SOSOK HUMANIS SANG “PENGHASUT” LITERASI

Oleh Anas Nasrudin
Minggu 05/06/11. Pada Liga Pembaca Sastra (LPS) kali ini, awalnya saya tak akan hadir mengingat Abdul Salam salah satu relawan Rumah Dunia datang ke kamar saya dengan kondisi menggigil demam. Tidak lucu sibuk mengikuti diskusi sastra tapi tidak peka terhadap realita. Sebisa mungkin saya dan Wahyu memijat Salam—melenturkan jari jemarinya yang kejang melawan demam. Juned pun sibuk menyeduh teh dan mengompres kening Salam dengan air es. Setelah dipijat, Salam dibawa oleh Ahmad Wayang dan Lanang Sejagat ke klinik. Barulah saya ke gedung taman budaya Rumah Dunia untuk mengikuti LPS. Terlihat banyak anak-anak Untirta yang datang tak seperti biasanya. Entah karena dipaksa Firman Venayaksa (FV) untuk datang atau karena magnet profil tokoh yang akan dibahas—Wan Anwar (WA)—telah menarik mereka untuk datang? Entahlah.
Seperti biasa, acara dimulai dengan memutar video profile tokoh yang akan dibahas. Dalam tayangan video terlihat almarhum WA sedang membaca puisinya dilanjutkan oleh musikalisasi puisi oleh Kiamuk. Kemudian pembacaan karya secara bergiliran.

Dikarenakan wasit—Abdul Salam—sedang sakit, tugas moderator diambil alih Wahyu Arya Wiyata. Setelah pembacaan karya-karya WA, diskusi pun dimulai. Diawali oleh penuturan Harun yang akrab disapa Katong menceritakan pengalaman perjumpaannya dengan WA. Katong mengaku ia bukan orang yang literat, ia masih ingat betul bagaimana WA kerap mempertanyakan sudah berapa buku yang ia dan teman-teman mahasiswanya baca. Hingga ia hafal kalau WA dikelas sering menunjuk ke kiri dan kanan atau depan belakang, hingga untuk mendapat posisi aman, Katong memilih duduk ditengah. Adapun intensitas kedekatannya dengan WA ia dikenalkan oleh Agung Wibawa yang menasehatinya agar mau membaca dan belajar menulis kepada WA. Dari situlah ia kenal WA dan kerap diajak menggantarnya ke Horison. Sepanjang perjalanan ke Horison itulah ia sering disuguhi majalah agar dibaca setelah mengantar biasanya ia diminta stor dua karya puisi.
Dilanjutkan oleh cerita Wahyu bersinggungan dengan WA. Wahyu menceritakan bahwa di Kubah Budaya dahulu ada empat kelas kepenulisan. Pertama, kelas puisi digawangi oleh WA, kedua, kelas cerpen oleh FV, ketiga, kelas esai ditutori oleh Arif Sanjaya. Dan keempat, kelas drama disutradarai oleh Nandang Aradea. Bagi wahyu, WA adalah sosok yang “gelisah” dan selalu haus berkarya, selain lincah menulis masih menurut Wahyu, WA juga cerdas bertutur, dan pandai melumerkan suasana. Satu hal yang memancing kemarahan WA ketika ada orang yang meminjam bukunya tanpa izin—mengingatkan saya pada sikap Bung Hatta dalam memperlakukan buku. Bahkan Wahyu harus rela hujan-hujanan untuk segera mengembalikan buku WA yang ia pinjam setelah ditelepon oleh WA agar hari itu juga mengembalikannya.
Beben tak sepakat dengan Wahyu soal kegelisahan WA. Bagi Beben kata gelisah mengandung konotasi negatif. Baginya sosok WA adalah orang yang peduli dan mampu merangkul mahasiswa. Bagaimana misalnya WA mau turun menghadapi mahasiswa yang sedang demonstrasi. Setiap orang yang mengenal dekat WA pasti akan merasa dirinya paling diistimewakan padahal sikap WA kesemuanya seperti itu adanya.
Sementara Mayang mengaku bertemu WA di FKM, WA waktu itu hanya mengenakan celana pendek dengan tangan blepotan cat. Menurutnya hal ini unik bagaimana sosok WA tidak terjerembab menjadi akademisi menara gading.
Sedangkan Dwi mengenal WA diawali dengan mendapat SMS seolah-olah dari perempuan yang hendak daftar kegiatan kebetulan waktu itu ia sebagai ketua pelaksana kegiatan. Saat ditelusuri ternyata itu nomor handphone WA. Tak lama berselang SMS berikutnya muncul menasehatinya untuk mensukseskan acara HIMA.
Giliran Nunu menceritakan suka dukanya berkenalan dengan WA. Ia mengaku pernah menyodorkan 30 puisi untuk Antologi Candu Rindu tak lolos satupun. Namun walau begitu WA paling suka melihat orang kerja keras menulis.
Irwan Sofwan yang menurut cerita wahyu sebagai orang yang paling keras menangis menjelang kepergian WA, akhirnya angkat bicara. Menurut Irwan, WA adalah sosok penyayang. Ia bersama temannya begitu terharu saat menginap di rumah WA hingga diselimuti satu persatu. Yang membuatnya terpukul karena sehari menjelang kepergian WA ke tempat keabadian, ketika ia berkunjung ke rumah WA. WA hanya bicara “Saya sakit euy”. Hal itu menjadi kata-kata terakhir WA yang selalu diingatnya.
Terakhir FV bercerita bahwa WA orang yang kesal pada kebijakan Untirta, namun WA pandai menghindar konflik tapi cerdik menyuntik—membagikan keresahannya pada orang-orang terdekat. FV mengakui jasa WA yang ikut andil dalam merekomendasikan dirinya agar diterima menjadi dosen di Untirta, namun WA tak pernah menyinggung dan membicarakannya sangat jauh berbeda dengan orang-orang yang kerap berbicara menyombongkan diri dengan berujar “Kalau bukan saya”. Masih menurut FV, WA merupakan aktivis sastra sekaligus seorang yang strukturalis-organisatoris. Dan Impian almarhum WA yang belum terwujud menurut FV adalah membuat Fakultas Budaya di Untirta.
Saat itu saya menunggu-nunggu ada mahasiswa yang mengenal WA mau berbicara tidak hanya tentang pesona sosok pribadinya, melainkan juga karya-karyanya. Namun hingga akhir diskusi lebih banyak membicarakan pengalaman perjumpaan dengan pribadi WA belaka, sementara kwalitas karya-karyanya terkesan terabaikan. Padahal jika saja mau mendiskusikan kumpulan cerpennya Sepasang Maut misalnya, peserta liga akan mendapat banyak pesan moral dan filosofi hidup yang luar biasa. Wallahu’alam.
 
[RumahDunia.Net]
Share on Google Plus

About Kubah Budaya

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) merupakan komunitas yang bergiat di bidang kesusasteraan dan dunia kepenulisan. Sekretariat: Jl. Syech Nawawi Al-Bantani, Perum. Bumi Mutiara Serang Blok O No. 16, Pakupatan, Serang-Banten 42100
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar