Asep Muhyidin
Abstrak
Sastra merupakan produk budaya. Sastra merupakan hasil dari karya cipta manusia. Sebuah karya sastra yang baik tentunya menyodorkan pengetahuan tentang fakta sosial ataupun budaya. Pengarang merupakan anggota masyarakat yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, maka proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra menampilkan gambaran pola pikir, perubahan tingkah laku, dan tata nilai budaya. Dengan kata lain, karya sastra merupakan potret segala aspek kehidupan sosial dengan segala permasalahannya yang terjadi di masyarakat. Jawara adalah realitas sosial masyarakat Banten. Sejumlah literatur memasukkan jawara sebagai subkultur di samping kiai atau ulama. Dalam cerpen “Pembelaan Bah Bela” karya Moh. Wan Anwar, sosok jawara tercermin dari perselisihan dan persaingan yang terjadi antara keluarga Bah Bela dan keluarga Bah Kahot. Perkenalan keduanya diawali dengan sebuah perkelahian yang sengit demi membela kebenaran yang diyakini oleh keduanya. Sosok jawara muncul pada tokoh Bah Kahot dan Bah Bela. Karena kelebihannya dalam ilmu kedigjayaan, mereka dapat menjadi tokoh yang karismatik. Bah Kahot menjadi seorang ketua organisasi dan Bah Bela menjadi ketua dewan pakar. Jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten pada umumnya sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok, tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma, dan pandangan hidup yang khas.
Kata kunci: Representasi, jawara, budaya Banten
Abstract
Key word : Representation, a knight, Banten culture
1. Pendahuluan
Sastra merupakan produk budaya. Sastra merupakan hasil dari karya cipta manusia. Sebuah karya sastra yang baik tentunya menyodorkan pengetahuan tentang fakta sosial ataupun budaya. Aspek sosial budaya dapat disimpulkan sebagai sistem nilai atau pandangan-pandangan yang terutama tergambar dalam diri tokoh utama.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Sebagai anggota masyarakat, pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra mencerminkan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya, karya sastra tersebut ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Karya sastra tidak berdasar kekosongan budaya. Artinya, latar belakang sosial budaya, politik, ekonomi atau lingkungan tempat hidup pengarang banyak mendasari dan mengilhami kehadiran karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra menampilkan gambaran pola pikir, perubahan tingkah laku, dan tata nilai budaya. Dengan kata lain, karya sastra merupakan potret segala aspek kehidupan sosial dengan segala permasalahannya yang terjadi dimasyarakat. Aspek latar sosial budaya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat, seperti kebiasaan hidup, adat sitiadat, tradisi, pandangan hidup, cara berfikir, status sosial, dan stratifikasi sosial.
Menurut pandangan Teeuw (1984:11), seniman atau pengarang menjadikan fenomena sosial budaya yang mengitarinya sebagai bahan untuk meracik sebuah karya sastra yang dilahirkan, sekaligus sarana memasukkan ide-ide atau pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran dari seniman atau pengarang itu sendiri terhadap fenomena sosial buadaya tersebut. Dengan demikian, karya sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati oleh pengarang, dibumbui respons atau tanggapan, dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu. Dalam upaya mengungkapkan kembali pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra, pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Rusyana (1984:81) mengemukakan bahwa cerpen adalah cerita rekaaan yang pendek yang mengisahkan peristiwa secara rasioal. Kejadian-kejadian dalam cerpen disuguhkan sedemikian rupa sehingga seolah-olah benar-benar terjadi, sedangkan Sumardjo dan Saini (1991:37) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi) serta relatif pendek.
Kajian dalam tulisan ini memusatkan perhatian dan telaah pada tafsir sosiologis atas wacana atau teks sastra sebagai cerminan masyarakat . Dalam hal ini Moh. Wan Anwar dalam cerpennya yang berjudul “Pembelaan Bah Bela” berusaha mengambarkan keadaan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Banten. Cerpen “Pembelaan Bah Bela” ini merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Sepasang Maut.
2. Representasi Jawara dalam Cerpen “Pembelaan Bah Bela” (PBB) Karya
Moh. Wan Anwar
Jawara adalah realitas sosial masyarakat Banten. Sejumlah literatur memasukkan jawara sebagai subkultur di samping kiai atau ulama. Pada mulanya jawara tidak dapat dipisahkan dengan kiai. Umum terjadi di dunia pesantren, seorang kiai tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan kepada santri-santrinya, tetapi juga silat, ilmu kedigdayaan, kesaktian, bahkan kebatinan. Murid kiai yang memiliki intelektualitas disebut santri, yang bertugas menyebarkan ilmu agama, sedangkan santri yang memiliki kecenderungan dalam bidang kesaktian dan kedigdayaan dikenal sebagai jawara.
Sunatra menggolongkan jawara ke dalam dua golongan. Pertama, jawara ulama adalah jawara yang kemudian mendalami agama. Kedua, jawara yang menggunakan elmu hideung yang merupakan ilmu kedigjayaan, salah satunya adalah ilmu untuk memperoleh kekebalan diri yang tidak berdasarkan ajaran agama Islam. Untuk mengembangkan ilmu kedigdayaan, mereka mendirikan perguron (padepokan). Jawara kini dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Hal kepemimpinan biasanya didasarkan pada konsensus di antara para jawara, umumnya senioritas menentukan siapa yang akan menjadi kokolot atau yang dituakan (Sunatra dalam Lubis, 2003:127—129).
Dalam cerpen “Pembelaan Bah Bela” karya Moh. Wan Anwar, sosok jawara tercermin dari perselisihan dan persaingan yang terjadi antara keluarga Bah Bela dan keluarga Bah Kahot. Perkenalan keduanya diawali dengan sebuah perkelahian yang sengit demi membela kebenaran yang diyakini oleh keduanya. Bah Kahot dengan kukuh membela majikannya, seorang juragan berkebangsaan Cina, sedangkan Bah Bela berusaha menjadi pembela masyarakat kecil yang tertindas oleh perilaku juragan tersebut. Perkelahian tersebut pada akhirnya malah memunculkan persahabatan setelah keduanya tahu bahwa jurus-jurus yang dikeluarkan mereka ternyata sama. Itu artinya asal-muasal ilmu kedigjayaan mereka berasal dari guru yang sama. Persahabatan tersebut bukanlah persahabatan yang tulus karena keduanya berebut pengaruh di seantero kota, terutama terjadi persaingan antara anak sulung Bah Kahot dan anak sulungnya Bah Bela. Persaingan tersebut terjadi dalam segala hal mulai dari persaingan bisnis, politik, bahkan dalam hal perempuan.
Sosok jawara digambarkan selalu identik berpakaian hitam-hitam dengan pernak-pernik, seperti batu akik, jimat atau wafak, dan golok teronggok di pinggang yang seolah-olah mencerminkan kekuatan fisik yang disertai kekuatan supranatural. Seorang jawara memiliki perlengkapan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Justru, cara berpakaianlah yang membedakan jawara dengan masyarakat biasa.
….Bah Bela keluar dengan mata semerah saga, berpakaian hitam-hitam sebagai jawara. Batu mirah sebesar buah ceruluk di jari tengahnya memancarkan rasa marah. Golok pusaka yang sekian lama disimpan, yang minggu lalu dicari-cari si Sulung, bertengger di pinggangnya.(PBB:49)
Jawara juga selalu menampakkan sosok yang karismatik dan berwibawa. Selain kepandaian dalam bersilat, tentunya seorang jawara pun harus memiliki pengalaman dan wawasan yang luas, baik dalam ilmu keduniaan maupun dalam ilmu agama. Dalam keduniawian, umumnya para jawara hidup berkecukupan, bahkan bisa menikmati hidup mewah, sedangkan dalam hal ilmu agama, mereka umumnya penganut ajaran agama Islam yang taat. Ia dituntut berbuat arif dan bijaksana dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi di masyarakat. Penghayatan akan terjalnya kehidupan yang diimplementasikan dengan sikap yang teguh memegang adat istiadat nenek moyang akan membuat seorang jawara dihormati dan juga dikagumi oleh masyarakat.
…Saya palingkan muka ke Bah Bela yang sedang mengamati sekitar dengan pandangan yang tajam. Ia selalu tampak berwibawa. Jidatnya yang lebar, kopiah hajinya, tonjolan tulang pipinya menyiratkan kedalaman pengalaman, keluasan wawasan, kerasnya sikap, kearifan, dan kekayaan penghayatan. Begitu juga dengan Bah Kahot, peci hitamnya, ikat pinggangnya, pakaian dan sarungnya, mengukuhkan keteguhan dan kekerasan pengalaman…. (PBB:60).
Sebagian besar masyarakat Banten memang memandang jawara sebagai sosok yang memiliki keberanian untuk berkelahi membela kebenaran, agresif, cenderung sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), dan terbuka (blak-blakan) untuk menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan fisik yang hebat dan kekuatan supranatural yang mumpuni. Kekuatan fisik yang kuat direpresentasikan dengan cara berpakaian dengan segala aksesori yang dipakai. Kekuatan supranatural akan terejawantahkan dengan sikap yang jarang berbicara, tetapi sekali berbicara terkadang kata-katanya terasa pedas dan mengancam orang lain.
Para jawara pun akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya. Anak laki-laki biasanya secara turun-temurun akan mewarisi ilmu kanuragan (kedigjayaan) yang dimiliki oleh seorang jawara. Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Selain terhadap keluarga, terhadap perguruan pun rasa solidaritas mereka begitu tinggi. Apabila ada di antara anggota keluarga mereka ada yang disakiti atau dihina orang lain, biasanya mereka akan menuntut balas. Ibaratnya hutang nyawa dibayar nyawa.
…Anak adalah anak, darah daging yang dilahirkan segunung kasih, dipelihara sesamudera cinta. Dia anak sulung. Kini jadi mayat. Abah tidak terima!”
“Tetapi apa yang akan Abah lakukan?”
“Balasan setimpal! (PBB:49)
Para jawara sering menekankan bahwa nenek moyang mereka selalu berpesan jika menjadi jawara harus memiliki sekurang-kurangnya tiga sifat, yaitu 1) leber wawanen (berani dan militan), 2), silih wawangi (sikap kekeluargaan), dan 3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji).
Leber wawanen berarti berani membela kebenaran. Hal ini dilakukan demi membela harga diri dan juga terkadang dilakukan demi membela orang yang teraniaya. Selain itu, para jawara memiliki kesetiaan yang begitu militan pada kelompoknya, bahkan juga kepada juragannya. Para jawara berani mempertaruhkan nyawanya sekalipun demi membela sang juragan, tak peduli apakah sang juragan tersebut orang baik atau orang jahat, yang penting siapa yang membayar, maka dia pasti akan membelanya dengan sekuat tenaga. Tokoh Bah Kahot merepresentasikan hal tersebut. Keberanian membela orang miskin yang kelaparan terepresentasi pada tokoh Bah Bela. Keberanian seorang jawara adalah keberanian dalam perkelahian yang menonjolkan kekuatan fisik, baik dengan tangan kosong maupun memakai golok sebagai senjata khas para jawara. Bahkan, perkelahian terkadang dilakukan secara halus, yaitu dengan memakai kekuatan supranatural.
…Kata Bah Bela mereka dulu berkenalan setelah berkelahi habis-habisan. Sebagai centeng saudagar bernama Tek Seng, Bah Kahot merasa harus bertanggung jawab atas harta majikan. Sementara itu sebagai jawara muda, Bah Bela merasa wajib membela orang miskin yang kelaparan…. (PBB:54)
…Si Sulung selama ini bisa memahami, tetapi sekarang masalahnya harga diri. Bagaimana mungkin gadis yang sangat dicintainya, di tengah usianya yang terus merangkak, harus lepas diambil orang dengan tidak senonoh, apalagi oleh orang yang sudah banyak mengambil berbagai hal di kota ini. Si Sulung tidak terima. Bahkan, kata istri Bah Bela, sejujurnya ia pun tidak terima. Begitu pula adik-adik si Sulung. Ini masalah kehormatan keluarga…. (PBB:58)
Dari penggalan tersebut terlihat bahwa bagi seorang jawara harga diri adalah segalanya. Barangsiapa menginjak harga diri beserta keluarganya, tentunya ini akan menjadikan perselisihan dengan sang jawara. Si Sulung selama ini selalu mengalah kepada anak Bah Kahot, itu pun karena nasihat dari Bah Bela supaya si Sulung mengalah kepada dia karena Bah Bela pernah berutang budi kepada bapaknya.
Jawara harus siap mati dalam pertarungan karena batas antara hidup dan mati bagi seorang jawara sangat tipis. Jika menang dalam pertarungan, dia hidup dan jika kalah, dia tentunya mati. Itulah yang dialami oleh si Sulung, yang akhirnya tewas mengenaskan di tepi Pantai Karang Bolong. Tubuhnya gembung dengan sejumlah bekas bacokan serta tangan dan kaki terikat. Tidak jelas siapa yang melakukan itu.
Silih wawangi artinya mengutamakan sikap kekeluargaan. Dalam terminologi persilatan ada jargon yang berbunyi “satu guru satu ilmu jangan ganggu”. Hal ini pun berlaku bagi para jawara. Mereka umumnya memiliki perguruan silat yang berbeda-beda, setiap jurus yang dikeluarkan akan mencerminkan ciri khas perguruan silat tersebut. Seandainya dalam jurus silatnya ada kesamaan, itu berarti mereka berasal dari satu guru yang sama. Kekeluargaan akan terjadi sangat erat seandainya mereka berasal dari guru yang sama. Kekeluargaan harus dipegang teguh oleh setiap anggota perguruan silat demi mengharumkan komara perguruan tersebut.
…Perkelahian tak terhindarkan, tetapi di tengah perkelahian Bah Bela dan Bah Kahot sadar bahwa jurus-jurus mereka sama. Mereka lalu menghentikan perkelahian setelah keduanya bersiap mengeluarkan jurus pamungkas. Mereka berpikir jangan-jangan guru mereka sama. Mereka pun berkenalan pada akhirnya dan ketika sama-sama mengurut silsilah guru mereka, diketahuilah bahwa sumber ilmu silat mereka memang dari perguruan yang sama, perguruan Dampu Awang namanya. (PBB:54)
Kukuh kana janji artinya seorang jawara harus memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji. Sebesar apa pun risiko yang akan terjadi bagi seorang jawara, ia harus tetap melakukan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Ibaratnya, jika layar sudah dibentangkan, pantang surut ke belakang, jika golok sudah dicabut dari sarangnya, pantang dimasukkan kembali sebelum pertarungan usai. Janji yang sudah diucapkan pantang untuk dicabut kembali, seperti orang yang telah meludah pantang untuk dijilat kembali.
…Ingin rasanya membelokkan vewe tua ini ke arah lain, menghindari rumah Bah Kahot. Tapi apa mungkin darah jawara berpaling dari tekad yang sudah diteguhkan, dari golok yang telah dicabut dari sarungnya? (PBB:64)
Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang mengubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai, peran mereka kurang diperlukan, bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan sebagian kecil ada yang melakukan tindakan kriminal. Namun, peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan, seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan, dan guru silat, serta guru ilmu magis (Kartodirjo,1984:83).
Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten saat ini telah mengubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan sehingga citra budaya kekerasan yang selama ini melekat terhadap masyarakat Banten, tentunya dalam pandangan orang luar Banten, dapat dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal jawara saat ini masih terasa di wilayah Banten. Kini, peran dan kedudukan tradisional jawara mulai digerogoti arus modernisasi seiring dengan berdirinya perusahaan-perusahaan besar di wilayah Banten. Hal inilah yang mendorong perubahan budaya masyarakat Banten dari budaya pertanian ke budaya industri.
3. Simpulan
Jawara dalam pandangan masyarakat Banten merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Jawara adalah seorang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam dan dapat memukul dari jarak jauh sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut serta kagum. Sosok jawara tersebut muncul pada tokoh Bah Kahot dan Bah Bela. Karena kelebihannya itu, mereka dapat menjadi tokoh yang karismatik. Bah Kahot menjadi seorang ketua organisasi dan Bah Bela menjadi ketua dewan pakar. Jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok, tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma, dan pandangan hidup yang khas.
Kini jawara berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga dapat diterima masyarakat. Mereka tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah provinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.
Daftar Pustaka
Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten. Jakarta:
Djambatan.
Lubis, Nina. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono.1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta:
Pustaka Jaya
Rusyana Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:
Diponegoro.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Harmondswort:
Penguin Books.
Biodata Penulis:
Penulis adalah Ketua Jurusan
Bahasa dan Seni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten.
Sumber tulisan:Jurnal Penelitian Sastra
(Balai Bahasa Bandung)
META SASTRA
http://metasastra.wordpress.com/2009/11/15/representasi-jawara-dalam-cerpen-%E2%80%9Cpembelaan-bah-bela%E2%80%9D-karya-moh-wan-anwar/
0 komentar:
Posting Komentar