Oleh Sulaiman Djaya
Dari
tangisan orang-orang, mataku dipenuhi penderitaan. Melihat bagaimana
mereka mencari-Mu, akan jadi apa orang-orang itu? (Hafiz).
Dibandingkan
dengan tipu-muslihat, maka keyakinan yang berlebihan dan buta adalah
musuh yang lebih berbahaya untuk kebenaran (Nietzsche).
1
Ketika saudara Arundanu Katong selaku ketua panitia diskusi meminta saya
untuk menjadi pemateri tentang Sastra Islam, dalam benak saya muncul
beberapa pertanyaan. Bilakah yang dimaksud Sastra Islam adalah
karya-karya kesusasteraan yang ditulis para penulis muslim atau para
penulis yang kebetulan beragama Islam? Apakah yang disebut Sastra Islam
adalah karya-karya sastra yang mendedikasikan fokus bentuk dan isi-nya
pada doktrin dan nilai-nilai Islam? Terlepas apakah karya-karya tersebut
hanya terjebak pada heroisme dan moralisme yang dangkal dan artifisial
alias tidak mendalam. Lalu apa yang membedakannya dengan karya sastera
pada umumnya? Adakah atau tidak persamaannya dengan karya-karya yang
tidak menyebut dirinya sebagai Fiksi Islam? Sebab pada kategori yang
telah umum dimaklumi, kesenian pada umumnya atau pun kesusasteraan pada
khususnya seringkali ingin keluar atau bahkan melampaui pakem dan vakum
formalisme keagamaan, doktrin fiqhiyah yang dirasa membatasi dan kadang
tidak peka pada perubahan yang niscaya, dan dogmatisme mazhab keagamaan
yang seringkali menindas bagi kemungkinan-kemungkinan kreativitas
estetik. Karena dalam kesenian pada umum-nya, keunikan dan otentisitas
seorang seniman atau pun penulis seringkali karena kebebasan dan
keberaniannya untuk menerobos batas-batas yang dianggap benar dan
selesai. Bukankah agama dan imajinasi adalah dua wilayah konsentrasi
yang berbeda? Bukankah karya sastera menjadi unik karena merayakan
konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik
sastera itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori,
personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastera
menjadi unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan
subjektivitas bukannya objektivitas?
Sebab sastera yang melukiskan
segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada kegagalan etos
dan watak sastera itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial. Sastera
menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan
konotasi, dan menggalakkan ironi. Dan tidak hanya menciptakan kebaruan
makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Sebab fungsi bahasa bukan
hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan. Sastera
menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan karena kelihaiannya
untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya sebagai Opera
Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks sastera
menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia,
suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen)
oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains. Sementara
pada tingkatan yang lebih ekstrem Derrida menyebutnya sebagai
disseminasi, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan referensi,
nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan moral,
tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri.
Dengan demikian citra dalam sastera selalu bersifat simbolik. Seringkali
menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai ekspressi yang
personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks. Mikhail
Bakhtin menyebutnya dengan heteroglosia dan carnaval. Walter Benjamin
dan Clifford Geertz akan menyebutnya sebagai teks yang bertumpuk dan
berlapis . Dalam kesusasteraan Timur (Islam?) karya yang dapat menjadi
contoh ini adalah Kisah Seribu Satu Malam . Kemudian saya pun lagi-lagi
bertanya: Tidakkah penamaan Sastra Islam hanya akan mengakibatkan
penyempitan kerja kesenian pada umumnya dan kesusasteraan pada
khususnya?
Selanjutnya yang juga tak kalah penting, apakah seni
atau karya-karya sastera yang menamakan diri sebagai Fiksi Islam
merepresentasikan nilai-nilai, doktrin, dan semangat Islam? Atau malah
sebaliknya? Sebab saat ini banyak karya-karya sastera yang menyebut
dirinya sebagai Fiksi Islam malah terjebak simbol-simbol tanpa isi dan
miskin bentuk, artifisial, dan hanya menjadikan kata Islam sebagai label
semata. Yang lebih ironis malah banyak pembaca mendapatkan pemahaman
yang sempit tentang Islam itu sendiri. Ketika Islam hanya direduksi
hanya menjadi slogan-slogan semata. Ketika teks-teks yang ditawarkannya
cenderung menggurui, bukannya menggugah dengan teknik ironi, pergulatan
subjektif yang unik, permenungan, dan bahkan gugatan. Ketika karya-karya
tersebut cenderung monofonik (baca: miskin tekhnik dan bentuk), verbal
(baca: menggurui), dan tertutup bagi kemungkinan heterogenitas (baca:
kekayaan) dan polisemi penafsiran (baca: pembacaan) ketika karya
tersebut dibaca.
2
Dan bila saja kita sepakat bahwa bahwa
Sastra Islam adalah karya-karya yang ditulis para penulis muslim, maka
akan banyak karya-karya penulis muslim yang menggugah dan berkualitas
dibanding karya-karya yang menyebut dirinya Fiksi Islam. Meski mereka
tidak menyebut karya-karya mereka sebagai Fiksi Islam tetapi karya-karya
mereka menjadikan Islam sebagai khasanah dan arena pergulatan isu yang
ditulisnya. Sebut saja karya-karya semisal The Blind Owl (karya Sadeq
Hedayat dari Iran), The Beginning and the End (karya Naquib Mahfouz
dari Mesir), Women at Point Zero (karya Nawa el Saadawi dari Mesir),
Haroun and the Sea of Stories (Karya Salman Rushdi yang kelahiran
Pakistan berkebangsaan Ingris), sajak-sajak Adonis (Syiria), dan masih
banyak lagi. Di mana karya-karya mereka kental dengan gugatan dan
kritisisme atas penyimpangan-penyimpangan, kemunafikan, kedangkalan, dan
politisasi doktrin-doktrin dan nilai-nilai keagamaan yang seringkali
menindas dan tidak sejalan dengan etos pembebasan dan ajakan emansipatif
yang dibawa dan dimunculkan semangat religius itu sendiri. Karya-karya
penulis di atas lebih menggugah dan acapkali menggugat dan menghujat.
Dan tidak diniatkan untuk menggurui (baca: verbal) atau tidak hendak
berdakwah atau berkhutbah dengan simbol-simbol yang miskin peremenungan
dan pergulatan yang unik. Karya-karya mereka seringkali menginterupsi,
menginvestigasi, dan meragukan (baca: menghujat) institusi politis dan
religius yang kolusif dan koruptif. Atau menyela segala sesuatu yang
dianggap benar dan selesai. Ketika pada kenyataannya nilai-nilai yang
diklaim bersumber dari semangat keagamaan malah bertentangan dengan
semangat emansipasi (baca: pencerahan dan pembebasan) yang lahir dari
etos dan spirit religius itu sendiri. Ini tentu berbeda dengan
karya-karya yang menyebut diri sebagai Fiksi Islami tapi miskin
pergulatan, permenungan, dan penggalian secara mendalam spirit Islam itu
sendiri.
Pada konteks inilah kalau boleh saya berpendapat,
karya-karya penulis yang telah saya sebutkan di atas-lah yang justru
mempraksiskan semangat religius dan kesalehan dengan gugatannya untuk
peka dan berkomitmen pada kefanaan dan keseharian yang taken for granted
tapi seringkali janggal dan hipokrit. Di mana kritisisme dan gugatan
yang dibawa karya-karya tersebut memberikan dan menyegarkan secara
terus-menerus semangat keagamaan yang seringkali terkontaminasi oleh
praktik-praktik korupsi, kolusi, dan politisasi. Meski karya-karya
mereka tidak diidentikkan dengan suatu label agama tertentu. Malah
sering disalahpahami menghujat agama. Tapi hasilnya karya-karya mereka
justru memberikan pencerahan dan penyegaran pada pembaca sejauh
pemahaman mereka terhadap Islam. Dan karya-karya tersebut malah menjadi
relevan untuk siapa saja tanpa dibatasi chauvinisme (baca: kepicikan dan
kesempitan) identitas, entah agama atau pun kebangsaan. Dan malah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi aktualisasi semangat
keagamaan pada dimensi intelektual atau pun aspek politis.
Untuk
konteks Indonesia sendiri kita bisa mengambil contoh karya-karya semisal
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Buya Hamka), Rumah Yang Terbakar
(Kuntowijoyo), Robohnya Surau Kami (A.A Navis), Atheis (Achdiat K.
Mihardja), Adam Makrifat, Godlob, dan Gaharu (Danarto), Langit Makin
Mendung (Ki Panji Kusmin?), dan masih banyak lagi.
3
Dan bila kita sepakat bahwa apa yang kita maksud Fiksi atau Sastera
Islam adalah sebuah karya atau ikhtiar penulisan yang memfokuskan
pencarian bentuk dan isi-nya pada spirit Islam –atau minimal yang dekat
dengan nilai dan doktrin Islam, maka pada konteks ini yang paling pas
disebut Sastra Islam adalah Sufisme atau karya-karya para penulis yang
menjadikan sufisme sebagai khasanahnya. Di sini kita bisa mengambil
contohnya semisal Diwan (Hafiz, Persia), The Conference of the Birds
alias Manthiq al Thoyr (Attar, Persia), Rubayyat (Omar Khayyam, Persia),
Matsnawi (Rumi, Persia), Qays Wa Layla dan Khusrau Wa Syirin (Nizami,
Persia), Yusuf Wa Zulaikha (Jami, Persia), Tarjuman al Asywaq (Ibn
Arabi, Andalusia-Cordoba), dan Asrar I Khudi dan Bang I Dara (Iqbal,
India-Pakistan-Bangladesh). Atau karya-karya yang sejenisnya semisal
Tamhidat (Ayn al Qudat Hamadani), Rawh al Arwah (Sam’ani), dan lain
sebagainya yang berada pada genre karya literasi sekaligus intelektual
kaum sufi.
Untuk konteks Indonesia kita bisa mengambil contoh dari
puisi-puisinya Hamzah Fansuri, Nurudin Ar Raniri, R.H. Mohammad Musa,
Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, Abdul Hadi W.M,
Ajamudin Tifani, dan yang sejenisnya. Atau cerpen-cerpennya Danarto
semisal Adam Makrifat, Godlob, dan Gaharu.
4
Dan akhirnya,
seringkali sastera yang menyebut dirinya Fiksi Islami hanya melakukan
category-mistake (salah berpikir) ketika mengangkat makna referensial
seperti masalah-masalah sosial dan politik. Seringkali problem sosial
dianggap sebagai problem moral dan keagamaan. Dan acapkali sastera yang
mengaku diri sebagai Fiksi Islami itu melakukan moralisasi dan
estetisasi. Yang pertama kegandrungan pada kecenderungan untuk melihat
masalah-masalah sosial bukan dengan menggunakan konsep-konsep
sosiologis, tetapi dengan klaim moral yang kadang dogmatis dan tanpa
pemeriksaan dan permenungan terlebih dahulu. Yang kedua adalah
kegandrungan pada kecenderungan untuk mengaburkan dan mengganggap
sesuatu yang tidak estetis sebagai sesuatu yang estetis.
(Untuk
Diskusi Mingguan September-November 2008 Kubah Budaya dan Tabloid Kaibon
12 September 2008 pukul 16.00 WIB di Sekretariat Kubah Budaya).
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar