Meneropong Sejarah Melalui Karya Sastra
Oleh Wahyu Arya
Sejak
jaman Aristoteles, ilmu sejarah mengalami perkembangannya yang cukup
pesat. Tuchydedes (±460-400 SM) menuliskan tentang sejarah peperangan
antara Athena dengan Sparta. Tokoh sejarawan lain waktu itu adalah
Phelopones. Kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan pada gaya tulisan
masing-masing. Apabila Thucydedes lebih perpegang pada data dan fakta
yang terjadi pada kurun waktu sejarah yang ditulismya, sedangkan
Phelopones menuliskan sejarah berdasarkan menarik tidaknya tulisan—yang
mau tidak mau bersinggungan dengan model bercerita.
Kaitanya
dengan peristiwa saat ini, adalah mengapa belakangan ini banyak
pembakaran buku-buku sejarah? Pertanyaan selanjutnya ialah mungkinkah
sejarawan saat ini lebih pitar untuk ‘mendongeng’ sehingga
mengasampingkan data-data dan fakta-fakta dalam tulisannya. Kalau itu
yang terjadi, maka hal ini sesuai dengan asumsi Hyden White mengenai
esensi sejarah dalam kebudayaan Barat yang tidak berbeda dengan karya
sastra. Menurutnya sejarawan mau tak mau melakukan pemplotan peristiwa
sejarah dalam tulisannya. Hal ini sesungguhnya sangat bertentangan
dengan sejarah itu sendiri yang tidak memiliki awal dan tidak juga
memiliki akhir. Maka, ketika sejarawan memilih awal ataupun akhir dari
suatu peristiwa, sejarawan itu telah dapat disebut sebagai kreator.
Menarik
bila diamati, bahwa antara sejarawan dengan sejarah yang dituliskannya
pada sebuah teks, ternyata selalu berkaitan dengan anasir-anasir
sejarawan mangenai runtutan fakta. Kedudukan teks sebagai sumber
informasi ternyata tidak bisa sepenuhnya lepas dari sesuatu di luar teks
itu sendiri. Selalu ada in absentia dibalik sesuatu yang hadir. Selalu ada tuturan pribadi (discourse)
dalam sebuah tulisan. Mungkin inilah yang membuat teks sejarah tidak
lagi dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana informasi terhadap
fakta-fakta yang pernah terjadi.
Ababila kita telusuri, antara kata history (sejarah) dengan story (cerita) sendiri keduanya adalah kosa kata bahasa Inggris, asal kata: historia (yunani)
diambil alih ke dalam bahasa Latin yang artinya cerita, sejarah, atau
dapat juga disebut sebagai penelusuran peristiwa. Jadi antara keduanya
bukan sesuatu yang berbeda, tetapi keduanya saling mengisi antara satu
dengan yang lainya. Dalam karya sastra khususnya novel dibutuhkan
fakta-fakta dan data-data yang benar terjadi untuk mendukung alur logis
sebuah cerita, sedangkan pada sisi sejarah, fakta-fakta dan data-data
adalah sarat ‘mutlak’ untuk menyusun kronologis suatu peristiwa.
Ideologi dalam teks
Mengenai
pembakaran buku-buku sejarah saat ini, memang tidak bisa di pungkiri
bahwa kedudukan sebuah teks sangatlah potensial untuk dimasuki suatu
ideologi. Baik itu yang datang dari dalam maupun dari luar penulisnya
sendiri. Terbukti dengan kasus yang sedang gencar seperti sekarang ini.
Karena pada dasanya sejarah akan tetap pada posisinya sebagai peristiwa
yang telah terjadi. Ketika sejarawan menyusunnya kembali ke dalam bentuk
teks, maka yang terjadi adalah sebuah persepsi terhadap suatu
peristiwa—dengan kata lain teks sejarah tersebut tak lain adalah
tafsiran sejarawan terhadap sejarah itu sendiri.
Ada beberapa
pandangan bahwa penulisan sejarah tidak mungkin sepenuhnya objektif.
Menurut Teeuw ada tiga hal yang melatar belakanginya. Pertama,
fakta-fakta yang tidak lengkap (fragmentaris). Ketika sejarawan
berpegang pada fakta-fakta yang tak utuh, maka ia akan berusaha
melengkapinya dengan cerita demi kronologis sejarah yang ia tulis. Kedua,
penulis sejarah mau tak mau bersifat selektif terhadap fakta dan data.
Sedangkan untuk itu tidak ada kriteria objektif dalam memilih kriteria
tersebut. Ia akan melupakan data yang dianggapnya kurang relevan dengan
sejarah yang ditulisnya. Ketiga, penulis itu sendiri adalah
manusia dengan latar belakang, kecenderungan, dan pendirianya yang
bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi
hidupnya sebagai manusia sosio-budaya dalam masa dan masyarakat
teretntu. Oleh karena itu, saat teks sejarah sudah ditunggangi oleh
ideologi tertentu, saya kira sastra dapat dijadikan alternatif yang
menyimpanya dalam bentuk cerita.
Dalam menyajikan sejarah, sastra
mengajak kita untuk ikut terlibat di tengah pergulatan hidup yang
dijalani oleh para tokoh yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh:
cerpen umar kayam yang berjudul Bawuk, di sana diceritakan
tokoh bernama Bawuk yang menjadi anak bungsu dari keluarga Suryo.
Sesungguhnya Bawuk sendiri adalah wanita terpelajar, tetapi menjadi
tidak berdaya ketika suaminya Hassan yang pentolan PKI menyuruhnya
menjadi kader pemimpin Gerwani. Bawuk benar-benar tidak menyadari hal
tersebut dapat membuatnya terjebak dalam posisi yang sulit, yaitu
terlibat dalam gerakan partai yang berhaluan kiri. Bawuk berada dalam
posisi serba salah. Di satu sisi ia butuh kehadiran suami dalam
kehidupannya, sedangkan di lain sisi ia harus menerima bahwa suaminya
adalah seorang aktivis PKI.
Sastra tidak menghadirkan dikotomi
hitam-putih, benar-salah, dan sebagainya, maka pembaca dapat mengambil
posisinya sendiri dalam menghadapi suatu peristiwa. Disinilah nilai
lebih yang terkandung pada karya sastra. Disamping ia merekam sejarah,
karya sastra dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan pesan moral
terhadap pembaca dan melatih kita untuk mengambil sikap terhadap suatu
masalah dengan penuh pertimbangan.
Masih banyak lagi sesungguhnya
karya sastra yang sarat dengan nilai sejarah, paling tidak berlatar
sejarah kehidupan dalam kurun waktu tertentu yang dapat kita jadikan
sebagai pertimbangan bagi referensi wawasan kita mengenai sejarah bangsa
ini. Oleh karena itu, ketika teks sejarah tidak lagi sesuai sebagaimana
fungsinya, menghalangi pandangan kita terhadap sejarah, saya kira
sastra bisa menjadi teropong setidaknya untuk mengintip sejarah yang
sesungguhnya[]
0 komentar:
Posting Komentar