Musim untuk Laida, Tentang Penyair Perempuan




SERANG - Menulis puisi hari ini menjadi aktivitas semakin banyak kegandrungan orang. Lihatlah media sosial yang semakin meruyak banyak, di sana kita bisa temukan curahan hati (curhat), puisi, humor, bahkan jargon-jargon yang keras dengan sindiran. Puisi hadir dan terus mengemuka seiring kemudahan teknologi dan keinginan kita eksis dengan dengan bahasa.

Namun demikian, di media massa, ruang untuk sastra makin menyempit dengan segala keterbatasannya. Menjadi penyair hari ini, bisa jadi sangat mudah, sekaligus sangat sulit. Sangat mudah karena media sosial bisa menjadi ruang tumpahnya puisi tak peduli baik atau buruk. Menjadi sulit karena penyair lebih dimaknai bukan soal ceracaw kata-kata tapi lebih pada jalan hidup yang memanggil seseorang untuk terus konsisten menulis puisi seumur hidupnya.

Kaum Hawa punya tantangan tersendiri dalam hal menulis puisi ini. Ia relatif lebih berat untuk tetap konsisten menulis puisi karena belitan kehidupan berumah tangga bisa menjadi hambatan untuk terus menulis puisi. Pepatah yang menempatkan keterbatasan ruang ekspresi perempuan ini terangkum dalam tiga kata, yakni dapur, kasur, dan sumur.

Itulah hal yang memantik diskusi buku kumpulan puisi dua bahasa (bilingual) Musim untuk Laida atau The Season for Laida (Kubah Budaya, 2014) karya penyair perempuan Kubah Budaya. Kurator buku ini Herwan FR mengatakan bahwa perempuan yang menulis puisi terbilang sedikit jumlahnya, dari yang sedikit itu rentan berhenti di tengah jalan.

"Perempuan yang menulis puisi punya tantangannya berat. Apalagi sudah berkeluarga dia harus terus berjuang untuk tetap menulis," terangnya kepada hadirin di Aula Tasikardi, Rumah Dunia, Ciloang, Kota Serang, Sabtu (14/6/2014).

Herwan FR menjelaskan, puisi yang ada dalam buku Musim untuk Laida atau The Season for Laida mencoba menghadirkan kepribadian para penulisnya yang semuanya perempuan. "Sebagai perempuan saja dia sudah indah, ditambah menulis puisi akan semakin indah lagi," selorohnya.

Maulidia Yassin, salah satu penyair yang menulis puisi Musim untuk Laida, mengatakan, Laida adalah hal yang membuatnya menulis puisi. "Laida itu adalah luka atau kesedihan yang menggugah perasaan untuk menjadi proses kreatif saya menulis puisi. Laida adalah sesuatu yang kering dan tandus. Maka saya memberinya empat musim agar Laida atau kepedihan itu tetap ada dalam keseimbangan diri saya," ungkap perempuan yang akrab disapa Uli ini.

Semantara Toto ST Radik, penyair gaek yang hadir dalam acara lanuching, mengatakan bahwa menjadi penyair justru sangat sulit. "Justru menjadi penyair itu tidak mudah karena sekarang mempublikasi karya saking mudahnya. Orang akan cepat menyebut seseorang penyair lantaran membukukan puisi-puisinya. Tapi menurut saya, penyair itu adalah jalan hidupmu sendiri."

Toto juga mengatakan bahwa menerbitkan buku tidak menjamin seorang akan konsisten dalam berkarya. "Buku bukan jaminan seorang menjadi penyair, kalau dalam perjalanannya ia selesai. Ada yang sangat produktif menulis puisi tapi ia tidak disebut penyair, dan ada juga yang hanya menulis satua dua puisi saja namun ia disebut penyair," pungkasnya. (WAHYUDIN)
 
Sumber: http://www.radarbanten.com/read/berita/140/20144/Musim-untuk-Laida-Tentang-Penyair-Perempuan.html


















Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar