Oleh Begadang Teater
Orang gila tak perlu berpikir, sebab dia tahu tak ada gunanya. [Putu Wijaya]
Ketika membaca cerpen
Babi karya Putu Wijaya dalam sebuah antologi cerpen yang berjudul Gres (1982)
menimbulkan diskusi panjang bagi kami, komunitas Begadang Teater. Dalam diskusi
panjang itu tidak luput pula perbincangan mengenai kondisi politik nasional
saat ini, seperti; kondisi yang ramai akan memperebutkan kekuasaan, pergulatan antar
dua kubu, korupsi yang mentradisi dan bahkan kami membicarakan kondisi
kedaerahan (Banten). Selama perbincangan itu, akhirnya pikiran-pikiran kami
tergugah untuk mengangkat kembali karya Putu Wijaya yang berjudul Babi tentunya
dengan didekatkan dengan kondisi saat ini. Alangkah lebih baik sebelum
berbicara lebih jauh tentang cerpen yang kami angkat, terlebih dulu kami akan
mengulas arah Putu Wijaya dalam karya-karyanya. Putu Wijaya sangat dikenal
sebagai “Sang Teror Mental” karena karya Putu cenderung menghantam mental
pembaca dalam cerpen-cerpennya atau penonton dalam pertujukan-pertunjukannya
yang sering dipentaskan bersama Teater Mandiri kelompok teaternya. Teror di
sini bukan meneror dengan ledakan-ledakan bom atau ancaman-ancaman yang membuat
orang takut akan kehilangan jiwanya, karena teror ini bukan untuk membunuh.
Tetapi teror mental di sini meneror pengertian, nalar, rasa, pikiran dan batin.
Babi, Putu Wijaya dan Adaptasi yang
Dilakukan
Babi menjadi salah satu
nama binatang untuk sebuah ‘makian’ membinatangkan manusia. Dan sebetulnya
masih banyak binatang-binatang lain yang bisa digunakan untuk sebuah makian,
seperti; Anjing, Monyet, Wedus, Buaya, Keong dan binatang-binatang lainnya.
Dari banyak binatang yang ada mungkin ini akan menjadi pertanyaan bersama.
Mengapa Putu Wijaya memilih Babi dalam cerpennya, tidak memilih binatang lain?
Ya tentu saja kita boleh berandai-andai dan menduga-duga kali ini. Jika kita
mencoba membayangkan beberapa tahun ke belakang ketika Putu menuangkan sebuah
karyanya yang berjudul Babi ini. Mungkin atau tidak Putu Wijaya memilih Babi
karena fisik dan sifatnya, seperti halnya binatang lain yang kita ketahui
mempunyai fisik dan sifatnya dalam cerita-cerita fabel dan kartun-kartun atau
tontonan lainnya yang sering kita tonton di televisi?
Fisik Babi yang kita
ketahui berwarna hitam dan ada juga yang berwarna pink, berbuntut pendek,
hidungnya rata dan bisa seperti orang yang ngorok ketika berbunyi. Tapi awas
anda jangan sekali-kali sebut orang ngorok ketika lagi tidur disebut Babi. Dan
jika Sifatnya kita tahu bahwa Babi binatang yang jorok, bahkan ada yang
menyebutnya pemalu karena terus nunduk, suka nyeruduk dan secara gaib atau
bahkan mitosnya kita tahu bahwa Babi bisa mencuri harta benda dengan
menggesekan punggungnya ke dinding seperti binatang lainnya yang sedang
kegatalan atau kita sebut ‘Babi Ngepet’. Tapi
binatang lain tidak bisa kita sebut ‘ngepet’! Sekali lagi saya tegaskan
mereka kegatalan, begitu di film-film yang kita tonton. Memang terdengar lucu
ketika kita mengatakan sifat Babi ini, karena harus kita sadari sifat itu
melekat dalam pikiran kita karena pengaruh dari tontonan televisi atau bahkan
bacaan-bacaan yang kita baca bahkan dari yang kita dengar. Ya mungkin itu
karena pengaruh tontonan kita saja atau bahkan bisa jadibukan dari fisik dan
sifatnya yang dimaksud Putu Wijaya,
mugkin karena nama binatang itu cocok saja untuk mengganti nama seseorang yang
menjadi musuh bagi siapa pun? Kita tentu saja tidak mengetahuinya karena kita
hanya menduga-duga.
Dari berandai-andai
dangkal yang sedikit-banyaknya telah terpengaruh akan tontonan dan bacaan dalam
sebuah cerita-cerita fabel ini semoga bisa mengarahkan kita untuk bisa
mengetahui sedikitnya tentang cerpen yang diangkat Putu dan yang adaptasi kami,
begadang Teater. Kita lihat sasaran Putu dengan Babinya dan sasaran Babi dari
hasil adaptasi.
Beranjak pada pembahasan
lainnya dari sekadar persoalan judul. Babi merupakan cerpen yang ditulis oleh
Putu Wijaya pada tahun 1982 dalam antologi cerpennya yang berjudul Gres. Jika
kita ingat kembali pada tahun itu kira-kira sedang gencarnya Presiden Soeharto
membuat Penembak Misterius (Petrus) untuk beroprasi dengan dalih menanggulangi
tingkat kejahatan yang terjadi pada saat itu. Sehingga akhirnya banyak orang
yang mati terbunuh. Mungkin saja Babi yang Putu maksud ke arah sana karena Putu
Wijaya memberikan tanda dengan menyebutkan jam tangan yang berada disebelah
kanan. Coba kita lihat pengguna jam tangan kanan itu biasa dikenakan oleh siapa
saja pada saat itu? Mungkin itu akan menjadi jawabannya. Saya katakan lagi
bahwa ini hasil menduga-duga.
Sebetulnya yang nampak jelas cerpen Babi ini
membicarakan persoalan perbedaan idiologi yang dibenturkan perbedaan idiologi antara tangan kanan dan
tangan kiri dalam ceritanya. Sebetulnya terlampau banyak yang harus kita
pecahkan dalam hal ini yang berkaitan. Begitupun dengan persoalan tangan kanan
dan tangan kiri ini. Sekali lagi, jika kita kaji dengan dangkal dan
menduga-duga, kita bisa mengaitkan persoalan dangkal pula dengan dihubung-hubungkannya
persoalan paham kanan dan paham kiri, baik tangan kanan itu kita kaitkan
pada yang sering kita dengar orang
kepercayaan atau orang yang dipercaya untuk memimpin atau untuk mewakili
suara-suara komunal. Begitu pun dengan paham kiri yang kita tahu tentang paham
kiri atau yang paling dekat dengan kita saat ini kita kenal yaitu para
demonstran yang selalu berteriak-teriak dengan mengepalkan tinju kirinya
seperti menantang langit dengan dalih meneriakan suara rakyat dengan kebenaran
mayoritas masyarakat yang hakiki atau kebenaran yang dimayoritas-mayoritaskan
sekali pun.
Di cerpen Babi ini
berlatar di sebuah rumah sakit bedah, karena tokoh yang merasa berbeda ideologi
itu ingin memotong tangan kanannya, dia merasa sudah berbeda ideologi karena tangannya
selalu menuliskan kata Babi dalam setiap kertas pentingnya. Dalam kondisi macam
ini, sepertinya kita masih harus menduga-duga dan mengeluarkan
pertanyaan-pertanyaan kecil seperti yang dilakukan Begadang Teater ketika
seusai membaca cerpennya. Bisa saja, kami memang mengaitkannya lebih dangkal
dari pada yang akan kita diskusikan. Di sini dengan kedangkalan kami, kami
merasa bahwa ada kekuasaan yang hadir dalam sebuah rumah sakit, apalagi ketika
dokter mengarahkan pada pesoalan lain dari kata Babi yang sering dituliskan
dalam kertas pentingnya dan keinginan tokoh untuk memotongnya. Di sini dokter
dengan mudah mengatakan bahwa ini ‘politik’ dan mengatakan bahwa tangan kiri
telah mensaobotase tangan kanannya. Semakin bingung bukan? Lalu dimana perbedaan
ideologinya? Apa dan siapa yang sebenarnya yang berbeda idiologi? Siapa yang
sebenarnya Babi di sini? Atau memang tokoh saja yang merasa dirinya Babi karena
tindakan-tindakan sebelumnya yang kebabian? Tentu saja ini yang kami tawarkan
untuk kita kupas bersama dan perlu anda saksikan apa yang akan kami suguhkan
nanti dalam pementasannya.
Sebenarnya sederhana.
Beralih dari peristiwa 1982 tentang Penembak Misterius (petrus), mari kita
melihat peristiwa yang terjadi di Indonesia terutama di Banten dengan berbagai
permasalahannya saat ini. Dari permasalahan yang terjadi membuat orang-orang
merasa ‘takut’ bahkan bukan satu atau dua orang yang ‘takut’ tapi lebih dari
itu. Perlu di catat takut yang kami beri tanda petik. Ketakutan itu telah
menjadi virus kebabian bagi siapa yang melakukannya di tengah-tengah kondisi
dan persoalan-persoalan yang terjadi saat ini.
Semoga saja ini menjadi
pengantar anda untuk menyaksikan pertunjukannya. [*]
*** Dipresentasikan di Bedah Karya "Babi" (Adaptasi cerpen Putu Wijaya) di majlis taklim Kubah Budaya (21/04/2015).
*** Dipresentasikan di Bedah Karya "Babi" (Adaptasi cerpen Putu Wijaya) di majlis taklim Kubah Budaya (21/04/2015).
0 komentar:
Posting Komentar