesituasian historis kita.
Selanjutnya, kendatipun perjuangan untuk melepaskan paradigma
positivist-historist, Jauss dalam mengadopsi objektivitas sebagai
prinsip metodologis kelihatan jatuh kembali pada kesalahan-kesalahan
yang dia kritik.
Kesulitan-kesulitan yang analog muncul tatkala dia
mencoba menjelaskan bagaimana cakrawala pengharapannya menghindari
"the threatening pitfalls of psyhcology" (lobang perangkap psikilogis
yang mengancam) (p. 22) dan "the circular recourse to a general' spirit
of the age" (perlindungan sirkular terhadap ‘semangat jaman’ yang umum)
(p.28), dua butir penting yang paling kuat bagi konsep tersebut. Untuk
yang pertama Jauss mencoba mengatasi keterbatasan estetika respons yang
didasarkan pada psikilogi yang dilontarkan I.A. Richards. Dia mengutip
dan menyetujui kritik Renne Wellek terhadap Richards yang berkaitan
dengan tidak memadainya pendekatan tersebut untuk menelaah makna karya
seni dan pengembalian metode itu pada sosiologi citarasa. Untuk
mengimbangi versi resepsi yang melemah dan melangkah keluar respons
individual, Jauss berpaling pada linguistika tekstual.
“Proses psikis
resepsi pada suatu teks, dalam suatu cakrawala primer pengalaman
estetik, tidak hanya berarti serangkaian kesan subjektif yang arbitrer,
tetapi lebih merupakan pelaksanaan instruksi spesifik dalam sebuah
proses resepsi yang diarahkan, yang dapat dipahami berdasarkan pada atau
sesuai dengan motivasi-motivasi konstitutifnya dan berdasarkan pada
tanda-tanda (signals) yang tampak, dan yang juga dapat diperikan oleh
linguistika tekstual.” (p. 23)
Bertumpu pada karya Wolf-Dieter
Stempel, dia mendefinisikan kembali proses resepsi sebagai “suatu
ekspansi sistem semiotik yang dilaksaknakan antara pengembangan dan
pembetulan suatu sistem” (p. 23). Dalam hal skema ini, penelitian
terhadap “proses pemantapan yang kontinu dan penggantian cakrawala”
dengan menggunakan klu-klu (clues) tekstual dan yang generik akan
mengurangi keanekaragaman respons individual, dan paling tidak dalam
teori, kita kemudian dapat memantapkan suatu suatu ‘cakrawala pemahaman
yang trans-subjektif’ yang menentukan ‘pengaruh teks’” (p. 23).
Problemnya di sini ialah bahwa Jauss masih mengoperasikan dengan jelas
melawan tujuan-tujuan hermeneutikanya suatu model objektivist.
Tanda-tanda hanya tampak sebagai tanda-tanda dalam mode kerangka kerja
persepsi tertentu. Genre, sebagai kategori konvensional untuk membagi
“kue serabi” karya-karya sastra, adalah “fakta-fakta” hanya karena kita
atau penulis puitika telah menetapkan bahwa ciri-ciri karya tertentu
bergantung pada pengelompokannya. Tambahan lagi, hal ini tidak
dimaksudkan bahwa bekerja dengan cara semacam itu adalah salah atau
tidak lazim; keberatannya ialah bahwa Jauss meneorikan tujuan-tujuan
yang bersilangan dengan maksud-maksud yang dikemukakannya (purposes
versus intentions). Dia menghindari psikologi hanya dengan mengenalkan
kembali suatu momen objektivis yang berbeda dengan premis-premis
hermeneutikanya. Karena alasan inilah ia juga kembali masuk dalam
lingkaran setan yang dia anggap disebabkan oleh Geistesgeschichte.
Sepanjang dia menyatakan dengan tegas tentang kemungkinan “rekonstruksi
cakrawala harapan” (p. 28) dan mulai melaksanakan rekonstruksi ini
dengan bukti-bukti atau tanda-tanda dari karya-karya itu sendiri, dia
akan mengukur efek atau impak karya terhadap cakrawala yang
diabstraksikan dari karya-karya tersebut.
Lingkaran yang tidak dapat
Jauss hindarkan ini memiliki konsekuensi bagi pendapat-pendapatnya
mengenai nilai estetik, karena kontras antara karya tertentu dan
cakrawala berdiri di tengah-tengah teori evaluasinya. Dengan
memperhatikan secara saksama tulisan-tulisan Formalis Rusia, Jauss
bersikeras bahwa karakter artistik suatu karya dapat ditentukan “oleh
jenis dan pengaruhnya terhadap audiens yang diprakirakan.” Jarak
estetis (aesthetic distance), yang didefinisikan sebagai perbedaan atau
pemisahan antara cakrawala harapan dan karya sebagai “perubahan
cakrawala” (horizontwadel), dapat diukur oleh “spektrum reaksi audiens
dan pertimbangan-pertimbangan kritik” (p. 25)
Pendekatan mekanistik
terhadap evaluasi ini membawa Jauss ke dalam sejumlah keadaan yang
menyulitkan. Tidak sedikitpun dari keadaan tersebut yang merupakan cara
bagaimana menentukan tatkala suatu karya telah mengecewakan, atau
melampaui batas, atau merusak harapan. Bahkan, jika seseorang dapat
menemukan ukuran “kekecewaan,” seseorang harus melengkapi hipotesis ini,
yakni “nilai sebagai perbedaan” dengan suatu pengertian “kesukaan yang
menimbulkan pengenalan.” Jika ketikan acak-acakan dari seekor simpanse
diterbitkan sebagai novel misalnya, tentu saja hal itu akan membuat
jarak antara ia sendiri dan harapan publik pembaca. Akan tetapi, bagi
pembaca kontemporer atau kritikus manapun, pengkajian terhadap “sastra”
semacam itu sebagai usaha yang serius, haruslah menyesuaikan diri lebih
dekat dengan beberapa norma literer yang lebih mudah dikenal. Dengan
kata lain, jarak cakrawala dan karya merupakan kriteria yang tidak layak
untuk menentukan nilai literer.
Kesepihakan dalam teori awal Jauss
tersebut juga berkenaan dengan keharusan untuk membawa “masakan” atau
sajian sastra dan yang klasik. Kedua kategori mengenai sastra itu,
karena membentuk latar belakang tentang harapan normal, harus
mencerminkan tidak adanya “karakter artistik.” Seperti dikatakannya,
“bentuk indah mereka (yang disebut karya-karya masterpieces) yang telah
menjadi bukti-diri, dan ‘makna abadi’-nya tidak mungkin dipertanyakan;
menurut estetika resepsi, membawa mereka mendekati ‘cara mengolah’ seni
yang tidak dapat dielakkan memang meyakinkan dan menyenangkan, tetapi
membahayakan.” (pp. 25-6). Akan tetapi, jika upaya khusus dibutuhkan
untuk membaca karya-karya masterpieces sehingga kebesarannya bisa
dikenali, menurut aturan seseorang akan bertanya mengapa tipe membaca
ini tidak juga tersedia untuk sajian sastra. Dan apabila tidak yang
manakah yang berada pada posisi Jauss maka ciri-ciri lain yang
manakah yang membentuk “karakter artistik” suatu karya?
Akar
permasalahan ini terletak pada keyakinan yang eksklusif terhadap
teori-persepsi Formalis melalui defamiliarisasi (ostranenie) untuk
menetapkan nilai. Dalam kaitan ini, novelty (‘kebaruan’) jelas berperan
sebagai kriteria tunggal bagi evaluasi, dan walaupun Jauss, pada satu
sisi, berusaha untuk mempertimbangkan “yang baru” (the new; das Neue)
sebagai kategori estetik dan historik, dia terlampau sering
menguniversalkan fungsinya dalam menentukan nilai estetik. Orientasi ke
arah inovasi ini agak aneh dalam spektrum karya Jauss yang luas dalam
sastra abad pertengahan. Sementara kebanyakan Formalist dipengaruhi oleh
praktik literer yang menekankan perusakan konvensi, beberapa waktu
lampau, yang tentu saja Jauss mengetahui, kelihatannya menghargai karya
dengan memperhatikan persamaan dan perbedaannya dengan norma-norma
tradisional. Misalnya saja, selama masa pertengahan tuntutan dalam
penciptaan artistik lebih difokuskan pada pengulangan struktur-struktur
tertentu dan bukan merusaknya. Walaupun kita secara retrospektif bisa
menilai karya-karya yang berbeda dengan norma, adalah meragukan bahwa
tipe judgment semacam ini telah dianut dalam tempo yang sangat panjang.
Penekanan
pada novelty tampaknya merupakan bagian dari purbasangka modern, boleh
jadi dikaitkan dengan penetrasi mekanisme pasar ke dalam ranah estetik.
Keaslian dan kejeniusan merupakan faktor yang datangnya lebih kemudian
dalam daftar katagori-katagori evaluatif yang didukung, dan dimungkinkan
bahwa perubahan yang terjadi dalam sistem penciptaan dari feodalisme,
dengan tekanan pada hierarkhi, keteraturan, dan pengulangan, hingga
kapitalisme dengan ideologi keterusterangannya dan tuntutannya terhadap
revolusi penciptaan yang konstan memainkan peranan dalam sebagian
besar kreasi dan resepsi seni. Dengan kata lain, keraguan atau prasangka
kita terhadap sesuatu yang baru atau unik boleh jadi lebih banyak
berkaitan dengan “cakrawala” kita sendiri daripada dengan pikiran dan
harapan yang muncul di masa lampau.
5. Resepsi Hingga Pengalaman Estetik:
1. Roman Ingarden (Praha, Rusia)
Nasib karya Roman Ingarden bervariasi seperti karya formalis-formalis
Rusia, padahal karya-karyanya memberikan permasalahan studi yang menarik
bagi teori resepsi. Sebagai murid Edmund Hussrel yang terutama
melibatkan diri pada pada pertanyaan-pertanyaan filosofis, Ingarden
mengemukakan problem karya-karya seni literer berdasar hal-hal yang
teoretik ini. Seperti yang ditulisnya di tahun 1930, karya seni sastra
menyajikan contoh kesempurnaan mengenai suatu objek yang tujuan murninya
tidak perlu diragukan. Objek tersebut bisa dijadikan landasan seseorang
untuk mengkaji struktur hakiki mengenai mode eksistensi yang tujuan
murninya bukan merupakan subjek yang masih memerlukan saran-saran yang
berpangkal dari pertimbangan-pertimbangan objektivitas yang sebenarnya.
Motif terpenting dia untuk berpaling pada studi teori sastra
berhubungan langsung dengan penelitian tentang problematika realisme dan
idealisme. Bagi Ingarden, karya seni sastra berada di luar dikotomi
itu. Subjudul The Literary Work of Art, An Investigation on the
Borderline of Ontology, Logic, and Theory of Literature, menegaskan
tujuan filosofisnya.
Akan tetapi, dua respon yang paling penting
terhadap karya Ingarden, di samping tidak mengingkari ikatan-katan
fenomenologisnya, cenderung mengecilkan masalah-masalah filosofisnya
yang utama. Misalnya tanggapan Rene Wellek terhadap Ingarden,
mengaitkannya dengan prinsi-prinsip New Criticism. Walaupun namanya
hanya tampak sebentar dalam Theory of Literature (1946), adalah jelas
bahwa karyanya penting bagi pemikiran Wellek, khususnya dalam
pembicaraannya tentang mode of existence (cara keberadaan) karya
sastra. Apa yang menghubungkan karya Ingarden dengan Wellek dan terutama
dengan seluruh gerakan Kritik Baru Anglo-Amerika kurang begitu
berkenaan dengan isu realisme-idealisme, tetapi lebih berhubungan dengan
desakannya terhadap penganalisisan sastra secara intrinsik. New Critics
dan Ingarden memiliki pandangan yang sama bahwa karya itu sendiri
seharusnya dijadikan titik pusat pengkajian. Peneropongan diktum
metodologis ini, khususnya yang dipromosikan oleh Wellek, membuktikan
pentingnya sisi resepsi.
Karena impak yang terdahulu di Jerman telah
dikaitkan dengan pendekatan “intrinsik,” maka Ingarden menjadi semakin
dikenal dengan studinya terhadap proses pembacaan dan pengenalan
karya-karya sastra. Wellek dan New Critics menimbanya dari The Literary
Work of Art, sedangkan penerbitan The Cognition of Literary Work of Art
di Jerman pada tahun 1968 memungkinkan ahli-ahli teori resepsi secara
prospektif melihat lebih jelas keterlibatan Ingarden dengan persoalan
hubungan antara teks dan pembaca. New Critics dan para ahli teori
resepsi, tampaknya sama-sama tidak tertarik pada isu-isu filosofis yang
lebih luas, yang menjadi permasalahan menarik bagi Ingarden.
2. Struktur Indeterminasi
Bagian dari karya Ingarden yang paling berpengaruh terhadap kritikus
Jerman mutakhir ialah analisis kognisinya, yakni analisis yang
didasarkan pada konsepsi karya seni sastranya. Ia mempertimbangkan karya
sastra sebagai objek yang tidak sungguh-sungguh bersifat intensional
atau heteronom, tetapi lebih bergantung pada suatu tindakan kesadaran.
Karya
sastra terdiri dari empat tingkatan atau strata. Masing-masing strata
mempengaruhi lainnya. Di samping itu, karya sastra juga terdiri dari dua
dimensi yang berbeda. Strata pertama merupakan “bahan kasar” sastra,
yakni “bunyi-kata” (Wortlaute) dan bentukan-bentukan fonetis yang
dibangun dengan mendasarkan diri pada bunyi-bunyi kata itu. Kita tidak
hanya mendapatkan konfigurasi bunyi yang membawa arti, tetapi juga
mendapatkan potensinya dalam menimbulkan efek-efek estetis, seperti rima
dan ritma. Strata bunyi mencakup seluruh unit arti
(Bedeutungseinheiten), baik yang berupa kata, kalimat, maupun unit-unit
yang dibangun dari kalimat jamak. Strata ketiga dan keempat terdiri dari
objek-objek yang direpresentasikan (dargestellte Gegenstande) dan
aspek-aspek skematik (schematisierte Ansichten) yang melaluinya
objek-objek muncul. Totalitas keempat strata tersebut merupakan dimensi
pertama karya seni sastra, yang membawa harmoni polifonik, yang oleh
Ingarden diasosiasikan dengan nilai estetik. Dimensi yang kedua
merupakan dimensi temporal yang berupa urutan kalimat, paragraf, dan bab
yang menjadi isi karya sastra.
Yang khususnya penting bagi teori
Ingarden mengenai kognisi karya sastra adalah ajarannya yang menyatakan
bahwa lapisan-lapisan dan dimensi-dimensi tersebut membentuk kerangka
dan “struktur skematis” yang harus dilengkapi oleh pembaca. Persoalan
ini paling mudah diamati melalui strata ketiga dan keempat, yang
berkenaan dengan objek-objek yang disajikan. Dalam pertentangannya
dengan objek-objek real, yang “unequivocally” dan “universally
determined” (Literary Work, p.246; ‘bersifat universal dan tak dapat
menimbulkan salah paham dalam setiap hal’), tidak ada tempat di mana
objek-objek semacam itu tidak akan ditentukan secara total dalam diri
mereka sendiri, objek-objek yang disajikan dalam karya sastra
menunjukkan “bercak-bercak,” “titik-titik,” atau “tempat-tempat”
indeterminasi (Unbestimmt-heitstellen). “Kita mendapatkan tempat
indeterminasi semacam itu,” tulis Ingarden, “yang tidak memberikan
kemungkinan kepada kita, untuk mengatakan suatu objek atau situasi
objektif tertentu memiliki atribut tertentu hanya dengan dasar
kalimat-kalimat dalam karya sastra itu saja” (Cognition, p.50).
Semua objek, menurut teori fenomenologi, mempunyai sejumlah determinan
yang tidak terbatas, dan tidak ada tindakan kognisi yang dapat
memperhitungkan setiap determinan mengenai objek tertentu. Akan tetapi,
sementara objek real mempunyai sebuah determinan “khusus,” karena suatu
objek real tidak boleh hanya diwarnai, tetapi harus mempunyai warna
tertentu; objek-objek dalam karya sastra, karena sengaja diproyeksikan
dari unit-uit dan aspek-aspek makna, harus mendapatkan tingkat
indeterminasi tertentu. Misalnya, tatkala kita membaca suatu kalimat
yang bunyinya “Seorang anak melambungkan bola,” kita dihadapkan pada
suatu kesenjangan yang tak terbilang jumlahnya pada objek yang
dihadirkan. Apakah anak dalam hal ini berusia 10 atau 6 tahun; pria atau
wanita; coklat atau putih; berambut merah atau blonde; semua ciri itu
tidak tersurat dalam kalimat di atas, sehingga semuanya membentuk
“kesenjangan” atau titik-titik indeterminasi. Setiap anak pasti
mempunyai usia, jenis kelamin, warna kulit, dan warna rambut. Bahkan,
sekalipun kalimatnya dalam bentuk kalimat tanya atau kalimat-kalimat
yang menentukan atribut anak kecil tersebut, yang lain pun tetap belum
dispesifikasikan atau tetap mengandung indeterminasi.
Tentu saja
dimungkinkan bahwa teks membatasi, atau paling tidak menyarankan
pembatasan, skopa indeterminasi tanpa menyebutkan hal-hal yang khusus.
Jika kalimat di atas muncul dalam sebuah novel yang berlatar Swedia,
kita boleh saja mengimajinasikan bahwa anak kecil tersebut sebagai
seorang Caucasian yang blonde. Akan tetapi, tidak ada sejumlah detil
atau saran tertentu yang akan mengeliminasi keseluruhan indeterminasi.
Oleh karena itu, secara teoretis, setiap karya sastra, setiap aspek atau
setiap objek yang disajikan, mengandung sejumlah tempat indeterminasi
yang tak terhingga.
3. Konkretisasi dan Kekonkretan
Dalam
proses membaca, kita berinteraksi dengan karya sastra dalam
bermacam-macam cara. Dalam kaitan ini, menurut Ingarden, kognisi kita
memerankan peranan aktif yang berkenaan dengan seluruh lapisan karya.
Strata bunyi-bunyi kata boleh jadi menjadi nyata (manifest) melalui
ujaran atau hanya melalui bunyi dan konfigurasi bunyi yang disadari
dalam membaca diam (silent reading). Dalam pembacaan yang bersifat
individual, jika pembacanya kompeten, ia tidak bisa menghindar dari
aktualisasi porsi kesatuan makna yang baik. Kesenjangan-kesenjangan
dalam struktur temporal (yang merupakan dimensi karya yang kedua) perlu
juga dijembatani agar teks dapat dipahami.
Jadi, aktivitas
terpenting yang dilakukan pembaca meliputi pemindahan atau penghilangan
indeterminasi, kesenjangan-kesenjangan, atau aspek-aspek skematis dalam
sebuah teks. Oleh Ingarden aktivitas ini disebut sebagai konkretisasi,
walaupun ia juga menggunakan istilah objek estetik dari artefak,
khususnya dalam The Literary Work of Art, untuk membedakan karya sastra
yang harus dipahami dari struktur kerangkanya. Dalam pegertian yang
lebih sempit, konkretisasi menunjuk pada setiap complementing
determination (penambahan determinasi) atau setiap inisiatif yang
diambil pembaca untuk mengisi tempat yang menunjukkan indeterminasi
(Cognition, p.53). Walaupun aktivitas ini sering tidak disadari, bagi
Ingarden, hal itu tetap merupakan bagian yang penting dalam pemahaman
karya seni sastra. Tanpa konkretisasi, karya estetik dengan dunia yang
disajikannya tidak akan muncul dari struktur skematik. Akan tetapi,
dalam konkretisasi pembaca-pembaca juga memiliki kesempatan untuk
melatih atau menguji fantasinya. Pengisian tempat-tempat indeterminasi
memerlukan kreativitas. Ingarden mengindikasikan bahwa pengisian tempat
indeterminasi itu memerlukan keterampilan dan kecerdikan. Lagi pula,
karena konkretisasi dianggap sebagai aktivitas pembaca-pembaca
individual, hasilnya sangat bervariasi. Pengalaman pribadi, moods, dapat
mempengaruhi setiap konkretisasi. Jadi, dua buah konkretisasi belum
tentu sama persis, walaupun hal tersebut dibuat oleh pembaca yang sama.
Dalam pengertian yang lebih luas, Ingarden mengunakan kata konkretisasi
untuk menyebut hakikat atau hasil aktualisasi
potensialitas-potensialitas, pengobjektifan unit-unit arti, dan
pengongkretan indeterminasi dalam suatu teks tertentu. Ia menulis bahwa
konkretisasi terjadi tatkala aspek-aspek mencapai concreteness
‘kekonkretan’ dan “diangkat ke pengalaman persepsual (dalam kasus sebuah
drama) atau pengalaman imajinasional (dalam suatu pembacaan)” (Literary
Work, p.339). Untuk menghindari kebingungan, kita boleh mengartikan
konkretisasi sebagai “concretion” (pengongkretan) sebuah karya.
Ingarden tidak menyamakan pengongkretan dengan pemahaman suatu karya
atau dengan suasana kejiwaan tertentu. Walaupun suatu pengongkretan
“dikondisikan dalam eksistensinya dengan mengaitkan
pengalaman-pengalaman” dalam benak pembaca, hal tersebut sama-sama
ditentukan oleh karya sastra. Oleh karena itu, dengan mengingat
pengalaman pemahaman, suatu pengongkretan “sama transendennya dengan
karya sastra itu sendiri” (Literary Work, p.336). Tetapi, sementara
jumlah pengongkretan suatu karya tidak terbilang jumlahnya, karya itu
sendiri tidak berubah-ubah. Jadi, Ingarden menarik garis perbedaan
teoretik yang tajam antara struktur stabil sebuah karya dan apa yang
dilakukan pembaca dalam merealisasikan struktur itu.
Sewaktu
mengongkretkan suatu karya sastra, pembaca mungkin saja memanfaatkan
pengalaman estetik, yang hanya merupakan salah satu alternatif dari
pengalaman-pengalaman sastra yang dimungkinkan. Ingarden membedakan
antara pengalaman nonestetis atau ekstraestetis. Dicontohkannya
pembacaan akademik klasik terhadap Illiad untuk mengajarkan adat
kebiasaan Yunani Kuno, di samping sebagai pengalaman estetis itu
sendiri. Selanjutnya, dia memberi komentar panjang lebar mengenai dua
cara yang lebih akademik dalam kaitannya dengan karya sastra. Pertama
adalah kognisi pra-estetik karya dan kedua adalah kognisi estetik yang
direfleksikan terhadap sebuah pengongkretan (Cognition, p.221-3).
Ingarden
mengaitkan kognisi estetik itu dengan evaluasi. Aktivitas akademik
pertama, yakni kognisi pra-estetik, mengakibatkan “rekonstruksi” karya
sastra, terdiri dari pengkajian struktur kerangka karya dan penetapan
“nilai-nilai artistik” yang membuat pengongkretan dan nilai-ilai estetik
menjadi mungkin. Para sarjana atau akademikus seharusnya mampu mencapai
kesepakatan dalam hal teori rekonstruksi karya sastra seni.
4. Determinasi, Konkretisasi yang Memadai, dan Kualitas-kualitas Metafisik
Pada titik ini kita seharusnya mulai keberatan dengan sistemnya
Ingarden. Bahkan, apabila kita setuju denganya, bahwa konkretisasi suatu
karya harus berbeda dari pembaca satu ke pembaca yang lain dan bahkan
dari aktivitas pembacaan pertama dan yang selanjutnya, mengapa kita
cenderung berpikir bahwa kesepakatan mutlak itu dimungkinkan dengan
mengingat struktur-struktur yang mendukung pengongkretan ini? Walaupun
kita mungkin menerima bahwa beberapa struktur yang stabil itu ada
--sesungguhnyalah, pada level tanda-tanda grafis pada sebuah halaman,
sulit juga untuk mencapai kesimpulan ini -- tidak berarti bahwa struktur
ini benar-benar bisa diidentifikasi dalam artian yang ditentukan oleh
Ingarden (“bercak-bercak indeterminasi”), atau kebal terhadap kesamaan
tipe-tipe indeterminasi, yang mempengaruhi konkretisasi. Apabila
indeterminasi selalu tak terhingga jumlahnya dalam suatu teks, adalah
sulit untuk mencapai kesepakatan teoretik yang diinginkan Ingarden,
kendatipun tatkala diterapkan.
Dalam kaitan ini seseorang memperoleh
kesan bahwa dirinya dihadapkan pada satu indeterminasi yang bisa
diverifikasikan secara empirik pada level pengongkretan dan evaluasi (de
gustibus nan est disputandum). Secara sederhana, Ingarden hanya
mengganti determinasi dari level pengongkretan ke level struktur
skematik. Pengantian ini mungkin mengatasi isu teoretik tentang variansi
dalam interpretasi dan cita rasa, tetapi hal tersebut hanya membawa
kita lebih dekat dalam menentukan pernyataan-pernyataan tentang teks di
bidang teori murni.
Pembelaan terhadap level kerangka determinasi
ini mempunyai lebih banyak implikasi yang menjelaskan paham Ingarden
mengenai karya seni sastra dan aktivitas pembaca. Karena gap dan
indeterminasi dapat diperikan dengan tepat, Ingarden merasa bahwa
dimungkinkan untuk menentukan garis batas konkretisasi. Jadi, dia
mempostulasikan adanya konkretisasi yang memadai dan yang tidak memadai.
Akan tetapi, jika kita harus membatasi interpretasi asing dan arbitrer,
cara Ingarden menghubungkan konkretisasi dengan norma sastra
konvensional menimbulkan masalah yang serius bagi teorinya.
Bias
normatif dan classical Ingarden dapat dilacak pada deskripsi karya seni
itu sendiri. Walaupun kadang-kadang dia berusaha untuk mempersatukan
gerakan-gerakan sastra modern, misalnya ekspresionisme, ke dalam
kerangka kerja teoretiknya, pengaruh yang besar terminologi konvensional
dan contoh-contoh dari aturan tradisional menyarankan adanya suatu
pengabaian, jika tidak boleh disebut penyisihan secara total, terhadap
karya-karya nonrealistik, nonmimetik, atau karya eksperimental. Karya
seni sastra bagi Ingarden berulang kali diasosiasikan dengan istilah
yang begitu sarat, seperti “harmoni,” “polifoni,” “pusat kristalisasi,”
atau “kesatuan.” Pendeknya, Ingarden mengunakan konsep-konsep yang
memberi batasan karya sastra dalam istilah puitika tradisional, baik
secara individual maupun keseluruhan.
Kecenderungan ke arah
penerapan norma klasik bagi karya tersebut dan resepsinya adalah bukti
paling nyata dalam pembicaraan Ingarden tentang kualitas metafisik
(Literary Work, pp.290-9). Keyakinannya bahwa karya seni sastra mencapai
titik tertingginya dalam manifestasi kualitas-kualitas metafisik
(Literary Work, p.294) menimbulkan konsekuensi drastis, baik bagi
konsepsi sastra maupun bagi peranan pembaca. Di satu pihak, manifestasi
kualitas-kualitas metafisik itu mengarahkan Ingarden untuk
menghipotesiskan adanya suatu “organic unity” (kesatuan organik) suatu
karya, walaupun terdapat struktur yang terstratifikasi, dan sebaliknya,
strata “harus bekerja sama secara harmonis dalam suatu cara determinasi
dan pengisian kondisi-kondisi yang spesifik (Literary Work, p.298). Di
pihak lain, kualitas metafisik menjadi kekuatan pengendali dalam
pengongkretan pembaca. Dalam hubungan ini, ketidakcukupan pengongkretan
menjadi sama dengan ketidakmampuan atau ketidaksediaan pembaca untuk
merealisasikan karya sebagai sebuah totalitas dengan kualitas-kualitas
metafisik yang concomitant (senantiasa berbarengan).
Uraian di atas
menunjukkan bahwa bagi Ingarden, pembaca merupakan individu yang ideal,
yang dipisahkan dan bebas dari kolektivitas yang lebih besar.
Pertanyaan-pertanyaan tentang politik dan isu-isu kelas (sosial)
dipandang hanya sebagai penghambat konkretisasi, dan karenanya, tidak
diterima dan bisa dihindari. Hal itu menyebabkan tidak adanya perhatian
pembaca terhadap teks. Kelemahan utama perspektif fenomenologis Ingarden
tidak begitu ada sangkut-pautnya dengan desakannya atas concretion yang
cukup memadai terhadap teks, dibandingkan dengan kegagalannya
memperhitungkan hakikat karya seni dan penerimanya. Walaupun demikian,
oleh para ahli teori Aliran Praha, kelemahan fundamental itu dihindari
secara tepat dalam semiologi
* Diskusi 2 Mingguan Tgl 14 Februari 2009 Kubah Budaya (Ahmad S Rumi)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar