Oleh Wan Anwar
-- Ikan-ikan di laut akan
memohonkan ampunan bagi orang yang mau
berjalan
menuju orang alim (guru)
untuk belajar.
Hidup
itu pilihan, dan pilihan adalah kesadaran. Manakala sebuah jalan ditetapkan
sebagai pilihan, jalan-jalan lain niscaya ditinggalkan. Ilmu mantik (logika)
mengajarkan kepada kita: tak mungkin satu wujud (katakanlah seseorang) berada
di beberapa tempat (jalan) pada waktu bersamaan. Seperti jalan kebenaran dan
kebatilan, tak mungkin keduanya ditempuh bersamaan.
Mungkin belum sepenuhnya
pilihan ketika pada usia masih belia, kira-kira 15 tahun, nun jauh 180 tahun
lalu, pemuda bernama Muhammad Nawawi meninggalkan Tanara (Banten) menuju Saudi
Arabia untuk ibadah haji sekaligus belajar ngaji.
Namun 3 tahun bermukim di Mekah dan kemudian berhasil menghafal al-Qur’an dan
menguasai pengetahuan dasar bahasa Arab, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu mantik,
dan ilmu hadits, tak dapatkah disebut sebagai sebuah pilihan?!
Keberangkatannya yang
kedua ke Mekah pada usia 18 tahun (1830), pastilah bukti kuat Nawawi muda
benar-benar telah memilih: ilmu dan belajar yang menjadi pilihannya.
Kesungguhan akan pilihannya makin terbukti manakala di tahun 1860 ia menjadi
guru (maha guru tepatnya) dan aktif mengajar di kota kelahiran Nabi besar
Muhammad Saw. Muridnya datang dari berbagai bangsa dan kalangan, sebagian dari
tanah air (Indonesia = Hindia Belanda), antara lain: Hasyim Asy’ari, Khalil,
Asnawi Banten, dan banyak lagi. Murid-muridnya kemudian menjadi ulama besar dan
penting di negeri ini, ulama-ulama (pemikir) yang memang layak menyandang gelar
Kyai Haji (KH.). Dan jika ada banyak murid yang sukses, siapa lagi yang paling
sukses selain gurunya: seseorang yang dipanggil Syeikh Nawawi al-Bantani
(al-Jawi atau al-Tanari).
Lebih dari 30 tahun Nawawi
belajar langsung kepada para maha guru kaliber internasional di Mekah. Belum
lagi belajar tak langsung melalui kitab-kitab (buku-buku) para pemikir/
intelektual muslim dunia, baik dalam ilmu fiqh, kalam, tasawuf, hadis, dan
ilmu-ilmu Islam lainnya. Bukti konkret hasil belajarnya, selain mengajar di
Masjid al-Haram, tidak lain kitab-kitab yang ditulisnya berupa pembahasan/
komentar (syarah) terhadap
kitab-kitab yang dibacanya.
Singkat kata, selain maha guru, Nawawi adalah seorang
pembaca dan penulis. Dan itulah warisannya untuk kita di Banten, Indonesia,
bahkan dunia umumnya: sejarah dan karya-karya yang membanggakan. Maka siapa
lagi yang akan meneladani kalau bukan kita yang masih sering bimbang dan
gelisah di tengah aneka macam godaan instan yang membuat kita suka
tergesa-gesa. Saya kira teladan utama yang harus diwarisi dari ghirah Syeikh
Nawawi adalah kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup
sebagai pemikir dan intelektual.
Saya tidak tahu perasaan apa yang ada dalam jiwa
Nawawi muda ketika ia meninggalkan Tanara Banten? Apa yang dia angankan
sepanjang berlayar ke negeri orang? Kerinduan jenis apa yang menggelora dalam
dirinya setiap mengenang kampung halaman atau bertemu saudara sebangsa? Bagaimana
pula memeram dan mengobati kerinduan itu mengingat sampai akhir hayatnya ia
tenggelam di lautan ilmu dan pendidikan, hingga tak sempat kembali ke kampung
halaman?
“Malaikat
ridha dengan apa yang engkau tuntut dan mereka akan membentangkan
sayap-sayapnya sebagai hamparan bagi para penuntut ilmu. Ikan-ikan di laut akan
memohonkan ampunan bagi orang yang mau berjalan menuju orang alim (guru) untuk
belajar,” begitu kata Syeikh Nawawi dalam mukadimah ketika ia mensyarah kitab Bidayah al-Hidayah karya Hujjatul Islam Muhammad al-Ghazali
Ath-Thusi dalam kitabnya Maroqi
al-‘Ubudiyah.
Adakah sayap-sayap malaikat itu yang menjadi alas
bagimu ketika melepas lelah di tengah hari-harimu yang padat mengajar, membaca,
dan menulis, wahai Sayyidu Ulama’I
al-Hijaz (gelar agung Syeikh Nawawi)? Dan adakah ikan-ikan di laut itu
jualah yang memohonkan ampunan atas “khilapmu” semasa hidup? Saya juga tak
tahu, tetapi saya harap yang terjadi begitu. Saya kutipkan ini karena
adakalanya muncul pertanyaan, mengapa Syeikh Nawawi menghabiskan usia di Mekah
dan tidak turut “membangun” Banten di kampung sendiri.
Nawawi telah menempuh jalan sunyi, seperti jalan
sebuah puisi yang nyaris tak bergema di tengah hiruk pikuk Banten dan Indonesia
yang konon sedang “membangun” ini. Akan tetapi hingga kini ia ada, sekali lagi
ADA, karena langsung tak langsung umat Islam di Banten dan Indonesia telah
“menikmati” jerih payahnya yang tertuang dalam karya-karyanya. Dan kini
segelintir anak-anak bangsa ramai membicarakan Nawawi dan berniat
meneladaninya. Suatu langkah yang menggembirakan mengingat di Banten kini sulit
sekali mendapatkan figur-figur untuk diteladani.
Dengan kata lain Nawawi adalah sunyi yang
menggemakan gairah dan memancarkan cahaya dari abad yang silam. Agak aneh
memang, kadang terasa ganjil, bahkan mungkin majnun, kok ada segelinir orang bersemangat mengajak orang lain memilih
jalan yang sunyi. Bukankah sekarang abad mall
dan televisi yang setia merayu massa dengan aneka macam godaan dan keriuhan?
Adakah yang tidak ada di mall-mall
yang dengan kepayang terus didirikan? Adakah yang kurang lengkap dari televisi
yang siang malam dipelototi?
Tak ada. Semuanya sudah ada di sana. Sungguh serba
lengkap. Kecuali jiwa, hati, dan akal sehat. Yang ini jelas barang langka.
Inilah soalnya. Anak-anak bangsa yang berniat menggali dan menelusuri jalan
sunyi Nawawi haus dan lapar rohani. Mereka tak ridha jika manusia Banten hanya
sekedar massa yang dikalkulasi sebagai angka lalu ditaksir-taksir saat Pilkada.
Sebagai jasad Syeikh Nawawi kini sudah tak ada. Namun
pemikirannya terus menggema di huruf-huruf sunyi dalam puluhan kitabnya.
Siapakah yang akan bersungguh-sungguh “menghidupkan kembali” Syeikh Nawawi ?
Tihami al-Serangi? Muhyi Al-Tanari? Ruby Baedhawi al-Malingpingi? Manar
al-Pontangi? Muhammad Alfarisi? Toto al-Panancangi? Siapakah lagi? Yang jelas
Banten hari ini dan esok amat membutuhkannya. Dengan begitu ilmu akan makin
hidup di Banten dan orang alim (berilmu) terus bertambah.
Dalam konteks ini Rasulullah bersabda “Barangsiapa tidak bersedih atas kematian
orang alim, maka ia adalah munafik. Karena tiada musibah yang lebih besar
daripada kematian orang alim.” Dan siapakah yang tidak sedih jika ilmu dan
pendidikan di Banten justru menuju ke arah mati?!
Hidup itu memang pilihan, termasuk pilihan untuk
menapaki jalan yang sunyi, jalan penuh duri, jalan yang menuntut konsekwensi:
keriangan dan kesedihan, gairah dan ketabahan, harapan dan kecemasan. Jalan di
mana para malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya dan ikan-ikan di laut
memohonkan ampunan bagi siapa saja yang menempuhnya. Jalan seperti yang
ditempuh Sang Guru kita: Syeikh Nawawi al-Bantani.[]
Sumber tulisan: Perjumpaan dengan Banten (Kubah Budaya, 2011)
Sumber tulisan: Perjumpaan dengan Banten (Kubah Budaya, 2011)
0 komentar:
Posting Komentar