Teks & foto : Ifan F. Harijanto
Ubud – Siapa yang tidak kenal Putu Wijaya seorang
seniman dan satrawan yang dimiliki Indonesia, dimana karya – karyanya
telah banyak mendapatkan penghargaan baik nasional maupun internasional,
kemudian Andrea Hirata seorang penulis muda yang popular dengan
bukunya “ Laskar Pelangi” yang menjadi best seller di Indonesia dan
diterjemahkan dalam 18 bahasa, bahkan filmnya juga mendapatkan apresiasi
yang bagus dari masyarakat, serta Rio Helmi seorang photographer yang
saat ini menetap di Bali karya – karyanya banyak dimuat di majalah
–majalah dan buku yang sudah lebih dari 20 buku tentang photography
serta mengadakan pameran photo baik pameran bersama maupun pameran
tunggal.
Ketiga narasumber diatas duduk dalam satu meja untuk mendiskusikan
dan memaparkan tentang Nandurin Karang Awak. Dalam wawancara dengan Putu
Wijaya di akhir sesi mengungkapkan Nandurin Karang Awak ini merupakan
sebuah kearifan lokal yang tidak berhubungan dengan tanah ataupun
tanaman namun lebih kepada mengisi diri dan ini merupakan ilmu kehidupan
yang luar biasa, tapi ilmu kehidupan yang baik harus berada di tangan
yang benar dan harus di interpresentasikan dengan benar dan kalau salah
bahaya, jadi bukan kepada materi yang bersifat politis, namun apa yang
ada pada diri dibudidayakan, dimaksimalkan dan diterima dalam rangka
memperbaiki dan mempergunakannya serta menjadikannya modal.
Sementara itu di INDUS lounge para peserta diskusi buku yang akan
menampilkan 3 penulis muda Indonesia yang diundang Ubud Writers &
Readers 2011 telah siap di bangku yang telah disediakan panitia. Tepat
pukul 9.30 WITA acara dimulai dengan perkenalan dari para penulis yang
menjadi narasumber dipandu oleh Lily Yulianti Farid sebagai moderator.
Kesempatan pertama diberikan kepada Irianto Ibrahim Coloumnist pada
tabloid Oase juga penulis cerita pendek dan puisi yang berasal dari
Buton Sulawesi Tenggara. Setelah memperkenalkan diri, Irianto Ibrahim
kemudian membacakan beberapa petikan dari Buku Anthology Buton, 'Ibu dan
Sekantung Luka' yang terbit pada tahun 2010 yang berisi 53 puisi.
Selanjutnya perkenalan di sambung oleh Ragdi F. Daye penulis muda
kelahiran Solok Sumatera Barat tahun 1981 ini adalah seorang penulis
yang bekerja sebagai guru Bahasa dan Sastra di SMP. Bukunya yang telah
terbit yaitu kumpulan cerita pendek Perempuan Bawang dan lelaki Kayu
yang terbit tahun 2010. Dan terakhir adalah Wahyu Arya penulis muda
juga yang lahir di Tangerang dan sekarang adalah ketua Kubah Budaya
Serang Banten, cerita pendek yang telah dibukukannya Candu Rindu dan
Hingga Gerimis Usai.
Para peserta yang hadir di INDUS lounge rata – rata adalah wisatawan
asing yang sangat tertarik pada penulis – penulis muda yang menjadi
narasumber, setelah menceritakan bagaimana pengalaman bersama ibunya
ketika masih kecil hingga bagaimana ibu menjadi inspirasi dari setiap
karya yang dibuat penulis. Pada sesi tanya jawab dan komentar seorang
peserta dari Australia menanyakan bagaimana apabila di sebuah rumah
tidak mempunyai saudara perempuan sebagai pengganti ibu, Jawaban yang
diberikan sangat beragam seperti yang dituturkan Wahyu Arya, kalau di
adat Minangkabau anak perempuan sangatlah penting karena anak perempuan
sangat dominan dalam adat Minangkabau jadi kalau satu keluarga tidak
mempunyai anak perempuan meeka pasti kecewa. Lain lagi jawaban Ragdi F.
Daye yang tidak mempunyai saudara perempuan, dia lebih memilih mencari
istri dengan kriteria yang mendekati ibunya yang sabar dan pintar
memasak, sementara itu Irianto Ibrahim mengungkapkan bahwa saudara
perempuannya dengan ibu sangat akrab, setiap pekerjaaan ibu dikerjakan
saudara perempuannya mereka sangat dekat dan Istianto merindukan ingin
selalu dekat dengan ibu dan saudara perempuannya. Siapapun akan selalu
dekat dengan ibu walaupun tidak akan selalu bersama namun kehadiran
seorang ibu akan selalu dirindukan ketika kita jauh dengannya, bahkan
Ragdi F. Daye membayangkan seorang ibu yang bisa dibawa kemana – mana
seperti telepon selular, yang disambut tawa para peserta diskusi.
Pada awalnya mereka tidak terpikirkan untuk menjadi penulis seperti
saat ini, namun kejadian waktu kecil yang sering di bacakan cerita
sebelum tidur dan dongeng tentang budaya lokal yang selalu di certitakan
oleh orang tuanya sangat membantu untuk berkarya saat ini, seolah –
olah semua itu menempel lekat dalam ingatan. Bahkan ada yang baru 20
tahun kemudian bisa menceritakan kembali pesan – pesan dari bunya ketika
masih kecil, dan ketika sang ibu membacanya kembali dia merasa terharu
dengan tulisannya yang mengimgatkan kembali ke masa kecil sang penulis.
Tidak ada kata terlambat dan menyerah untuk menuliskan apasaja yang bisa
bermanfaat buat diri kita khususnya dan orang lain umumnya. Dan selalu
diingat doa ibu akan selalu menyertai dalam setiap apapun yang kita
lakukan.
sumber: http://penerbitan.indonesiakreatif.net/index.php/id/news/read/uwrf-2011-mengupas-the-land-within-sampai-mother-load
Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan.
Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
0 komentar:
Posting Komentar