Lokalitas yang terus terjaga, akan juga melahirkan suatu karya yang tak akan sia-sia. Dengan tumbuhnya kemungkinan tak terduga, karya tersebut akan semakin harmonis.
Berangkat dari semua kemungkinan-kemungkinan yang Tuhan ciptakan. Lantas saya mencari kemungkinan itu pada kerinduan batin yang haus akan pertunjukan lakon yang dulu juga sering membawa saya pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Siapa pun akan menemukan kemungkinan tersebut. Di mana pun, dalam keadaan apa pun. Seperti malam ini. Saya menemukan kemungkinan pada diri seorang kawan. Kemungkinannya menjadi seorang sutradara teater. Menjadi pemain teater, tak menutup kemungkinan baginya untuk juga menjadi seorang sutradara. Dan malam ini, saya sangat menikmati lakon arahannya, yang berjudul NyanyinyaNyonya.
Kamis (11 Desember 2014), di Auditorium Untirta, teater Kafe Ide Untirta membuat pertunjukkan menarik dengan lakon Nyanyinyanyonya. Lakon besutan sutradara Rio Fathurrohman (yang juga sebagai anggota aktif teater Kafe Ide) ini, rencananya akan diikutsertakan dalam festival teater mahasiswa se-Indonesia. Sebelum ikut seleksi, lakon ini dipentaskan terlebih dahulu di panggung Auditorium Untirta pada pukul 15.00 dan 19.00 WIB selama dua hari berturut (11 dan 12 Desember 2014) dengan HTM Rp. 15.000/orang.
Menyaksikan lakon yang disutradarai oleh Rio ini, seperti juga menyaksikan pertunjukkan yang sering diadakan oleh seorang dosen drama di Untirta, yang juga adalah seorang pendiri teater Kafe Ide, alm. Nandang Aradea. Mengapa saya katakan demikian? Karena, dalam pertunjukkan ini, banyak muncul simbol guna menyinggung soal-soal sosial yang kerap terjadi di masyarakat. Tema yang diangkat dalam lakon ini sebenarnya adalah tema klise yang sering juga kita dengar di pemerintahan saat ini. Tapi, dengan proses kreatif yang mengalir setiap saat, Rio, mampu menghadirkan warna baru dalam karyanya. Seperti menemukan spesies baru dalam satu biota yang itu-itu saja. Sangat menyegarkan. Menikmati suguhan kawan-kawan teater Kafe Ide malam ini, mengurangi rasa haus lapar dalam batin saya yang sudah lama kering tak terisi.
Dalam lakon Nyanyinyanyonya, ada beberapa properti yang dimunculkan dalam setiap adegan. Benda-benda itu bukan sekadar menjadi properti yang tanpa guna. Semuanya terpakai dengan rapi. Semuanya terpakai dengan sangat pas dan tak berlebihan. Ada 8 ban besar yang menjadi “pencerahan” di setiap adegan. Di mana ban-ban itu diletakkan sesuai dengan makna yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Menjadi alat keras dalam pekerjaan, misalnya. Ban-ban tersebut menjadi penopang gerak manusia yang diperbudak oleh iming-iming materi yang diberikan oleh penguasa. Seperti juga gambaran pada masa kini. Banyak manusia yang dipekerjakan secara otoriter guna menciptakan hal baik pada diri seorang penguasa yang sesungguhnya tak mampu mengerjakan apa pun. Ia hanya mampu memperbudak masyarakatnya, menjadikan manusia-manusia naif bagai robot yang bisa dipekerjakan dengan paksa sepanjang masa. Tapi dengan luruhnya iming-iming yang diberikan oleh penguasa, luruh juga kepercayaan masyarakat pada penguasa. Hal itu disimbolkan oleh gerakan dua orang lakon yang bertemu di satu titik, lantas mereka menggerakan jari-jari tangannya seperti sedang membuang sesuatu atau saya menganggapnya sedang meluruhkan sesuatu. Ya, meluruhkan janji-janji yang dengan mudahnya diberikan oleh sang penguasa, oleh si Nyonya Besar.
Dalam lakon ini, sutradara mengangkat lokalitas tanah kelahirannya. Dari bahasa yang digunakan para pemain. Hal itu mengingat bahwa, bahasa merupakan unsur penting dalam drama, dan kadang merupakan elemen yang sangat dominan. Maka dalam karyanya itu, Rio mencoba menyisipkan warna kedaerahan yang semakin kental. Itu menunjukkan bahwa lokalitas harus terus terjaga. Lokalitas yang terus terjaga, akan juga melahirkan suatu karya yang tak akan sia-sia. Dengan tumbuhnya kemungkinan tak terduga, karya tersebut akan semakin harmonis. Para pemain menggunakan bahasa Jawa Serang (Jaseng), dengan penekanan-penekanan yang justru melahirkan sisi humor dalam lakon tersebut. Tak pelak, hal itu sangat menggelitik penonton untuk tertawa karenanya. Terlebih, jika penonton itu juga asli dari Serang dan mengerti arti bahasa yang diucapkan para pemain.
Dengan begitu, meskipun temanya cukup klise dan mengangkat kritik sosial, lakon ini tetap saja terlihat “segar” untuk disaksikan. Saya bisa menikmatinya dengan tegang, ketika konflik batin mendera sang tokoh Nyonya Besar. Namun, ketika resolusi cerita mengalir datar lagi, penonton juga tidak dibuat bosan. Justru dengan resolusi itulah akhirnya mengantarkan penonton pada konklusi yang selesai. Artinya, ketika puncak akhir cerita, ketika kebangkrutan menimpa tokoh Nyonya Besar, dan akhirnya luruh semua iming-iming yang diberikannya pada rakyat, ketika itu juga ingatan penonton dihempaskan pada satu masa hancurnya sang pemimpin di tanah Banten ini. Di mana ketika masa kejayaannya tak pernah habis, banyak janji yang ia lontarkan. Mulai dari konstruksi gedung sekolah yang katanya akan diperelok, pembangunan jembatan yang amblas, jaminan kesehatan untuk rakyat kecil. Pada kenyataannya, hal itu hanya menjadi wacana yang tak pernah terealisasikan sampai masa kejayaannya terpaksa selesai karena hal lain dan lain hal.
Kembali pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa kapan saja terjadi, melalui lakon ini, saya sebagai penonton, akhirnya mengharapkan karya-karya semacam ini dapat terus terlahir dari tangan-tangan kreatif anak muda bangsa yang juga turut mengingatkan polemik yang semakin parah menghantam rakyat secara sadar atau tak sadar. Meski ada kekurangan di sana sini pada lakon ini, semisal kesiapan kostum, intonasi beberapa pemain yang kurang jelas, hal itu tidak mengurangi kesegaran karya yang akan diikutsertakan dalam festival teater mahasiswa se-Indonesia ini. [MY]
Tanah Banten, 11 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar