Puisi-Puisi Tubagus Ar-Rayyaan

Relung Pertapaan

Ketika sebutir pasir berubah menjadi mimpi
Aku pun berubah menjadi bayang. Lalu hinggap keterpencilan
di mataku, aku pun menjadi batu.
Melata tangis pelangi yang terngiang hatinya sendiri terjebak sebuah
kekosongan.
Tembang itu berubah menjadi bulan ketika mimpi-mimpi itu kujadikan
hujan. Aku menjelma sebatang pohon, tempat tangis dan duka bersarang.
kau berkata “saat ini berlalulah!”. Padahal aku sudah menghiasi
Relung peratapannya mempersiapkan penjemputan kelahiranku.


Serang, Januari 2004



Malam Empat Belas Di Banten Lama

Sepasang kupu-kupu berseliweran
mengalungkan gelak dan canda pada sayap-sayapnya.

Anak kembar purnama berselisih paham
menghunus bedog dan arit di setiap pijarnya yang memerah.

Dua mata angin tak henti saling mencela
mengendus para peziarah dan kuncen kuburan
menuju sebuah menara mesjid berkubah batu nisan.

Sultan Ageng dan para Waliullah culas terhenyak
menenteng sebilah keris berkendara kuda
bangkit dari kuburnya menentang malam.


Banten, 2007




Dan Menepilah

Dan menepilah ke ufuk nalarmu. Saat-saat penantian itu
telah tiba. Di beranda rumahku ini
ku jamu dirimu. Kita reguk bersama racun yang mengerat
kenangan. Kita telan semua elegi yang terdoktrin
ingatan. Berderak dan berserakan
seperti tumpukan sampah. Kisah-kisah itu pun
menjadi limbah. Fantasia-fantasia menjelma senandung lirih
mengerang kesakitan. Album romantisme hanya sebatas
puing-puing. Mengulurkan ricik lamunan
menarik benang kusut kepiluan berpendar pada reruntuhan cerita kita.

Nada simponi yang kita susun itu pun lenyap. Berganti
menjadi orkestra air mata. Menggenangi senja yang tak jua
merekah meringkus ringkikan malam.
Gerimis menyayat kulitmu, lalu kemarau.
Wangi bangkai menyengat tubuhmu, lalu sembilu.
Dan desau angin pun terpelikung, lalu berayun.
Inikah saat Gibran tak bergairah lagi menyeduh romansa menjadi sebait puisi? Ah,
menepilah ke ufuk nalar.


Serang, 2007



Mata Air Itu Berlinang Airmatamu

Mungkin
Di antara sajak-sajakmu yang tak bersyair
Dapat menerjemahkan gerimis hujan di pangkuanku

Atau mungkin
Bibir lebammu yang menarwarkan sejuta kata lugu
Memutihkan kabut merah di mataku

Mungkin juga
Kawan petapa yang saling mencela dan memaki itu
Menjadikan angin buritan bermuka masam
Murung
Mengurung diri dalam sebuah goa yang benderang
Tak hiraukan kita yang membutuhkan semilirnya

Mungkinkah
Malam telah penat hingga tak munculkan kegelapannya?
Semenjak itu, sungai telah menjadi telaga dan danau berubah rawa
Mengalirkan riwayat pengembaraan kita ke laut dangkal
Sementara hujan menjelma savana
Menumbuhkan mata air-mata air yang menyemburkan air liur kita

Ah, mungkin saja begitu
Mungkin saja mata air itu memang menyembur
Namun satu hal yang pasti: mata air itu berlinang airmatamu---

Dan aku hanya sanggup menyaksikan---


Waringinkurung, 2007



Ingin

Ingin kugores selarik sajak di dagu papahmu dengan kuku-kuku tajam
membentuk malam

: dalam tidur aku tetes embun

Ingin kuisap setetes darah di bibir sembabmu dengan lidah kelu
wartakan senyum

: detik tergesa adalah lumrah

Ingin kukatakan aku mencintaimu lewat gerimis
tanggalkan dunia

: sajakku gemetar tersentuh jari lentikmu.


Serang, Desember 2007


Kata Di Lorong-lorong Wajahmu

Kata di lorong-lorong wajahmu
kelu, nanar
sepungkahnya meringkus matahari
waktu itu berdiam, kesah
tak hendak memancar
terluka akan celotehanmu

di lorong itu
khotbahmu adalah Tuhan


Serang, April 2007
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar