Pintu Menuju The Doors: Sebuah Pengantar
(Eka Ugi Sutikno)*
Kira-kira pada tahun 1998 saya tidak paham betul lagu apa yang diputar oleh pacarnya kakak kawan saya yang berjudul Break on Through (To the Other Side) karya The Doors itu. Pasalnya lagu itu membosankan dan tidak sehingar bingar Welcome to the Jungle (Guns N’ Roses) atau Seek and Destroy (Metallica). Terlebih lagi, ketika itu saya berpendapat bahwa musik keras adalah representasi dari suatu kelaki-lakian maka lagu-lagu selain itu tidak membuat saya semangat. Sialnya, genre musik keras seperti heavy metal, rock, hard rock, hair metal, dan metal ini dimentahkan oleh film The Doors (1991) yang ditayangkan di salah satu televisi swasta kala itu. Sinematografi karya Oliver Stone ini menceritakan perjalanan hidup Jim Morrison, yang memiliki trauma dengan kecelakan orang-orang Indian pada masa kecilnya.
Saya mengingat salah satu adegan ketika kedua mahasiswa UCLA (University of California, Los Angeles), yakni Jim Morrison dan Ray Manzarek, bertemu di salah satu pantai Los Angeles. Di sana saya melihat adanya dominasi kharismatik yang dimiliki oleh Morrison dengan menyanyikan versi mentah dari Moonlight Drive. Kemudian, vokalis ini langsung memperkenalkan nama The Doors kepada Manzarek untuk menjadi nama grup musik mereka dengan alasan bahwa nama ini diambil dari judul buku The Doors of Perception karya Aldous Huxley yang sebenarnya merupakan suatu kutipan dari sajak William Blake, penyair romantik Amerika.
The Doors didirikan oleh Jim Morrison (vokalis), Ray Manzarek (kibordis), Robby Krieger (gitaris), dan John Densmore (drumer) pada tahun 1965. Mereka berempat meluncurkan album pertama di tahun 1967. Lagu andalan yang mereka nyanyikan kepada masyarakat umum adalah Break on Through (To the Other Side). Lagu ini sangat populer karena jenis musik yang diusung adalah psychedelic rock. Ini berbeda dengan Janis Joplin dan Jimi Hendrix yang mengusung genre blues. Petikan gitar Krieger memang berbau blues, akan tetapi musik The Doors seakan tidak ingin terjebak pada pakem liukan dan dayu blues karena permainan setiap personelnya memberikan warna yang berbeda-beda. Semisal, tabuhan perkusi Densmore yang kental dengan jazz, Manzarek yang mengganti permainan bass dengan kibor dan suara berat dari Morrison.
Musik The Doors tidak terlepas dari aliran yang mereka bawa, yakni genre psychedelic rock. Jenis musik ini sebenarnya timbul sebagai anti dominasi atau bisa dilanjutkan kepada anti kemapanan. Berbeda halnya dengan Jimi Hendrix yang menggunakan efek wah-wah dan permainan solo gitar untuk menimbulkan suasana surealis, The Doors menggunakan suara kibor yang mellotron dan liriknya yang beraroma sastra mampu menyihir pendengar untuk berada dalam ketenangan yang geliat dan liris. Ini sangat jelas terlihat pada lagu The End, Light My Fire, Strange Days, Riders on the Storms, Waiting for the Sun, L’America dan sebagainya.
Tentu, bagi pendengar awam, lagu-lagu di atas memang terdengar membosankan atau boleh jadi membuat si pendengar merasa langsung dilingkupi kabut suram yang dilengkapi dengan cuaca dingin, tapi bukan horor. Atmosfir inilah yang tercipta di dalam psychedelic rock, khususnya musik-musik dari The Doors. Dengan begitu, The Doors bukan musik pop yang easy listening atau musik heavy metal yang menunjukan kelihaian melodi panjang karena ia butuh waktu untuk masuk ke dalam dunia surealis yang ditawarkan oleh band mahasiswa asal UCLA ini.
Mungkin ini semacam trik bahwa terdapat dua cara untuk menikmati musik ini secara intens, yakni melalui narkoba dan sebaliknya. Untuk yang pertama, ketika seseorang mendengarkan lagu-lagu ini dengan menggunakan ganja atau benda psikotropika lainnya mungkin ia akan merasakan suatu sensasi yang sangat dalam, yakni fly. Kedua, mendengarkan musik ini membutuhkan ruang dan waktu. Melalui narkoba atau tidak, yang menjadi khas dari The Doors adalah perenungan dan sambil menertawakan hal-hal yang serius seperti kematian pada judul The End dan When the Music is Over.
Pada tahun 1971 sang vokalis pergi ke Paris dengan tujuan untuk menulis puisi dan lirik, akan tetapi ini seolah menjadi petanda bahwa Morrison sedang menjemput mautnya di atas bak mandi di salah satu hotel. Seperti kematian orang populer lainnya akan selalu ada rumor pada kematiannya, yang kemudian menjadi kontroversi di masyarakat. Ada yang bilang bahwa ia mati disebabkan oleh gagal jantung, pemakaian benda psikotropika yang berlebihan, sampai mitos bahwa sebenarnya Jim Morrison tidak meninggal, akan tetapi ia lari dari populeritasnya. Setelah kematian Morrison personel lainnya berusaha untuk mempertahankan band ini, akan tetapi napasnya tidak lama.
*Penulis adalah Dosen Universitas Muhamadiyah Tangerang dan pengajar di Universitas Serang Raya
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Mantapp :)
BalasHapus