UWRF 2011 : Mengupas “The Land Within” sampai “ Mother Load”

09 Oktober 2011
Teks & foto : Ifan F. Harijanto
Ubud – Siapa yang tidak kenal Putu Wijaya seorang seniman dan satrawan yang dimiliki Indonesia, dimana karya – karyanya telah banyak mendapatkan penghargaan baik nasional maupun internasional, kemudian Andrea Hirata seorang penulis muda yang popular dengan  bukunya “ Laskar Pelangi” yang menjadi best seller di Indonesia dan diterjemahkan dalam 18 bahasa, bahkan filmnya juga mendapatkan apresiasi yang bagus dari masyarakat, serta Rio Helmi  seorang photographer yang saat ini menetap di Bali karya – karyanya banyak dimuat di majalah –majalah dan buku yang sudah lebih dari 20 buku tentang photography serta mengadakan pameran photo baik pameran bersama maupun pameran tunggal.
Ketiga narasumber diatas duduk dalam satu meja untuk mendiskusikan dan memaparkan tentang Nandurin Karang Awak. Dalam wawancara dengan Putu Wijaya di akhir sesi mengungkapkan Nandurin Karang Awak ini merupakan sebuah kearifan lokal yang tidak berhubungan dengan tanah ataupun tanaman namun lebih kepada mengisi diri dan ini merupakan ilmu kehidupan yang luar biasa, tapi ilmu kehidupan yang baik harus berada di tangan yang benar dan harus di interpresentasikan dengan benar dan kalau salah bahaya, jadi bukan kepada materi yang bersifat politis, namun apa yang ada pada diri dibudidayakan, dimaksimalkan dan diterima dalam rangka memperbaiki dan mempergunakannya serta menjadikannya modal.

Sementara itu di INDUS  lounge para peserta diskusi buku yang akan menampilkan 3 penulis muda Indonesia yang diundang Ubud Writers & Readers 2011 telah siap di bangku yang telah disediakan panitia. Tepat pukul 9.30 WITA acara dimulai dengan perkenalan dari para penulis yang menjadi narasumber dipandu oleh Lily Yulianti Farid sebagai moderator. Kesempatan pertama diberikan kepada Irianto Ibrahim  Coloumnist pada tabloid Oase juga penulis cerita  pendek dan puisi yang berasal dari Buton  Sulawesi Tenggara. Setelah memperkenalkan diri, Irianto Ibrahim kemudian membacakan beberapa petikan dari Buku Anthology Buton, 'Ibu dan Sekantung Luka' yang terbit pada tahun 2010 yang berisi 53 puisi. Selanjutnya perkenalan di sambung oleh Ragdi F. Daye  penulis muda kelahiran Solok Sumatera Barat tahun 1981 ini adalah seorang penulis yang bekerja sebagai guru Bahasa dan Sastra di SMP. Bukunya yang telah terbit yaitu kumpulan cerita pendek Perempuan Bawang dan lelaki Kayu yang terbit tahun 2010. Dan terakhir adalah  Wahyu Arya penulis muda juga yang lahir di Tangerang dan sekarang adalah ketua Kubah Budaya Serang Banten, cerita pendek yang telah dibukukannya Candu Rindu dan Hingga Gerimis Usai.
Para peserta yang hadir di INDUS lounge rata – rata adalah wisatawan asing yang sangat tertarik pada penulis – penulis muda yang menjadi narasumber, setelah menceritakan bagaimana pengalaman bersama ibunya ketika masih kecil hingga bagaimana ibu menjadi inspirasi dari setiap karya yang dibuat penulis. Pada sesi tanya jawab dan komentar seorang peserta dari Australia menanyakan bagaimana apabila di sebuah rumah tidak mempunyai saudara perempuan sebagai pengganti ibu, Jawaban yang diberikan sangat beragam seperti yang dituturkan Wahyu Arya, kalau di adat Minangkabau anak perempuan sangatlah penting karena anak perempuan sangat dominan dalam adat Minangkabau jadi kalau satu keluarga tidak mempunyai anak perempuan meeka pasti kecewa. Lain lagi jawaban Ragdi F. Daye yang tidak mempunyai saudara perempuan, dia lebih memilih mencari istri dengan kriteria yang mendekati ibunya yang sabar dan pintar memasak, sementara itu Irianto Ibrahim mengungkapkan bahwa saudara perempuannya dengan ibu sangat akrab, setiap pekerjaaan ibu dikerjakan saudara perempuannya mereka sangat dekat dan Istianto merindukan ingin selalu dekat dengan ibu dan saudara perempuannya. Siapapun akan selalu dekat dengan ibu walaupun tidak akan selalu bersama namun kehadiran seorang ibu akan selalu dirindukan ketika kita jauh dengannya, bahkan Ragdi F. Daye  membayangkan seorang ibu yang bisa dibawa kemana – mana seperti telepon selular, yang disambut tawa para peserta diskusi.
Pada awalnya mereka tidak terpikirkan untuk menjadi penulis seperti saat ini, namun kejadian waktu kecil yang sering di bacakan cerita sebelum tidur dan dongeng tentang budaya lokal yang selalu di certitakan oleh orang tuanya sangat membantu untuk berkarya saat ini, seolah – olah semua itu menempel lekat dalam ingatan. Bahkan ada yang baru 20 tahun kemudian bisa menceritakan kembali pesan – pesan dari bunya ketika masih kecil, dan ketika sang ibu membacanya kembali dia merasa terharu dengan tulisannya yang mengimgatkan kembali ke masa kecil sang penulis. Tidak ada kata terlambat dan menyerah untuk menuliskan apasaja yang bisa bermanfaat buat diri kita khususnya dan orang lain umumnya. Dan selalu diingat doa ibu akan selalu menyertai dalam setiap apapun yang kita lakukan.


sumber: http://penerbitan.indonesiakreatif.net/index.php/id/news/read/uwrf-2011-mengupas-the-land-within-sampai-mother-load
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar